Sepanjang hari yang cerah ini, Leon tidak melepas perhatiannya dari gadis bergaun putih berjalan di atas rerumputan di antara keluarganya yang hadir. Kenangan dua tahun lalu pada gadis pemberi payung itu tidak pernah luput dari benak Leon. Bagaimanapun, dia seseorang yang beradap dan tentu tahu apa itu ucapan terima kasih.
Leon pernah berpikir untuk mencari gadis kumuh itu dan menampungnya di salah satu panti asuhan milik keluarganya, tapi niat itu Leon urungkan. Dan lihatlah, betapa takdir kehidupan begitu enjoy mempermainkannya, sekarang gadis itu ada di sini, bahkan telah menyandang status sebagai istrinya.
Leon merasakan luapan amarah yang tidak terbendungkan. Bukan hanya kepada orangtuanya yang telah merencanakan semua ini, tapi juga kepada dirinya sendiri karena menyetujui hal itu dengan mudah. Sekarang setelah dipikir-pikir, Leon menyesali keputusannya. Elsa berusia 16 tahun. Leon selalu merasakan kepalanya berdenyut sakit setiap kali mengingat fakta itu.
Gairahnya...
Leon menggeram, bagaimana dia bisa memiliki gairah sebesar ini pada gadis belia seperti Elsa Putri? Tubuhnya sangat mungil, Leon masih ingat ketika mereka berdiri berdampingan tadi dan tinggi Elsa hanya sampai pada dadanya saja. Kulit mereka juga tampak sangat kontras pada perbedaan, Elsa berkulit putih pucat, sedangkan Leon cokelat tan seolah dia baru saja kembali sehabis berjemur di pantai.
Rambut gadis itu hitam panjang, mengilap lebat, dan Leon tidak bisa berhenti penasaran akan bagaimana rasanya helaian rambut itu menyelip di antara jemarinya, apakah sehalus kelihatannya?
Lalu mata Elsa berwarna senada dengan rambutnya, hitam kelam yang jernih. Hidungnya mancung dengan bibir ranum. Dan wajahnya dibingkai oleh rahang kecil yang tampak rapuh, Leon lagi-lagi penasaran akan bagaimana rasanya ketika tangannya menangkup wajah Elsa, apa tangannya yang besar ini akan menutup habis wajah itu, atau bagaimana? Leon nyaris terkekeh memikirkannya jika saja dia benar-benar kehilangan akal dan berpikir bahwa Elsa adalah istri normal untuknya.
Tidak, Elsa Putri, atau (dengan sangat enggan Leon mengakui) Elsa Fernandez, adalah sebuah kesalahan yang tidak seharusnya hadir di dalam kehidupan Leon. Pernikahan ini hanya semata-mata sebuah formalitas belaka. Entah apa tujuan orangtuanya sampai memiliki rencana seperti ini. Leon tidak seputus asa itu dalam memilih pasangan. Seriously?! Usianya baru saja 27 tahun. Yang artinya usianya terpaut 12 tahun dengan sang istri. Gila!
Ya, gila, karena untuk sesaat Leon nyaris membenarkan bahwa dirinya seorang paedofil. Hasrat yang menghantam tubuh Leon ketika pertama kali menatap mata istrinya, akan lenyap begitu saja dalam beberapa hari. Sama seperti ketika dia bersama kekasih-kekasihnya yang lain.
Dia hanya perlu mengabaikan kehadiran Elsa dalam hidupnya, atau dia juga bisa memanfaatkan gadis naif itu jika mau. Tapi tidak. Memiliki gairah dengan seorang gadis belia berusia 16 tahun ini saja sudah terasa sangat salah, Leon tidak akan melakukan lebih dari itu.
Kepala Leon pusing, dan dia percaya segelas kafein akan membantu.
***
Elsa berdehem dan Maya pun mengalihkan pandang menuju gadis itu. Maya tersenyum lembut.
"Pakaian kamu yang lain sudah mama pindah dan rapihin ke kamar Leon, malam ini kamu nggak perlu lagi tidur di sini. Kalian sudah sah, jadi kamu tidur sekamar sama Leon, ya."
Telinga Elsa langsung berdengung oleh alarm penuh antisipasi setelah Mami Maya menyelesaikan ucapannya. Elsa tidak mengerti kenapa dia harus sekamar dengan Leon, bukankah tidak apa-apa jika mereka memiliki kamar masing-masing? Bukankah hal itu lebih baik? Di rumah, dia bahkan tidak pernah melihat Ayahnya memasuki kamar Mamanya, lelaki itu selalu tiduran di sofa atau memilih kamar tamu.
Kesadaran itu menghimpit Elsa, bahwa keluarga ini berbeda. Jauh... jauh... sangat jauh berbeda dari lingkungan keluarga yang selama ini menjadi tempatnya tumbuh. Tentu saja Elsa harus sekamar dengan Leon dan seperti yang Mami mertuanya katakan kemarin, Elsa harus belajar menjadi istri yang baik karena gadis itu bukan lagi remaja seperti sebelumnya, di usia belia itu Elsa harus belajar mengemban tanggung jawab sebagai seorang istri.
Dan apakah Elsa harus melakukannya malam ini?
Maya menyadari kecemasan di wajah Elsa dan langsung bangkit untuk mengusap bahu menantunya, menenangkan.
"Jangan terlalu dipikirin, Sayang. Mami tahu ini pasti juga sulit untuk kamu, tapi percayalah... Leon bakal jadi suami yang baik untuk kamu. Dia nggak akan melakukan sesuatu hal diluar kehendak kamu. Mama juga sudah berbicara dengannya sebelum ini. Kamu jangan khawatir, oke?"
Elsa tidak mengerti maksud dari perkataan Mami mertuanya, tapi dia juga tidak membantah, dan dengan patuh menganggukkan kepala.
Maya lagi-lagi menampilkan senyum hangatnya khas keibuan, dan Elsa tidak berbohong bahwa senyuman sekecil itu mampu menghilangkan seluruh khawatir yang tadi membasuh tubuhnya. Senyum keibuan yang tidak pernah Elsa dapatkan dari sosok ibunya sendiri.
"Aku ngerti, Ma."
"Syukurlah kalau begitu. Kamu pasti lelah, malam ini kamu istirahatlah dengan baik."
Elsa memang sangat kelelahan. Dan dia nyaris menangis mendengar perkataan penuh perhatian itu. Sepertinya mulai sekarang dia harus membiasakan diri berada di lingkungan barunya ini. Elsa memiliki firasat bahwa hal itu tidak akan sulit. Satu-satunya kendala adalah... suaminya.
[to be continued]
Malam semakin larut, Leon sekali lagi menyesap kopinya dengan khidmat.Well, tidak benar-benar khidmat sebenarnya, karena benak lelaki itu dipenuhi oleh hal lain selain kafein yang menyesap ke dalam sistemnya. Dia seharusnya fokus kepada layar laptop tempat pekerjaannya yang menunggu untuk diselesaikan, namun sedari tadi, Leon justru memikirkan hal lain. bertanya-tanya mengapa istri kecilnya tidak kunjung datang.Leon memang menolak keras untuk sekamar dengan gadis itu. Dia tidak menyukai orang lain berada di dalam ruangan pribadinya, apalagi seseorang yang akan tidur dengannya. Oleh karena itulah kenapa Leon menjadi gel
Pada akhirnya, Elsa masuk ke dalam kamar Leon dan sangat bersyukur bahwa lelaki itu tengah ada di kamar mandi,night showermungkin, terdengar dari air yang mengalir. Itu artinya, Elsa tidak perlu berhadapan dengannya dan dia hanya akan menyelinap masuk ke dalam selimut lalu tidur.Atau pura-pura tidur, karena beberapa saat kemudian setelah tubuhnya terbaring di atas ranjang, pintu kamar mandi terbuka, dan Elsa tidak bisa menghentikan degup jantungnya yang sangat kencang.Leon sedikit terkejut, mendapati tubuh mungil yang membelakanginya itu berada di atas ranjangnya yang besar dan luas. Sweater cokela
Tiga hari berikutnya, pernikahan Leon dan Elsa berlalu begitu saja. Mereka masih tidur di satu ranjang walaupun Elsa masih diliputi rasa gugup yang sama, namun dia tidak bisa menyangkal bahwa tidurnya setiap malam lebih nyenyak ketimbang malam-malam sebelumnya yang dia habiskan di dalam kamarnya yang sempit, yang hanya beralaskan kasur lipat tipis.Namun pada siang harinya, Elsa meminimalisir waktunya sebanyak mungkin di dalam kamar dan dia lebih sering bersama mami mertuanya. Menghabiskan banyak waktu di dapur, mencoba menu-menu baru yang tidak pernah Elsa ketahui sebelumnya. Sedangkan sang ayah mertua masih dalam perjalanan bisnis di Paris menggantikan Leon. Dan Leon sendiri, sekalipun dalam masa libur, masih disibukkan dengan pekerjaannya y
Kehidupan Elsa tidak pernah sama seperti remaja kebanyakan. Ketika yang lain menghabiskan waktu mereka dengan smartphone masing-masing dan bersosialisasi dengan banyak orang di seluruh dunia, Elsa terisolasi di dalam rumah mengerjakan pekerjaan rumah juga sepulang sekolah harus kerja paruh waktu di toko. Hal itu membuat Elsa memahami beberapa hal yang belum seharusnya ia pahami di usia yang begitu belia.Di sekolah, Elsa terkenal sebagai gadis cupu siswi kesayangan guru. Kegemarannya dalam membaca buku dan mengerjakan soal-soal eksak membuatnya selalu menjadi juara di kelas. Namun hal itu juga sekaligus menjauhkan orang lain darinya.
Rasanya seperti sudah berjam-jam matanya tertutup, Elsa pikir hari sudah siang. Dia terbangun di atas ranjang kamarnya dengan pikiran linglung. Jamdigitaldi atas nakas menunjukkan bahwa beberapa jam yang dirasakannya ternyata hanya dua jam, kini sudah pukul 1 dini hari.Elsa menyadari bahwa Leon tidak ada di sampingnya, dan seprai itupun tidak tampak seperti telah ditempati. Dia menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai, baru menyadari bahwa pakaian yang digunakannya bukan jenis pakaian tidur yang biasa ia gunakan. Kepala Elsa pun mulai memutar balik kejadian sebelumnya.Dan di saat i
"A-aku... pulang dulu," kata Elsa. Arya menganggukkan kepala, tersenyum, lalu tangannya refleks terangkat dan mengacak rambut Elsa. Dan setiap pergerakannya itu tidak luput dari pengamatan Leon di balik kaca hitam mobil.Elsa tampak memaksa seyum walaupun dia merasa sangat gugup sekarang, lalu dengan tergesa dia masuk ke dalam mobil. Elsa langsung merasa kecil, kecil sekali sampai dia tidak berani mendongakkan kepalanya. Beberapa saat dalam keheningan dan Leon tidak juga menyalakan mesin mobil."Sore, kak Leon." Elsa menyapa canggung, melirik Leon hati-hati, namun Leon tidak menyahut. "Kenapa?" tanya Elsa heran.
Elsa sampai di depan pintu apartemen yang Mami beritahukan padanya, berikut dengan kata sandi unit tersebut. Sekarang, melihat pintu metal yang tampak sangat kokoh itu, membuat nyali Elsa menciut, pegangan pada tali tas bekalnya semakin erat. Bagaimana dia bisa menyetujui ide maminya ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Bagaimana respon Leon nanti? Dia pasti bakal marah besar kalau sampai tahu Elsa datang ke sini.Kata Mami, Elsa bisa langsung mengetik kata sandi di pintu itu dan membukanya. Tapi Elsa bahkan tidak tahu harus mengetik di mana. Lagipula, jika dia melakukan seperti yang Maminya sarankan, hal itu terkesan tidak sopan sekalipun pemilik apartemen ini adalah suaminya sendiri. Apalagi dengan hubungan pernikahan mereka yang sangat membi
Elsa tidak mengerti kenapa dia begitu gugup dan tegang, perasaan seperti ini tidak pernah disukainya. Namun ketika knop pintu diputar dan Leon muncul, jantung Elsa berdebar, berdebar dengan sangat menyenangkan, penuh antisipasi, gugup, dan ketegangan yang tinggi. Elsa berharap dia bisa bersikap dengan tenang, merespon dengan normal, setiap kali berhadapan dengan Leon. Akan tetapi, sepertinya itu sangat mustahil dilakukan. Terlebih dengan cara lelaki itu menatapnya saat ini.Elsa merunduk. Apa Leon akan benar-benar memarahinya? Dia sudah menunggu setidaknya selama lima belas menit yang terasa berjam-jam sampai Leon dan teman wanitanya selesai dengan acara makan malam mereka, padahal Elsa sendiri juga belum memakan apapun semenjak siang tadi. Di