Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Fortuner hitam yang dikendarai Mas Kusuma memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri, sedikit gugup menyambut kedatangan laki-laki itu. Jantungku berdegup cukup kencang. Takut, jika dia masih marah. Setelah Fortuner hitam itu ditempatkan sesuai posisinya, dari belakang menyusul satu mobil yang pernah kulihat. Sebuah luka tergores di hati. Terasa perih. Ayla berwarna merah menyala itu berhenti setelah mengambil parkir di sisi kiri rumah, tepat di depan garasi yang ditempati Fortuner hitam milik suamiku.
Laki-laki yang kini telah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan PDH seperti saat dia berangkat, turun dari mobil tanpa menunggu pengendara Ayla merah menyala itu. Entah baju siapa yang dia kenakan. Bagaimana dia bisa pulang bersama mantan istrinya itu malam-malam begini. Apakah tadi dia pergi ke rumah wanita itu? Kuredam semua tanya dan prasangka ketika laki-l
Nurin tetap terdiam, memandang kosong ke depan beberapa saat kemudian menunduk menekuri lantai. Aku gerah dengan sikapnya, seolah menunjukkan bahwa dia begitu terluka karena aku telah mengambil hartanya yang paling berharga, Mas Kusuma dan Nadin. Padahal saat kudatang, Mas Kusuma bukan milik siapa-siapa lagi.“Mbak, pernikahan bukanlah suatu permainan untukku, yang bisa dimulai dan diselesaikan kapan saja. Di dalamnya, kita tidak hanya sedang berjanji kepada pasangan masing-masing tetapi juga kepada Sang Pencipta. Aku memang bukan wanita yang sempurna untuk mendampingi Mas Kusuma, mungkin secara fisik aku akan kalah saing dengan Mbak. Tapi aku punya cinta dan setia yang sempurna untuk Mas Kusuma,” sindirku.Kalimat ini sebenarnya tidak hanya kutujukan kepada perempuan di sampingku itu. Tetapi juga kepada diri sendiri. Sebagai penguat untuk tetap bertahan dalam mahligai pernikahan kami.Ya, aku memang bukan wa
Terima kasih Ya Allah, engkau hadirkan laki-laki berhati murni ini untukku. Hati yang kuharapkan mampu menyinari titik hitamku. Tubuhku berguncang. Aku menangis bahagia. Benar-benar bahagia. Sebelumnya aku telah begitu ketakutan jika akan kehilangan dirinya.“Kamu menangis?” Dia merenggangkan dekapannya, tetapi aku justru semakin merapatkan.“Anin …,” panggilnya tetap mencoba melepaskan dekapannya. Matanya terbuka menatapku. Jarinya mengusap basah di pipiku. Dia beranjak duduk, kemudian mengangkat tubuhku untuk duduk bersama.“Maaf,” ucapnya.“Aku yang minta maaf, Mas. Aku tidak jujur,” tuturku di antara isak.“Tidak Anin, saya yang minta maaf,” tuturnya sambil membelai rambutku lembut, “Tidak seharusnya saya semarah itu.”“Mas layak marah.”
“Kamu kenapa?” tanya Mas Kusuma ketika melihatku memijat-mijat pelipis saat sarapan pagi ini. Entahlah, sejak subuh aku merasa sedikit pusing. Barangkali sisa kejadian semalam, karena aku tidak makan hampir seharian.Makanan yang masuk ke perutku semalam hanya satu gelas teh hangat, selembar roti saat sarapan pagi sebelum berangkat ke Kesdam, dan satu gelas teh es saat di kantin.“Gak tau, Mas. Agak pusing dan mual. Mungkin masuk angin,” jawabku sambil tetap menyuapi Nadin yang pagi itu tidak mau makan sendiri.“Apa mungkin kamu sudah isi?” Ibu mertuaku bertanya sambil tersenyum kepadaku, menatap lembut dengan raut bahagia, raut tak berdosa.Ucapan beliau yang lembut, justru membuat jantungku terasa hampir mau copot. Wajar, sih, jika beliau bertanya demikian. Karena pernikahan secara agamaku dengan Mas Kusuma sudah berjalan dua mingguan. Beliau tidak tahu jika kami
Tangisku mulai pecah. Aku sangat kecewa padanya. Seharusnya dia desak saja aku untuk bercerita tentang apa yang terjadi, membiarkanku mengungkapkan semuanya. Bukan sok mencegah, tetapi praduga di hatinya belum tuntas. Meskipun itu sangat menyakitkan untuk diingat, tetapi ucapannya ini lebih menyakitkan lagi.“Benar kata, Mas. Bahwa aku telah melakukannya bersama laki-laki lain sebelumnya. Tapi ucapan, Mas, itu seolah aku melakukannya dengan sukarela. Tidak Mas. Aku bukan penzina.” Kubiarkan tangisku pecah, kemudian berlalu dengan membawa test pack yang dia berikan. Menuju kamar mandi, menuruti apa maunya. Kemudian kembali setelah beberapa lama dan memberikan semua hasil itu padanya.“Anin ….” Suaranya terdengar bergetar ketika menerima semua benda itu dariku. Semua yang hasilnya negative. Tentu saja negative karena peristiwa itu telah empat tahun berlalu.Dia meraih tanganku, tapi pelan kut
Entah berapa lama aku terlelap. Ketika kubangun, bajuku telah terpasang kembali. Posisi tidurku terlentang, kepala di atas bantal, dengan selimut menutupi tubuh. Perasaan sudah lebih nyaman. Minyak urut yang hangat membuat perutku tak lagi terlalu mual. Begitu pula sakit di kepala, terasa lebih enteng, mungkin karena obat yang dia berikan, juga pijatan-pijatan lembutnya.Aku tersenyum.Jika kamu terus manis begini, Mas. Pasti akan sangat membahagiakan. Kamu benar-benar pandai memanjakanku.Aku menyibak selimut dan bermaksud beranjak turun ketika dia menyembul dari balik pintu. Di tangannya terdapat satu nampan berisi mangkuk dan segelas susu.“Kamu sudah bangun?” tanyanya sambil mendekat. Ia meletakkan nampan di atas tempat tidur tepat di sampingku.Seulas senyum terkembang di bibirnya. Senyum yang selalu membuat
Hari ini kami melanjutkan kembali rangkaian tahapan nikah kantor yang tertunda. Jadwal hari ini adalah ke Korem.“Sudah, siap?” tanya Mas Kusuma sambil berdiri di mulut pintu. Dia baru saja dari mengantar Nadin ke sekolah. Hari ini Nadin berangkat ditemani Ibu. Agar ketika pulang nanti dapat mencari taksi online karena untuk hari ini saja, Mas Kusuma tidak dapat menjemput.Sedangkan aku sibuk mematut diri di cermin dengan pakaian PSK. Agak kurang pede setiap mengenakan pakaian ini, karena jilbab harus dikenakan masuk ke dalam leher baju. Sedangkan selama ini aku terbiasa mengenakan jilbab model simple, menjuntai sedada. Meskipun seragam PSK yang kukenakan ini masih cukup longgar.“Sudah cantik, kok,” komentarnya ketika melihatku masih sibuk merapikan jilbab yang kukenakan.“Benar, Mas?” tanyaku meminta penguatan.“Iya, kamu tidak pakai ap
“Mas, bahagia?” Kutanyakan juga rasa penasaran yang menggelayut.“Sangat! Kamu akan resmi jadi istri saya secara administrasi di kantor. Secara agama sudah resmi, tinggal peresmian secara negara saja,” jawabnya pelan, tapi tegas.“Kamu, bahagia?” Dia balik bertanya.Aku mengangguk, “Alhamdulillah, sangat bahagia. Meski dulu dilamar secara arogan,” balasku menyindir. Dia terkekeh.Ya, tentu saja aku bahagia. Dia yang mau menerima tanpa mempermasalahkan titik hitamku, memperlakukanku demikian mani, menghujaniku dengan berjuta cinta.“Kalau begitu, kita buat pernikahan ini selalu bahagia. Agar tidak ada luka di antara kita. Ingat kata petugas bintal tadi, saya adalah pakaianmu, dan kamu adalah pakaian saya. Kita saling menjaga agar pakaian kita selalu bersih dari noda. Kamu mau?” tanyanya.Aku menganggu
“Kalau begitu kita makan bareng, ya. Aku sudah ijin sama Ibu tadi untuk menyiapkan makanan di meja,” balas Nurin semringah, “Sesekali kita perlu makan bareng, Mas. Supaya Nadin merasa tetap mempunyai orang tua yang utuh.”“Boleh,” balas Mas Kusuma di luar dugaanku. Mulutku sampai terbuka saat mendengarnya, tidak percaya dia akan mengijinkan Nurin makan bersama kami, menyantap makanan yang dibawa dan disiapkan wanita itu. Padahal, tadi pagi aku sudah menyempatkan diri untuk masak makan siang sebelum berangkat.Apa dia tidak menjaga perasaanku? Apalagi wanita yang dihadapanku ini kemarin malam terang-terangan meminta posisinya kembali. Dan sekarang, dia mengatakan agar Nadin merasa tetap mempunyai orang tua yang utuh. Apa maksudnya?“Benar, Mas? Alhamdulillah. Akhirnya ....” seru wanita itu semringah, membuatku semakin panas.“Mas,&rdq