Penyatuan yang sangat luar biasa, menyelami samudra cinta, semanis madu, merengkuh indahnya bersama. Rasa memabukkan dan membuat candu tak ubahnya seperti coklat manis. Suara keduanya menggema bersautan di kamar hotel yang cukup luas tersebut. Axelle begitu menghayati setiap denyutan yang menjepit dirinya di bawah sana. Ikrar pernikahan tanpa sengaja, yang dulu ia tolak. Kini layaknya menelan ludah sendiri. Axelle begitu mengagumi Stela. Keindahannya tak khayal membuat ia seperti orang kurang waras. Seminggu tanpa Stela membuat Axelle seperti hilang arah. Di raih bibir wanita yang tengah di gagahinya. Lumatan yang semakin membelit, seiring dengan tubuhnya yang mulai menuntut di bawah sana.
Erangan Stela tertahan bibir suaminya. Dia memejamkan mata, meresapi setiap sensasi nimatnya surga dunia yang tak terkira. Tubuhnya sedikit melonjak kala dirinya di ambang batas. Matanya terbuka, bibirnya membalas ciuman sang suami.
Axelle
Mirza merasa terhinati, ia awalnya tak menduga. Menerima telepon dari sang kakek, menyuruhnya mengantar dokumen untuk sang papa. Akan tetapi siapa sangka jika sang kakek, merencanakan sesuatu untuknya. Kakek Zeroun sengaja membuat Mirza melihat semua ini. Tatapan pemuda itu tajam mengusik, memandang dalam kedua orang yang menjadi sasarannya. Wajah putih memerah, padam, matanya membulat lebar, menahan amarah yang membuncah. Ia meremas dokumen yang dipegangnya hingga kusut. Betapa menyakitkan menyaksikan sang papa berselingkuh, ketahuan di depan matanya. Yang lebih sakit, kenapa wanita selingkuhannya adalah Auristela. Sahabat terdekat sekaligus perempuan yang Mirza cintai sejak lama. Sakit, memang hati terasa sakit. Dada menyesak seketika. Stela sendiri di posisi tersulit, dia bingung dan khawatir. Tangannya mengepal, menundukkan kepala. Betapa terkejutk ia kala sang suami menggebrak meja makan. Jantungnya berdebar cepat tak menentu. Dia tidak
Seperti layaknya musim semi, bunga-bunga indah bermekaran. Tak jauh berbeda dari hati seseorang, akan merekah jika cinta bercokol di hati. Menyematkan seribu rindu tak terbendung. Lantunan nyanyian indah akan mengalun bersama rasa bergejolak di dada. Bagitulah hingar bahagia Auristela, hatinya tersemat satu nama. Bukan nama lelaki lain, melainkan nama sang suami, Axelle Zeroun. Usia yang terpaut amat jauh tak membuat rasa itu runtuh. Sejak penyatuan keduanya untuk pertama kali. Hati Stela ikut terbawa, terbawa pesona Axelle. Papa dari sahabatnya Mirza. Salahkah rasa cinta yang hadir tanpa terduga itu? Stela sendiri sempat meragukan rasa yang bersemayam. Hingga Mirza menanyakan rasa itu. Stela menatap sendu Mirza, pemuda tampan yang duduk di sampingnya kini. Netra keduanya saling menatap, Stela dapat melihat bayangan dirinya pada bola mata Mirza. Penuh ragu ketika ia hendak mengucap kata tidak, suaranya terkunci. Seperti Benang kusut tak terurai S
Sepoi angin berhembus dengan mesra, menerbangkan sebagian rambut panjang terurai milik Stela. Jantungnya berdebar kencang tak menentu, di tambah lagi tatapan tajam Axelle menelusup masuk ke relung hatinya. Sangat terasa mengesankan, senyum sang suami begitu membuatnya terhipnotis. "Saya mencintai Om Axelle," kata Stela begitu saja. Wanita itu kemudian menutup mulut dengan segera. "Kenapa aku mengatakannya tanpa sadar Axelle tampak berbinar menyaksikan wajah memerah sang istri. Sepeti buaha apel yag soap untuk di gigit. Bukan hanya itu, taoi Acelle begitu tergoda akan pesona Stela. Dia bangkit dari duduk, mengulurkan tangan denga mesra. "Mari kita pulang sekarang, Sayang," ujar Axelle kemudian. Lelaki itu tak ingin berlama-lama. Melihat wajah Stela yang selalu menggoda naluri lelakinya. Axelle membuka pintu mobil mempersilahkan istrinya masuk. Stela tersenyum manis dan masuk ke dalam mobil. Axelle berlari lecil menuju
Gemerisik dedaunan terseok angin yang menyapa, menyambut kedatangan Mirza di kediaman utama Zeroun. Kakinya menjadi tumpuan di tanah kala ia turun dari motor gedenya. Langkah kaki panjangnya terlihat memburu, cepat. Seolah ada sebuah kekhawatiran besar yang merayapi hatinya. Kedatangan Mirza disambut Zeroun. Lelaki tua tersebut berdiri di depan pintu, senyum mengembang di wajah keriput miliknya. Rambut yang memutih menari-nari tersapu angin. Mirza langsung berlari kecil agar lebih cepat sampai. Pemuda tersebut menyalami Zeroun. Zeroun sendiri langsung saja meraih, memeluk Mirza. "Pagi sekali Nak," ujar Zeroun pada Mirza. "Semalam saya tidak bisa tidur kakek," jawab Mirza. "Aku mengerti, masuklah," ajak Zeroun. Mirza menggandeng Zeroun. Layaknya seorang cucu memapah kakeknya. Keduanya berjalan ke sofa yang berada di ruang tamu. Mereka kemudian duduk berdapmpingan, di salah satu kursi sofa
Mobil yang di kemudikan Axelle masuk ke parkiran rumah sakit yang kemarin. Di ikuti motor gede kebanggaan Mirza, selang tak lama mobil yang di naiki Zeroun jua ikut menepi. Ketiganya berkumpul untuk kemudian berjalan semakin mendekat ke arah ke pintu rumah sakit. Mereka menelisuri lorong, menuju ke ruang laboratorium. Tanpa susah payah minta izin, ketiganya masuk ke dalam ruangan. Dokter botak yang kemarin menangani mendekat menghampiri. Memberikan amplop panjang kepada Axelle. Zeroun nampak menepuk pundak Mirza kala amplop di tanga Axelle diserahkan pada Mirza. Pemuda tersebut bergegas membuka amplop tersebut. Sebuah surat yang akan membuatnya tercengang dengan mata melebar. Hasil tes menunjukkan ketidak cocokan antara gen miliknya dengan sang papa. Air bening meleleh di pipi. Axelle kemudian memeluk Mirza menguatkan hati pemuda yang selama ini ia besarkan.
Amarah tersembunyi hampir saja membeludak kala Freya mengecup bibir Axelle. Rasanya tak seindah dulu, hal yang ingin di hindari adalah menyentuh wanita penghianat itu. Tangan Freya yang melingkar di leher Axelle menariknya hingga Axelle sedikit membungkuk. Dengan sungkan Axelle membalas lumatan bibir Freya. Setelah di rasa cukup lelaki itu menarik tubuh sintal sang wanita. "Sayang, kau tidak merindukanku?" telisik Freya. "Bukan begitu Sayang, kita sedang di kantor. Kau juga tengah hamil. Jaga kehamilan kamu baik-baik," jawab Axelle. Lelaki itu menggandeng Freya dan mempersilahkan duduk di sofa tamu. "Apa yang kau bawa itu?" imbuh Axelle. Keduanya duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang. Freya tersenyum, dia meletakkan rantang makan siang di meja. Untuk kemudian membuka satu persatu. Ada beberapa makanan sea food, sed
Mirza sangat menyayangkan sikap sang mama. Bagaimana bisa sang mama menduakan cinta dari seorang lelaki bernama Axelle. Menyakitkan, dia bahkan bukan anak kandung dari lelaki yang ia anggap papa. Sesak mengingatnya, tapi apa daya. Waktu berlalu terlalu indah dan menyenangkan, perigainya yang dingin seperti balok es. Akan tetapi tidak dengan perhatiannya, bagi Mirza Axelle sosok ayah yang hangat penuh kasih sayang. Mata pemuda tersebut berkaca-kaca, buliran bening menetes di pipi. Ingin dia berteriak menyalahkan seseorang tapi harus menyalahkan siapa. Mirza tidak mungkin menghakimi sang mama. Wanita yang telah melahirkan dirinya. Lantas siapa ayah kandung sebenarnya. Mirza menanti semua kebenaran terungkap. Pemuda itu berjalan melewati koridor perusahaan Zeroun Groub. Langkahnya terhenti, mimik wajah sayu ia ubah ceria seketika. Di hapus air mata di pipi, dia menghela napas panjang. Dia kbali menguatkan hati, menatap lelaki tua di seberang sana tengah bercengkrama dengan
Sesuai yang Axelle janjikan, lelaki tersebut mengantar Stela untuk bersua dengan editornya. Mereka merangkul mesra istri kecilnya tersebut masuk ke dalam. Kemudian duduk di kursi dekat jendela kaca. Stela dapat melihat kendaraan berlalu lalang di kuar sana. Suasana semakin romantis dengan adanya grub musik yang melantunkan lagu romantis. Axelle nampak berseri menatap Stela yang duduk di sampingnya. Dia merasa terhibur dengan ocehan istri kecilnya. "Stela, maaf lama." Suara maskulin terdengar tiba-tiba mengagetkan. Stela dan Axelle menatap bersamaan ke arah suara tersebut. Seorang pemuda tampan tinggi berdiri. Pemuda tersebut menarik kursi, untuk kemudian duduk di hadapan sepasang suami istri itu. Dia tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipitnya. "Selamat sore Pak editor," sapa Stela.