Dingin. Kesendirian itu terasa semakin nyata. Bodohnya Elsa, berpikir Leon akan membalas cintanya, atau mungkin sedikit saja memiliki rasa sayang padanya. Karena ternyata tidak. Tidak ada sedikitpun.Leon sudah memiliki kekasih. Si cantik Kanaya. Bagaimana Elsa bisa lupa?Ini terlalu berlebihan, pikir Elsa. Masalah untuk seorang gadis belia berusia 16 tahun? Elsa tidak yakin apa dia bisa bertahan jika terus-terusan seperti ini. Sekarang dirinya hamil, bisa saja Leon menerimanya dan calon bayi mereka karena terpaksa. Elsa tahu betul Leon adalah pria yang bertanggung jawab, maka Leon menganggap bahwa ini adalah tanggung jawabnya.Tidak tahu mengapa fakta itu benar-benar menyakiti Elsa. karena seharusnya dia bersyukur. Namun memikirkan kehidupan anaknya kelak yang akan besar dan tumbuh di keluarga tidak harmonis seperti dirinya membuat Elsa ketakutan. Tidak akan dia biarkan.Beberapa m
Mami tidak setuju. Leon sudah bisa menduganya. Walau dengan berbagai macam alasan, Mami tidak menerimanya dan tetap teguh pada pendiriannya untuk Elsa dan Leon tinggal di rumah ini sampai Elsa lulus sekolah."Tapi Elsa istri aku, Mi. Dia tanggung jawab aku. Terserah mami mau izinin atau nggak, aku tetep bakal bawa Elsa tinggal di apartemen," ucap Leon final, lalu menghampiri Elsa yang tengah duduk di ruang tamu dengan punggung tegak dan raut cemas."Leon!" seru Mami tidak terima."Sudahlah, Mi," bisik Papa di sebelahnya, mengusap bahu Mami."Maafin Elsa ya, Mi. Elsa nggak bisa nolak karena kak Leon suami Elsa. Elsa janji bakal sering-sering dateng ke sini terus masak bareng Mami."Sambil menangis, Maya memeluk tubuh Elsa erat. Lalu berdiri menghadap Leon. "Kamu," tuding Mami, "jangan macam-macam dengan Elsa!"Leon terlihat jengah. "Iya," jawabnya acuh.Lantas, di
Bagaimana jika Leon memang benar-benar tidak menginginkannya? Pemikiran itu terus saja berputar-putar di kepala Elsa. Dia lupa pada alasan kenapa kemarin dia begitu yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Elsa mencoba memikirkannya ulang, namun perkataan Mama benar-benar sudah mencemari otaknya.Bagaimana dengan Mami dan Papa? Mereka berdua terlalu baik pada Elsa sehingga sulit meyakini bahwa mereka akan mengacuhkannya setelah bayi ini lahir.Elsa tidak bisa berpikir rasional sekarang. Sehingga dia pun mengalihkan dirinya memasak di dapur.Ketika malam tiba, Leon pulang dengan sekeresek penuh buah-buahan. Elsa menyambutkan di depan pintu sambil tersenyum lebar padanya.Awalnya Leon terkejut, namun pada akhirnya dengan langkah santai dia masuk ke apartemen dan menaruh keresek belanjaannya ke meja makan. Setelah itu, Leon menuju kamar untuk mengganti baju, Elsa membuntutinya di belakang.Ketika
Siang itu, ruang tunggu klinik tampak cukup ramai. Leon menggandeng tangan Elsa ketika mereka menyusuri lorong. Beberapa ibu hamil yang duduk di kursi panjang menatap Elsa heran. Mungkin perawakan Leon dengan dirinya terlihat sangat kentara. Elsa yang bertubuh kecil dan ramping, bersanding dengan pria tinggi penuh otot yang keras. Ibu-ibu itu juga pasti sudah dapat mengira perbedaan jauh usia di antara mereka.Elsa mendapatkan perawatan VIP, jadi mereka tidak perlu mengantri dan langsung didampingi masuk ke ruang Dokter Sifa.Seperti pemeriksaan sebelumnya, Elsa diperintahkan berbaring. Namun kali ini, Elsa tidak sepanik kemarin. Dia menuruti instruksi Dokter Sifa dengan baik. Setelah selesai, Dokter Sifa memberikan dua lembar foto hasil USG kepada Elsa. Elsa tidak henti-hentinya menatap ke arah foto itu sampai Leon mengambilnya, dan memasukkannya ke dalam amplop putih."Aku mau ngomong sama dokter Sifa, tunggu aku di luar."
Hari ini hujan sempat turun. Langit pun masih dipenuhi gelungan awan kelabu. Elsa bersyukur karena pada akhirnya dia memiliki alasan untuk mengenakan pakaian setebal dan setertutup ini. Hanya saja, kacamata hitamnya mungkin sedikit berlebihan. Namun tidak ada juga yang begitu memperhatikan.Elsa menyelinap masuk lift bersama karyawan-karyawan kantor yang lain, yang sepertinya sama sekali tidak menyadari kehadirannya di sana. Mesin elevator itu bergerak ke atas, lalu berhenti pada lantai 7, semua karyawan keluar, menyisakan Elsa seorang diri. Lalu dia pun menuju ke lantai kantor Leon.Elsa keluar, menyusuri lorong berkaca. Seorang perempuan berbelok dan berjalan berlawanan arah dengannya.Itu Kanaya. Elsa mengenalinya dengan cepat. Jantungnya spontan berdetak lebih cepat, ada rasa nyeri dan cemburu yang membuatnya tidak nyaman. Mungkin karena dia sudah terlalu mempercayai Leon, tapi tidak tahu menahu m
Kanaya marah. Wanita itu akhirnya tahu siapa Elsa. Lalu beberapa saat kemudian, Hardian menelepon untuk membatalkan janji pertemuan mereka.Elsa sama sekali tidak mengerti. Dia tidak berani angkat bicara bahkan ketika Kanaya mengatainya dengan kata-kata kasar, sebelum Leon mengusirnya dari sana. Kemudian, sampai saat ini pun, Leon tidak mau berbicara dengan Elsa. Leon menyuruh Elsa pulang dengan sopir yang akan menjemputnya.Elsa tidak membantah. Untuk terakhir kali sebelum membuka pintu, Elsa menoleh ke belakang dan melihat Leon duduk di balik meja kerjanya tampak frustasi namun juga tenang. Yang pasti, apa yang baru saja terjadi bukanlah hal yang baik.Kanaya baru saja memutuskan hubungannya dengan Leon. Dan itu gara-hara Elsa.Melihat suaminya dalam keadaan hancur seperti itu, meremukkan hati Elsa. Dia memasang kacamata hitamnya dan masker ketika buliran bening air mata mulai membanjiri wajahnya. Elsa pulan
Elsa perlahan bangkit duduk, masih terisak, dia memanggil nama Leon lirih. "Ma-maafin aku," ucapnya dengan parau di antara isakan dan air mata yang nyaris merenggut suaranya.Leon, dengan tatapan penuh rasa bersalah, kembali menaiki ranjang dan membawa Elsa ke dalam pelukannya erat. Elsa menangis tersedu-sedu di sana. Tangannya di dada Leon, menggenggam erat kemeja putih yang lelaki itu kenakan, seolah Elsa takut kehilangan sosok Leon yang saat ini memeluknya lembut."Sstt... maafin aku. Maafin aku, Sayang." Leon berbisik di telinganya, mengucapkan kata-kata menenangkan, dan mengecup kepala Elsa berulang kali. "Maafin aku," bisiknya lagi."A-aku salah apa?" tanya Elsa yang berhasil meremukkan hati Leon dengan suara lirihnya yang penuh rasa bersalah.Leon merutuki dirinya berulang kali, lalu memeluk Elsa semakin erat. Sebelah tangannya di punggung Elsa, sebelahnya lagi di surai Elsa, mengusapnya sayang.
"Kak Leon, kita mau kemana?""Ke pameran.""Hee? Ngapain?""Kamu pikir mau ngapain?"Elsa berpikir, "Kita mau kencan, ya?"Leon mengalihkan pandangnya dari jalan raya di depan, menoleh pada Elsa dengan ekspresi datar. Leon tidak mengiyakan pertanyaan Elsa, namun juga tidak membantahnya.Elsa pikir tebakannya tepat. Dia tersenyum lebar, dengan rasa senang membuncah di dada.Semalam Elsa dan Leon menginap di rumah Mami, Leon pergi kerja dan pulang lebih awal, lalu menjemput Elsa. Namun alih-alih melewati jalan yang biasa mereka lewati untuk sampai ke apartemen, Leon malah mengajak Elsa ke tempat yang sangat asing. Leon bilang kan mereka akan pergi ke pameran.Elsa sudah lama ingin pergi ke tempat rekreasi seperti itu. dia tidak sabar mencoba wahana-wahana di sana.Sesaat setelah Leon memakirkan mobil, Elsa langsung membuka pintu dan