Seperti yang telah direncakan sebelumnya, sore hari bakda ashar kami ke studio foto untuk cetak foto gandeng dan fotoku sendiri.Mas Farel mengenakan pakaian PDH. Ia ternyata tampak lebih memesona dengan pakaian itu. Baju yang membungkus press tubuhnya, menonjolkan otot-otot liat miliknya, menambah kesan gagah dan cool yang ia punya.Kami sengaja tidak kemana-mana setelah proses pengambilan gambar. Menunggu kurang lebih 45 menit proses cuci cetak foto di studio, kami langsung pulang untuk melengkapi persyaratan lain yang diperlukan.Beberapa berkas persyaratan sudah disiapkan dari kesatuan, kami hanya perlu menandatangani saja. Yang perlu kami siapkan adalah surat keterangan aku belum menikah yang diketahui aparat desa dan KUA setempat, dokumen tertulis keterangan menetap orang tuaku, SKCK-ku dan Umak, ijazah pendidikan terakhirku, akte kelahiran, serta fotokopi KTP-ku dan Umak. "Mau menikah sudah seperti mau melamar jadi anggota dewan saja," ungkapku saat me-list ulang syarat-syara
Akhirnya terjawab rasa penasaran kenapa Mas Farel begitu posesif melarangku pulang malam bahkan di awal perkenalan kami. Dia tampak begitu panik saat mendapatiku pulang di malam Ayah kecelakaan. Ternyata ada trauma yang mendalam di hatinya tentang malam.Aku sangat mengerti dan dapat merasakan apa yang dia rasakan. Tiga kejadian serupa, dua kejadian menyebabkan dua orang yang dia cintai pergi untuk selamanya, satu kejadian membuat adiknya kehilangan kesempurnaan fisik. Sungguh bukan kejadian yang mudah dilupakan.Mendengar ceritanya saja hatiku pilu, apalagi jika saat itu ada di sana dan menjadi orang mengalaminya."Hanum, kamu tahu sedalam dan sebesar apa saya mencintai kamu?"Ia membelengguku dengan mata elangnya.Aku menggeleng. "Itu tidak terukur. Kamu adalah bagian terbesar dari diri saya sendiri, bahkan mungkin lebih penting. Oleh karena itu, maaf jika saya terkesan membatasimu. Saya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Saya tahu mungkin tiga kejadian itu hanya murni
Aku melangkah kesal sambil sedikit menghentakkan kaki setelah keluar dari ruangan Komandan Kompi. Sepanjang perjalanan pulang dari kesatuan, aku tak putus mengomel. "Ada berapa banyak lagi pejabat yang akan kita hadap?" tanyaku dongkol."Memangnya kenapa?" Ringan, ia balik bertanya tanpa langsung menjawab pertanyaanku. Kebiasaan buruk."Berapa banyak lagi?" kejarku."Lumayan.""Lumayan? Berarti masih banyak?""Iya, dari kesatuan sini sampai nanti ke Kodam," balasnya tetap ringan. Aku mendengkus mengetahui jawabannya."Apa setiap pejabat yang dihadap harus bertanya hal-hal seperti itu?""Mungkin. Memangnya kenapa?""Capek, ah," sungutku malas."Capek?""Iya. Enggak usah nikah kantor saja lah. Cukup begini saja. Enggak perlu lah nikah kantor segala. Untuk apa, sih?"Laki-laki itu tidak menjawab. Ia tetap melajukan sepeda motornya dengan tenang, membuatku semakin kesal."Mas!""Kita bicarakan di rumah," sahutnya membuatku mendengkus tidak sabar.Sesampai di rumah, aku melangkah dengan k
Setelah mendapat izin dari pimpinan satuan kerja masing-masing, besok rencananya aku dan Mas Farel akan bertolak ke Pontianak guna melanjutkan serangkaian urusan nikah kantor kami yang masih tersisa.Belum berangkat, rasaku sudah tidak karuan. Bahkan badan serasa panas dingin.Ada dua hal besar yang menungguku di sana. Yang pertama serangkaian urusan nikah kantor yang membuat jantung selalu berdegup takut saat masuk di setiap sesi, dan yang kedua yang paling mendebarkan serta membuatku nervous sejak awal adalah pertemuan dengan keluarga besar mertua. Baru membayangkan pertemuannya saja nyaliku sudah menciut. Bagaimana jika benar-benar sudah bertemu? Walaupun tempo hari pernah berkomunikasi melalui video call, bertemu langsung untuk pertama kali tetap membuatku gugup.Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur, sibuk memikirkan akan seperti apa sikapku di depan Ayah dan Mama mertua nanti. Sejak tadi aku hanya gelimpak gelimpuk, miring ke kanan, telentang, miring ke kiri, lalu berulang posi
Udara pagi yang dingin, ditambah semalam kurang tidur membuatku mengantuk dengan cepat. Beberapa kali helm yang kupakai beradu dengan helm Mas Farel. Bahkan pegangan tanganku sempat terlepas dari pinggangnya. Aku nyaris terjatuh jika dia tidak memiliki refleks yang kuat dan berhasil menangkap tanganku."Kita istirahat dulu di depan, ya," ucapnya setelah mengurangi laju kendaraan. "Iya." Aku mengangguk.Di tepi jalan sebelum memasuki Kota Mempawah, setelah lebih satu jam menempuh perjalanan, terdapat banyak tempat persinggahan yang didirikan penduduk dengan latar panorama laut sebagai pemandangan.Tempat ini sangat nyaman dan strategis untuk dijadikan rest area. Beberapa tempat pun di desain berbentuk lesehan yang sekaligus bisa digunakan sebagai tempat tiduran bagi pengendara yang lelah dan mengantuk."Ayo." Dia mengajakku turun dari sepeda motor, menggandengku menuju salah satu tempat yang nyaman untuk melepas penat."Mau tidur dulu?" tanyanya setelah kami sampai pada tempat yang dit
"Uhuk!"Aku tersedak, sama sekali tidak menyangka dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan, benar-benar surprise dan membuat nervous."Hanum." Laki-laki itu tampak terkejut. Tangannya refleks menepuk-nepuk punggungku, berharap dapat membuatku nyaman sehingga tersedakku berhenti. Akan tetapi, usahanya gagal. "Kenapa?" tanyanya agak panik ketika aku terus terbatuk hingga wajahku terasa panas dan mataku berair. Ia lantas sedikit berteriak memanggil pemilik rest area dan memesan air mineral."Minum dulu," ujarnya setelah karyawan membawa sebotol minuman mineral pada kami. Laki-laki itu segera mengarahkan botol yang tutupnya sudah ia buka padaku.Aku lekas meneguk beberapa, hingga tenggorokan yang terasa tidak nyaman, berangsur lega."Sudah enakan?" tanyanya setelah batukku sedikit mereda. "Iya." Aku mengangguk."Minum lagi?" Ia mengulurkan kembali botol minuman itu padaku."Enggak. Udah." Aku menolak."Kenapa, kok, tiba-tiba tersedak," tanyanya khawatir. Ibu jarinya mengusap sudut matak
Sebelum masuk waktu Zuhur, akhirnya kami tiba di Pontianak. Jantungku berpacu kian cepat seiring gerak kendaraan yang melaju menyisiri jalanan kota. Badanku panas dingin, sementara telapak tangan sudah sedingin es. Tubuhku langsung 'nderedeg' ketika sepeda motor yang Mas Farel kendarai memasuki sebuah rumah yang memiliki pekarangan cukup luas. "Ayo, Sayang." Ia tersenyum sambil mengulurkan tangan saat melihatku hanya berdiri terpaku di tempat."Rumah orang tua kamu di sini, Mas?" tanyaku meyakinkan. Tiba-tiba aku berharap perjalanan kami masih jauh, rumah kedua orang tuanya bukan di sini."Iya." Jawabannya memupus harapan absurd-ku."Ayo, masuk. Mereka pasti sudah menunggu di dalam," ujarnya."Aku takut, Mas," ungkapku jujur. Tidak ada kesempatan lagi untuk jaga image di depan laki-laki itu."Tidak usah takut," balasnya mencoba menenangkan."Bagaimana kalau Ayah, Mama, dan adik-adik, Mas, tidak menyukaiku?""Insya Allah mereka menyukaimu. Tadi waktu video call sudah lihat sendiri 'ka
Aku sudah tidak bisa lagi menikmati makan siang dengan nyaman. Hadiah yang diberikan Mama Anin dan Ayah Kusuma sukses membuat perasaanku tidak karuan. Rasa malu dan gugup membaur menjadi satu. Keluarga ini begitu kompak menggoda kami sebagai pasangan yang baru menikah. Mas Farel bisa menanggapi dengan santai godaan demi godaan saudara dan orangnya. Mungkin karena dia laki-laki dan sudah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lahir. Sementara aku yang baru datang beberapa jam yang lalu, harus berjuang keras untuk bisa tenang dan mengenyahkan rasa salah tingkah. Setelah makan siang, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Maysa dan suaminya pun memilih beristirahat di sini sebelum kembali ke kediaman mereka nanti sore. Putri bungsu Mama Anin itu masih ingin melepas rindu bersama keluarga besarnya.Mas Farel melingkarkan tangannya di pinggangku, menggandengku menuju kamarnya yang tadi kami tempati. Hatiku berdebar seiring langkah kami. Sejak pembicaraan bulan madu di rest area tadi,