"Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi kamu rasakan semenit, sejam, sehari , atau setahun . Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya." Lance Amstrong.
____________________________________________________________________________Wei Fangying menatap negara Tiongkok yang semakin kecil dari ketinggian, airmata pun menetes di ujung matanya saat bayangan akan kenangan masa kecil bermain di pelupuk matanya. Masih sangat jelas dalam ingatannya, bagaimana kakek Wei menghapus diam-diam airmata yang jatuh di pipi tuanya saat dirinya meminta restu untuk hidup sendiri.
Masih didengarnya suara tangis adik perempuannya Nuan Nuan yang tak rela ditinggalkan. Begitu juga tatapan sedih dan kecewa di mata adik lelakinya Wei Ju Long yangsempat berbisik akan mencari dan menyusul dirinya dimana pun berada. Tangis kehilangan dari mama, yang sepanjang usiannya lebih banyak menangis untuknya. Dan tatapan bersalah yang ditunjukkan paman Lin yang seakan ingin mengatakan kalau semua ini adalah kesalahannya.
Tidak paman, ini bukanlah kamu yang memulai tapi takdirlah yang mengatur ini semua. Takdir sudah menuliskan seperti inilah jalan cerita keluarga Wei. Paman Wei Qio Lin memang sangat berbeda dengan kakak lelakinya mendiang Wei Qio Yue yang arogan dan tak setia. Paman Lin type pria lembut berhati hangat yang sangat menyayanginya bukan sebagai keponakan tapi sebagai putra sulungnya.
Bahkan setiap bulan paman Lin tak pernah absen mengisi saldo tabungannya walau dirinya tak pernah memintanya. Dan secara perlahan paman Lin juga mengembalikan semua aset yang disiapkan oleh kakek untuknya, aset yang sempat direbut oleh mendiang ayahnya.
Bahkan paman Lin menugaskan salah satu pekerjanya untuk mendampingi dan memantau kehidupan Wei Fangying dari jauh. Agar putra pertamanya itu tidak merasa menderita sendirian di tanah yang jauh dari tanah leluhur.
Wei Fangying memejamkan kedua matanya, dia tak mengantuk seperti halnya paman Wong yang sudah tertidur nyenyak. Dia hanya memikirkan apa yang akan dia lakukan di Singapura nanti. Apakah dia hanya makan dan tidur dirumah sepupu jauhnya, atau bekerja dengan bermodalkan ijazah yang dia bawa. Wei Fangying sama sekali belum memiliki bayangan untuk itu.
Dia berjanji dalam hati, untuk tidak merepotkan kakek juga pamannya. Dia ingin buktikan kekuatannya sendiri dalam membentuk dua kaki yang kokoh dan dua lengan yang kuat untuk menopang ke hidupannya dimasa depan.
Suara merdu awak kabin membangunkannya akan mimpi makan bersama seluruh keluarga, saling bersenda gurau dengan menghadap aneka makanan lezat.
"Apa kita sudah sampai, tuan muda?" paman Wong yang juga terbangun mengedarkan pandangan ke sekeliling kabin ekonomi itu. Dirinya harus berhemat untuk uang yang dia bawa. Sebenarnya bisa saja dia memilih untuk duduk dikelas bisnis, tapi pikirnya itu hanya membuang uang saja. Sementara antara penumpang kelas bisnis dan ekonomi sampai ditujuan bersama-sama. Jadi apa istimewanya.
"Belum paman, pilot masih mencari jalur aman untuk turun ke landasan."
Paman Wong hanya mengangguk mendengar jawaban tuan mudanya ini. Lalu kembali menyandarkan punggungnya kekursi.
Tiga puluh menit kemudian suara pilot terdengar, mengabarkan kepada penumpang kalau pesawat sudah bersiap melakukan pendaratan di bandara internasional Changi, Singapura.
Wei Fangying segera memeriksa nomor telphone juga alamat milik kakak sepupunya itu agar tidak salah.
Hentakan roda dengan aspal landasan pacu menandakan kalau saat ini mereka sudah menginjak bumi, tidak lagi melayang diantara awan diatas ketinggian hampir 30 ribu kilometer. Dan akhirnya bangunan bandara Changi pun terlihat sempurna dengan segala kemewahannya
Fengying tetap berada di kursinya hingga semua penumpang turun, dia memang paling malas untuk berdesak-desakan.
Mereka langsung menuju ruang bahasi untuk mengambil tas yang tidak terlalu besar. Lalu melapor kepihak imigrasi bandara atas paspor yang mereka miliki.
Ternyata kakak sepupunya sudah menunggunya di depan pintu keluar gedung kedatangan. Pria bertubuh sedikit pendek darinya itu tersenyum lebar lalu memeluk saudaranya erat.
***
"Ayo kita langsung pulang saja, kakakmu Lin mei sudah menyiapkan makan siang istimewa untukmu." gege Youpan mengajak Wei Fangying juga paman Wong untuk masuk kedalam mobil milik kakak sepupunya itu.
****
Kehidupan yang baru bagi tuan muda Wei pun dimulai. Selama di Singapura yang merupakan kota modern di kawasan Asia Tenggara, Wei Fangying tinggal untuk sementara di salah satu flat di apartemen murah dikawasan yang tak jauh dari Marina Park, yang merupakan salah satu icon terkenal di Singapura dengan patung ikan berkepala manusia yang diberi nama Marlene.
Setiap pagi Fang Ying akan membantu kakak sepupunya membuak kedai Laksa makanan khas Singapura yang berupa mie dengan kuah pedas dengan rasa yang nikmat.
Bekerja dari pagi hingga menjelang sore, dan malamnya Fangying bekerja disebuah pusat keramaian bagi para penggemar kehidupan malam. Mencoba menjadi seorang bartender dengan percaya diri.
"Lusa, pergilah kau temani Jacky ke Batam. Dia kakak suruh menagih uang pembayaran sewa kapal."
Fangying mengangguk sembari tangannya membersihkan meja agar pelanggan yang datang merasa senang.
Batam, adalah salah satu kota penghubung antara Singapura dan Indonesia. Mengingat nama Indonesia, mendadak terbit senyum cerah penuh harapan di hati Fangying.
"Aku akan coba meletakkan garis start di Indonesia. Kakek, mohon restui aku."
"Teman yang baik bisa menjadi pintu rezeki namun teman yang buruk dia akan menutup rezeki."********Dengan menumpang kapal Wei Fengying bersama Jacky Lee menuju ke Kota Batam untuk mengambil uang sewa kapal milik ayahnya Jacky , Youpan Lee.Fengying mengedarkan pandangannya kesekeliling dermaga Batam yang cukup ramai."Biasanya apa yang dilakukan orang-orang di demaga ini ,Jack ?"Jacky pemuda berusia 20 tahun seorang programer di perusahaan IT ternama di Singapura, itu menoleh ."Kalau orang Singapura yang menyeberang ke Batam itu karena bisnis , seperti kita saat ini. Tapi kalau orang Indonesia ke Singapura sekedar jalan-jalan dan belanja saja."Fangying mengangguk mendengar penjelasan Jacky.Mereka lalu berjalan keluar Pelabuhan Batam Center setelah selesai dari pos imigrasi untuk melakukan pemeriksaan kartu pass keluar masuk baik dari Batam ke Singapura atau sebaliknya.
"Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya. Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah." *********** MerantaulahOrang berilmu dan beradab tidak tinggal beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang. MerantaulahKau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang ditinggalkan ( kerabat dan kawan )Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat udara menjadi rusak karena diam terputus Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan menggenang menjadi keruh. Singa jika tak keluar dari sarang , tak akan mendapat mangsa.Anak panah jika tak ditinggalkan busur, ta
"Kesuksesan merupakan mengembangkan kekuatan kita, sedangkan kegagalan adalah akumulasi dari kelemahan kita,"****Dalam kehidupan manusia tida ada rasa kepahitan, tidak ada kesakitan yang abadi, tidak ada lubang yang tidak dapat dilangkahi, dan tidak ada kesulitan yang tidak bisa di lewati."Ingat yang perlu di ingat, lupa dengan apa yang harus dilupakan, mengubah apa yang bisa di ubah dan menerima apa yang tidak dapat diubah." Gu Wei Gong berkata denganekspresi wajahnya yang hangat. Gu wei Gong ini adalah seorang pujangga yang kini memilih menjadi seorang biksu. Dia adalah guru spiritual Yupan yang kerab datang ke kedai untuk sekedar mengobrol dan memahami makna dari sebuat arti kehidupan."Apa yang bisa di ubah itu, guru Gu?" Wei Fangying sangat tertarik dengan kiasan yang disampaikan oleh pria bijak ini. Guru Gu tersenyum dan mengangguk."Yang bisa di ubah dalam kehidupan adalah nasib dan yang tak bisa di ubah dalam kehidupan itu adalah takdir.
"Semua mimpimu akan menjadi kenyataan jika kamu punya keberanian untuk mengejarnya."***Jika kamu ingin mengalahkan rasa takut, Jangan duduk di rumah dan berpikir tentang rasa takut itu. Pergilah keluar dan sibukkan dirimu agar rasa takut itu tak lagi bersemayam di pikiranmu.Hari ini Wei Fangying menyibukkan diri dengan menganilisa wilayah. Pemuda itu mulai pukul 6 pagi sudah berkeliling sekitar rumah Tan Sabran Zahirulloh, sahabat guru Gu yang tinggal di Kelana Jaya. Pakcik Tan bekerja sebagai guru besar di salah satu Universitas di Johor Bahru sementara istrinya memiliki balai latihan kecerdasan bagi perempuan. Pakcik Tan memiliki tiga orang anak, mereka sudah menikah dan tinggal di Kuala Lumpur juga di Inggris dan Jepang.Selama tinggal di rumah guru besar itu, Wei Fangying tak ubahnya sedang menjalankan peran sebagai mahasiswa. Karena saat sore hari Pakcik Tan akan membahas hal-hal krusial yang terjadi terutama masalah pertumbuhan ekonomi.
"Keberhasilan tidak akan mendatangimu, tetapi kamu sendiri yang harus mendatanginya."*****Karena terkendala bahasa terkadang membuat Fangying dan Wong Li Yue merasakan kesulitan. Karena tidak semua orang yang bertemu dengan mereka bisa dan paham berbahasa Inggris atau Mandarin. Apalagi buat Wong Li Yue yang bahasa Inggrisnya masih tidak beraturan, sesuka dia menyebutnya saja.Dan hari ini mereka berencana menghabiskan sabtu sore di Kuala Lumpur, karena hari ini Buntario sedang banyak uang. Upah kerjanya di Kilang di terimanya siang tadi.Mereka naik LRT sama seperti saat tiba sebulan yang lalu. Tujuan mereka kali ini adalah jalan Alor yaitu tempat wisata kuliner Kuala Lumpur yang sangat cocok untuk menyuka kuliner seperti Wong Li Yue. Tapi sebelumnya mereka mengunjungi Batu Caves, Kuil Hindu tempat yang akan dipenuhi banyak orang saat diadakan festifal Thaipusam. Tapi di hari biasa pun pengunjung tak pernah surut untuk berphoto dengan latar belakang pat
"Masalah yang kamu hadapi di masa lalu akan membantumu sukses di masa depan."***Wei Fangying membungkuk hormat di hadapan seorang pria yang sama-sam membungkukkan badannya. Dia adalah paman Chen, orang kepercayaan paman Lin yang juga ayah tirinya."Kenapa paman ada disini? dan bagaimana paman bisa tahu kalau saya terkurung di sini." tatapan curiga jelas diberikan Fangying pada pria yang berprofesi sebagai pengacara keluarga Wei itu."Ini semua adalah tugas dari Tuan besar Wei Jun dan tuan Wei Qio Lin, untuk menjaga tuan muda Wei dari jauh."Tuan Chen buru-buru menambah pernyataannya sebelum Fangying melayangkan protes. "Jangan berprasangka buruk pada kakek juga ayahmu, tuan muda. Mereka menugaskan saya untuk menjaga tuan muda tidak terlibat masalah hukum di negara lain. Status tuan muda di sini adalah warga negara asing yang kedudukannya sangat rentan. Oleh karena itu tuan besar memberi saya perintah untuk mendampingi uisi
"Segala kemungkinan kerab kali datang menghampiri. Dan segala kebetulan pun akan ikut menyertai."*****Ketiga pria itu pun melanjutkan perjalanan mereka, kali ini mereka akan berkeliling di sekitar Kelana Jaya atau lebih dikenal dengan nama Petaling Jaya salah satu kota modern di Selangor, yang memiliki fasilitas dan akomodasi yang lengkap. Di Petaling ini terdapat pusat perbelanjaan modern dan berbagai restoran, hingga kuil-kuil tradisional yang ikut memberikan warna pada kota satelit ini.Mereka akan menghabiskan libur selama dua hari hanya untuk bersenang-senang karena pada hari senin mereka akan mulai aktifitas mereka.Tiba-tiba dari arah berlawanan tampak seorang wanita berlari dengan wajah ketakutan. Wanita itu bersembunyi di belakang Wei Fangying dan kedua temannya duduk.Terdengar suara wanita itu mengiba meminta perlindungan,"Tolonglah pakcik, jangan sebar tahukan soal saya disini dengan laki-laki yang berlari di
"Orang-orang yang berpengetahuan tinggi ialah mereka yang mengerti dan masih bertanya. sementara orang-orang yang berpengetahuan rendah ialah mereka yang tidak mengerti dan tidak mau bertanya."*******Wei Fangying dan kedua temannya berjalan mengikuti langkah Serly melewati jalan semen menuju rumah sewa wanita itu. Rumah berbentuk couple dengan warna-warni cerah itu berjajar saling berhadapan. Walau begitudarisekian banyak rumah yang mereka lewati tak satu pun yang membuka pintunya."Sepi sekali, ya." Buntario menjadi komentator pertama dalam menilai suasana di daerah rumah sewa wanita yang sedang di ikutinya itu."Kalau jam segini mereka masih berada di kilang atau tempat kerja lainnya. Nanti menjelang maghrib baru mereka pulang.""Jadi ramainya malam hari ya.""Tidak, tetap saja. Tidak ada yang buka pintu. Karena kami memilih untuk istirahat dari pada mengobrol. Tidak seperti di daerah perkampungan di Indonesia,