Axelle masih berdiri dengan lesu, tubuhnya bersandar di pintu, menyaksikan sang ayah dengan wanita yang Axelle tahu adalah kepala pengurus rumah, Ibu Olivia. Mendengar percakapan sang ayah dengan wanita tersebut, Axelle kembali teringat kejadian tadi malam. Dimana Stela marah saat membaca pesan FastApp. Bukan hanya itu, ada panggilan dari seorang wanita yang memicu kemarahan Stela. Sang istri menangis sembari berlari keluar kamarnya. Menuruni tangga menuju kamar lama. Axelle berusaha mengetuk pintu, berharap Stela mau membukakan pintu dan mendengar penjelasannya. Sia-sia, pintu kamar lama Stela tetap terkunci, Axelle paham benar, Stela pasti terluka. Lelaki tersebut mengutuk diri sendiri karena ceroboh. Lesu, Axelle mirip anak kecil yang dimarahi sang ibu. Dia tak berdaya menyandarkan punggung pada pintu kamar bercat putih susu tersebut. Cukup lama, hingga lelah melanda juga kantuk membuat dia terlelap.
Axelle berusaha mengejar sang istri yang kabur. Lelaki itu paham benar, bagaimana perasaan Stela saat ini. Dalam hati dia merutuk diri sendiri. Kesalahpahaman makin bertumpuk membuat kepalanya berdenyut. Sayang, langkahnya tidak kalah cepat. Axelle melongo memandang ke arah Stela yang mulai menjauh. Entah dirinya yang lamban, atau karena kepalanya yang pusing yang membuat dirinya kesakitan bergerak.Stela semakin berlari menjauh dari pelataran kantor. Dadanya bergemuruh, panas, dingin campur aduk, amarah membludak. Sesakit inikah cemburu? Usianya yang masih labil membuat dia mudah meledak dalam amarahnya. Melihat Marvel dan juga Mirza berdiri di pojok pelataran. Stela seperti melihat kesempatan, dia berlari menghampiri Mirza."Mirza, antar Stela pulang, sekarang," sungutnya.
Beberapa tahun silam, di sudut kota K. Olivia beserta Zeroun tengah sepakat mengamati pemuda bernama Roland. Kota dengan banyak pengemis dan gelandangan. Pasar gelap maupun transaksi barang ilegal marak terjadi di tempat tersebut. Bar dan tempat judi merajalela hampir di kota kecil tersebut. Bahkan tempat prostitusi juga berkembang pesat. Entah karena kota ini yang miskin atau memang pemimpinnya yang banyak korup. Zeroun tidak ambil pusing. Dia dan juga Olf tetap pada tujuannya. Mencari informasi sekecil apapun tentang kematian sang istri. Bukan tanpa sebab mereka datang ke tempat kumuh ini. Sudah hampir puluhan tahun sejak meninggalnya sang istri. Namun, berkat penyusupan joy, pemuda gagah yang hampir seusia Roland membantunya dengan senang hati. Olivia begitu tegas mendidik putranya, hingga Joy tumbuh seperti dirinya. Sejak memasuki sekolah menengah atas. Olf mempercayakan dunia bawah tanah pada Joy. Tentu berkat pelatihan Joy yang lulus menerima ujian. Pemuda
Dengan tidak tahu malunya wanita tersebut mencibir Stela. Menantu dari keluarga Zeroun, tidak ada hal paling memalukan dibanding harga diri yang terinjak-injak. Ocehan wanita tersebut terngiang di telinga Stela. Gadis yang awalnya berwajah sendu berubah gahar. Dalam hati ingin rasanya Stela menarik bibir sexy itu hingga bengkak.Plak! "Aw," pekik wanita itu menerima tamparan keras di pipi. Matanya mendelik seketika. Stela lebih memilih menampar wanita tadi agar terdiam. Wajahnya tanpa ekspresi menatap calon perebut suaminya. "Kamu pikir aku akan takut, heh, jangan banyak nonton sinetron yang membuat anda bermimpi," cibir Stela bersedekap. "Kau, dasar anak ingusan kurang ajar!" pekik wanita tersebut memegangi pipinya yang sudah pasti terasa perih. Tanpa kedua wanita tersebut ketahui, Axelle telah terbangun. Dia yang baru saja meminum obat pemberian dokter Rafael, sempat
Axelle mengeringkan rambut Stela dengan alat pengering rambut, sang istri duduk di sudut ranjang. Stela menatap layar ponsel dalam genggaman, ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Mirza. Wanita tersebut mengernyitkan kening tat kalau melihat banyak pesan dari Mirza. [Hei, kau masih hidup, kenapa tidak menjawab panggilanku?] Tanya Mirza pada pesan FastApp tersebut. [Aku baru saja mandi] jawab Stela. [Lain kali jika ingin bertarung peluh dengan suamimu, kuncilah pintu, bodoh!] Balasan dari Mirza sontak membuat Stela mendelik. [Hei, kau kurang ajar mengintip orang sedang berlayar samudra cinta] Bibir Stela manyun. [Aku hanya mendengar desahan dan teriakan si betina ketika hendak membuka pintu] 'Astaga, aku malu sekali,' keluh Stela dalam hati. [Kau tidak akan bunuh diri karena mau, kan] kembali pesan dari Mirza masuk. [Dasar tidak sopan] balas Stela yang langsung meletakkan ponsel di p
Malam yang dingin tidak lagi dirasa sepasang suami istri yang tengah dimabuk asmara tersebut. Keduanya berbaikan, bahkan Stela khusus memasak untuk tamu sang suami yang tadi berdua di kantor. Fabian dan juga Meilani, sepasang suami istri, rekan bisnis yang cukup berpengaruh bagi Zeroun Group. Kesana baik diperlihatkan Stela sebagai menantu Zeroun. Gayung bersambut, sepasang suami istri yang ternyata telah memiliki tiga orang anak tersebut menerima kesepakatan kerja sama. Sorak sorai terdengar menggema di ruang makan. Sebagai rasa syukur, Zeroun mengajak sepasang suami istri yang mungkin seusia putranya tersebut untuk mengunjungi bar di ruang bawah tanah. Para lelaki tersebut berjalan ke bawah, sedangkan Stela dan juga Meilani memilih berjalan keluar menuju taman. Banyak hal yang Stela dan Meilani ceritakan. Sebisa mungkin sekali lagi, Stela ingin memberikan kesan terbaiknya. Malam yang sungguh menggembirakan tersebut pun berlal
Terkadang di dunia ini ada suatu hal yang memang terjadi karena ketidaksengajaan. Begitu pula dengan kehidupan Stela yang datar sebelumnya. Sebagai seorang komikus remahan, tentu dia sempat ditolak beberapa kali karyanya oleh penerbit. Berkat dukungan dan ketekunan belajar dia berhasil menerbitkan komik untuk pertama kali ketika menginjak kenaikan kelas dua SMA. Mendengar penuturan Arsen yang mengatakan jika novel yang dia buat sama persis dengan kehidupannya sendiri. Sontak Stela langsung tersedak mendengar penuturan Arsen. Pasalnya Stela benar-benar tidak menyangka sebelumnya. Mata wanita muda tersebut masih mendelik menatap Arsen."Mana ada, kau tahu kan itu komik lama sebelum aku mengenal jauh suamiku," dengkus Stela memanyunkan bibir."Tentu aku tahu hal tersebut Stela, aku yang menemani dir
Seorang pemuda tampan dengan gaya casual, kaos oblong warna putih, dengan jaket berwarna hitam serta celana jeans warna navy. Cekatan dia menarik lengan Stela dari pelukan Arsen. Dalam sekejap wanita mungil tersebut sudah berada dalam pelukannya. Wajah sangat pemuda datar menatap orang-orang disekitarnya mengacungkan pistol. Stela menatap nanar, keadaan begitu mencekam. Dia berusaha meronta dari dekapan lelaki asing tersebut. Tampan sebenarnya, Stela sempat terpukau dengan wajah yang lebih mirip opa-opa Korea. Rambutnya bercat coklat serasi dengan kulit yang putih mulus. Stela menggelengkan kepala, menyadarkan diri dari segala angan dan sesuatu yang membuatnya salah tingkah. "Aku anak buah suami Anda, Nyonya Axelle Zeroun," kata sang pemuda. "Aku tidak pernah melihatmu," ucap
Kediaman Zayn Nampak Arsen bergegas memasuki rumah utama kediaman Zayn. Langkah kaki begitu keras menapak lantai, tatapannya setajam singa yang menahan amarah. Wajahnya masih nampak gagah meski tengah menahan amarah. Gegas dia melangkah menaiki tangga, lebih tepatnya sedikit berlari. Tangannya mengepal kuat, beberapa asisten rumah tangga yang tidak sengaja berpapasan langsung menundukkan kepala. Mereka langsung berbisik satu sama lain usai tuannya berlalu. Paham benar situasi sedang tidak baik, setiap sangat tuan muda kembali, selalu dalam keadaan marah. Brak! Suara pintu dibuka paksa oleh Arsen, dia menyelonong masuk ke dalam ruang kerja sang papa. Sangat terlihat luas, dan elegan khas ruang kerja para bangsawan. Zayn yang tengah sibuk menat