"Hadi?" Aku mengerutkan dahi. Mengapa tiba-tiba dia membahas laki-laki itu?"Iya.""Mas mau bertanya apa tentang Hadi?" tanyaku tidak mengerti."Tentang hubungan kalian," sahutnya lugas."Hubungan kami?""Ya.""Kami enggak ada hubungan apa-apa, Mas. Selain rekan kerja.""Sama sekali tidak ada hubungan spesial apa-apa?" tanyanya seolah tidak percaya."Hubungan spesial apa maksud, Mas? Bukankah dulu, Mas, juga pernah menanyakannya dan aku sudah menjawab bahwa kami tidak ada hubungan apa-apa," terangku sedikit kecewa. Terus terang aku tidak suka dengan kecurigaannya yang menurutku tidak beralasan.Hubungan spesial? Spesial apa? Ya Tuhan, bagaimana dia bisa berpikir sampai ke sana?"Iya, Hanum. Dulu saya memang pernah menanyakannya dan kamu sudah menjawab bahwa kalian memang tidak ada hubungan apa-apa. Tapi, entah mengapa saya selalu cemburu setiap bayangan laki-laki itu melintas, terlebih saat mengingat bagaimana cara dia melihatmu. Rasanya hati saya panas," terangnya, "Saya hanya ingi
"Hanum, bangun." Aku merasakan tangan kekar Mas Farel menggoyang pelan pundakku. "Hmm." Aku menggeliat malas.Setelah kebersamaan kami yang ketiga kali usai makan malam tadi, aku merasa begitu lelah dan tidak bisa menahan kantuk. Padahal aku tidak berniat untuk tidur, melainkan tengah menunggu giliran untuk membersihkan diri setelah Mas Farel."Mas?" Aku memaksa membuka mata, menatapnya setengah sadar dengan mata yang terasa begitu merekat.Laki-laki itu sedang duduk memerhatikanku dari pinggir ranjang. Seluruh tubuhnya tampak kering. Bahkan dia sudah berpakaian rapi. Dari penampilannya, dia sama sekali tidak terlihat baru selesai dari kamar mandi. Apa dia tidak jadi membersihkan diri atau aku yang tertidur terlalu lama? Entahlah."Iya, Sayang. Ayo, bangun. Pakai pakaian kamu," sahutnya. Dia mengulurkan pakaian yang tadi kukenakan lengkap dengan inner-nya.Aku menerima benda-benda yang tadi terlepas dan tercecer tak tentu arah itu sambil meringis, menyesalkan mengapa dia justru memun
Aku yang semula duduk bersandar, terkejut lantas menegakkan punggung, merasa cemas dan tegang seketika. "Mas." Aku menoleh pada laki-laki di sampingku yang sedang fokus dengan kemudi itu. Keteganganku bertambah ketika terasa ia meningkatkan laju kendaraan. Aku menelan ludah, menatapnya dengan berjuta rasa takut dan cemas. Bahkan karena terlampau takut, rasanya aku hampir mau menangis. Mas Farel menoleh sebentar ketika aku memanggilnya. Dia tidak menyahut. Laki-laki itu justru meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Ia menatap tegas. Sedikit aku merasa terlindungi. Genggaman tangan dan tatapannya seolah berkata bahwa aku tidak perlu khawatir. Sebab dia ada dan akan selalu menjagaku. Baru saja rasa aman sedikit menyapaku, tiba-tiba sebuah pukulan keras terasa menghantam badan mobil. Aku kembali tersentak cemas. Mas Farel menambah lagi laju kendaraan. Ia meliukkan mobil, sedikit menjauh dari pengendara sepeda motor itu. Aku sudah tidak bisa lagi bersikap tenang. Jantungku berdegup
Aku mengerjap ketika mendengar sayup-sayup sholawat tarhim dari mesjid yang terletak tidak jauh dari rumah Ayah. Masih dengan kesadaran yang belum belum sempurna, aku meraih ponsel yang sebelumnya sempat kuletakkan di atas nakas untuk melihat penunjuk waktu di sana. Pukul 04.05 wib. Rupanya sebentar lagi akan masuk waktu subuh. Aku menguap beberapa kali. Mata masih terasa begitu berat untuk dibuka. Malam ini aku hanya terlelap kurang lebih satu jam saja usai penyatuan terakhirku dan Hanum tadi. Sebelumnya, aku tidak bisa terlelap sama sekali hingga memutuskan untuk pulang ke rumah.Aku melirik wajah Hanum yang terlelap pulas dalam pelukanku. Wajah yang begitu natural dan polos, sangat menggemaskan. Begitu saja kedua ujung bibirku tertarik ke atas, tidak bisa menahan luapan bahagia setiap kali menatapnya. "Saya akan selalu menjagamu, Sayang. Tidak akan pernah mau kehilangan lagi untuk kedua kali. Saya akan melindungimu dengan segenap kemampuan saya, jiwa dan raga hingga tetes darah
"Sudah biarkan saja, Hanum. Nanti ada Mbak yang bantu-bantu yang akan membereskan. Kamu segera siap-siap, setelah itu kita sarapan. Sekalian panggil Farel." Pagi ini aku membantu Mama Anin menyiapkan sarapan untuk keluarga besar. Ketika aku hendak mencuci perabot bekas memasak yang kotor, wanita lembut itu melarang."Iya, Ma," sahutku patuh. Setelah itu aku lantas menuju kembali kamar Mas Farel untuk bersiap-siap. Hari ini kami akan tetap melanjutkan urusan nikah kantor ke Kodam. Mas Farel tidak mau menunda sama sekali. Padahal aku sudah menyarankan untuk ke Kodam besok saja. Hari ini mungkin lebih baik kami beristirahat dulu untuk menenangkan diri setelah apa yang kami alami tadi malam. Terlebih dia yang kemudian kuketahui nyaris tidak tidur semalaman.Laki-laki itu masih terlelap ketika aku masuk ke kamar. Usai sholat subuh tadi, tidak seperti biasa kami memutuskan untuk tidur kembali. Namun, aku bangun lebih dulu untuk membantu Mama Anin menyiapkan sarapan, membiarkan Mas Farel t
"Cari saya?"Aku memindai laki-laki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu dengan seksama. Kedua alisku bertaut. Aku sama sekali tidak merasa mengenal orang ini, untuk apa dia mencariku?"Bapak mengenal saya?" Aku bertanya bingung."Ya," jawabnya semakin membuatku bingung."Kita pernah kenal di mana, ya?""Saya kenal kamu, tapi kamu tidak kenal saya.""O ...." Aku mengangguk walau masih setengah paham," Bapak ada keperluan dengan saya?""Ya.""Keperluan apa?""Saya diminta untuk menjemput kamu.""Jemput? Kemana? Siapa yang menyuruh untuk menjemput saya?""Kamu tidak perlu tahu dan jangan banyak tanya!" Tiba-tiba nada bicara laki-laki itu berubah menjadi dingin dan bengis. Dari dalam saku jaketnya, dia mengeluarkan sebuah belati dan mengarahkannya padaku."Ikut! Atau kamu akan celaka!" ancamnya.Aku tercekat. Ingatanku sontak melayang pada kejadian dini hari tadi. Apakah laki-laki ini pengendara sepeda motor yang melakukan peenyerangan kepada kami? Aku merasa nyaliku menciut.
"Apa, Om, benar-benar menyukainya?" Dewi menatap laki-laki itu dengan makna yang tidak bisa kubaca, tetapi firasatku mengatakan itu bukanlah sesuatu yang baik. Dia menghentikan gerakan tangannya membuka kancing seragamku."Tentu saja." Laki-laki itu terkekeh menjijikkan. Tangannya terulur ke arah pipiku."Pipimu juga begitu lembut kenyal. Sama dengan pipi Anin dulu," lanjutnya."Jangan sentuh!" Aku menepis tangan kasar, hitam, dan tua itu dengan satu tangan. Tidak sudi disentuh olehnya. Sementara tangan yang lain memegang dan menyatukan kuat bagian seragam yang kancingnya telah terlepas agar tidak terbuka.Laki-laki itu tertawa menyeringai, menyeramkan. "Jangan jual mahal. Kamu tidak punya kuasa di sini. Aku bisa melakukan apa pun sesuai kehendakku. Sebentar lagi kamu akan takluk," ucapnya diiringi tawa sinis."Kalau begitu eksekusi sekarang saja, Om! Tentu sangat menyenangkan." Dewi melepaskan cengkeraman tangannya pada bajuku. Dia menghentikan niatnya untuk lanjut melepas kancing s
"Perempuan iblis!" Seperti tidak peduli dengan status gender, Mas Farel pun melayangkan satu tendangan keras ke arah Dewi. Tidak ubahnya laki-laki tadi, perempuan itu pun terjengkang ke belakang sembari berteriak kesakitan."Farel, apa yang kamu lakukan? Demi perempuan yang baru kamu kenal itu kamu tega sekasar ini padaku?" Dewi tidak terima dengan apa yang Mas Farel lakukan. Dia memegang dadanya yang tadi menjadi titik sasaran."Dia istriku! Dan kamu pantas mendapatkan bahkan lebih dari itu!," sahut Mas Farel garang, "Apa yang kamu lakukan tidak bisa termaafkan. Terlalu murah jika hanya dibayar oleh satu pukulan." "Aku melakukan ini karena aku mencintaimu, Farel! Demi kamu supaya kita bisa bersatu! Aku yang pantas menjadi istri kamu. Aku yang lebih dulu mengenalmu, bukan perempuan itu!""Aku tidak akan pernah sudi hidup bersama perempuan iblis sepertimu! Jika pun semua perempuan di muka bumi telah habis dan hanya tersisa kamu, aku tidak akan pernah sudi. Aku lebih baik hidup sendiri