Share

BAB 7 : JEMPUTAN

"Mama ...!"

Maya menggeliat tak nyaman. Wanita itu tengah bermimpi seorang anak perempuan memanggilnya mama.

Diumur yang sudah kepala tiga, Maya juga ingin menikah dan memiliki anak. Dia iri. Semua kawan-kawannya sudah menikah dan hanya Maya yang tertinggal. Bahkan mantan yang tidak bisa dilupakan Maya pun sudah punya anak sekarang.

Bukankah hidup Maya menyedihkan?

Tapi dengan datangnya minpi ini dapat membuat sebagian diri Maya senang.

"Mama ...!"

Anak kecil itu kembali memanggil dan Maya tersenyum mendengarnya.

"Lia!"

Sebentar. Suara ini terasa akrab. Maya mengingat-ngingat. Di mana kira-kira dia pernah mendengarnya?

"Lia, buka pintunya sekarang."

Waduh.

Sekarang Maya ingat.

Wanita itu tersentak dari tidur. Matanya membelalak sempurna. Bangun secara tiba-tiba membuat jantungnya berdetak keras. Kepalanya juga ikut berdenyut-denyut.

Ini hanya mimpi, tapi kenapa terasa nyata?

Maya tertawa. Mimpi terkadang bisa sedemikian realistis karena stres. Tidak perlu risau. Maya hanya harus merilekskan diri.

Tarik napas ....

Seseorang mengetuk pintu.

Maya membuang napasnya sembarang.

Ini bukan mimpi!

"Lia buka pintunya!"

Maya mengerjapkan mata. Wanita itu jelas dapat mengenali si pemilik suara dengan sangat baik.

Tidak mungkin.

Maya menggeleng keras-keras. Ngapain juga si kepala yayasan ke kontrakannya 'kan seperti orang kurang kerjaan?

Pasti suara itu milik orang lain.

"Mama, Dila mau masuk."

Astaga. Itu suara anak-anak yang persis didengarnya ketika bermimpi. Apakah Maya sudah punya keluarga.

Dira. Kenapa namanya tidak begitu asing bagi Maya?

Maya meneguk ludah susah payah. Tidak salah lagi. Itu pasti Angga dan anaknya. Sedang apa mereka di sini?!

Maya kelimpungan. Apa dia harus berpura-pura tidak ada orang di rumah?

Opsi buruk.

"Saya akan kasih kamu surat peringatan karena bolos kerja hari ini."

Maya gelagapan. Memangnya sekarang pukul berapa?

Ketika menampaki jam dinding, sontak saja wanita itu berteriak, lalu menutup mulutnya dengan tangan.

Sekarang pukul sembilan! Seharusnya wanita itu berada di sekolah sejam yang lalu!

"Mama ...."

Aih. Maya memijat kepala dengan pikiran nelangsa. Bagaimana bisa dia bolos hari ini? Jelas terpampang di peraturan sekolah bahwa guru tanpa keterangan akan mendapat sanksi berupa pemotongan gaji. Terlebih lagi presensi menggunakan deteksi wajah dan batas waktu, sehingga tidak dapat dimanipulasi.

Kenapa juga dia harus ketiduran?!

Sekarang apa yang harus dilakukan Maya? Apakah dengan meminta pengampunan Angga gajinya bisa terselamatkan?

Ya, ya. Maya harus mencobanya!

Wanita itu segera bangkit dan mengambil kardigan. Mencepol rambut sepunggungnya dengan jedai.

Maya mengintip dari jendela, menampaki sosok Angga dan Dira di luar sana. Kabar baiknya mereka adalah orang-orang penuh tata krama karena melepas alas kaki ketika menginjak teras.

Maya menggigit jari. Apa sih mau mereka?

Awalnya Maya ingin bersikap tak acuh. Namun, mengingat Angga adalah kunci keselamatan gaji, wanita itu harus membuang pendiriannya jauh-jauh.

Ceklek.

Maya tegang dan berusaha menutupinya dengan tersenyum. Dia tidak ingin melakukan kontak mata dengan Angga, sehingga memilih untuk melihat Dira yang menghamburkan dirinya ke pelukannya.

"Mama ...," ucap anak kecil itu riang. "Dila kangen Mama!"

"Halo, Dira," jawab Maya canggung, lalu balas memeluk Dira.

Malangnya Maya tanpa sengaja bersitatap dengan Angga. Wanita itu membatu dengan napas memburu.

"Saya kasih waktu 15 menit untuk bersiap ke sekolah."

WHAT?!

Maya cepat melepaskan dekapannya, menatap Angga tidak percaya. "Maksudnya apa?!"

"Cepat bersiap. Kita ke sekolah."

Maya berdiri, dikepalannya terkumpul emosi yang siap menghajar Angga kapan saja. "Mana bisa cuma 15 menit!" pungkasnya kesal.

"Tiga belas menit." Angga melirik jam tangannya dan meraih tangan Dira. "Kami tunggu di mobil."

"Ish!"

Maya segera berlari masuk ke kontrakan, melupakan tindakan yang sudah direncanakan. Tidak pakai mandi, hanya cuci muka, gosok gigi, dan berdandan seadanya.

Maya hendak mengambil duduk di kursi penumpang belakang. Tapi melihat ada boneka di sana membuatnya menautkan alis dalam.

"Duduk di sebelahku saya," ucap Angga bak mengerti isi kepala wanita. "Jangan ganggu Ponyo."

Sejenak Maya bertanya-tanya siapa Ponyo. Apakah boneka kelinci ini? Tapi lebih baik bagi Maya mengasuh boneka daripada duduk di samping Angga yang membahayakan.

Wanita itu tidak ingin berada di situasi tidak menyenangkan. Tahu Angga menjemputnya saja sudah misteri besar.

"Mama tadi kenapa ga ke sekolah? Tadi Dila nungguin Mama lho," ucap Dira sendu dan kembali memeluk Maya.

Wanita itu bersimpati, merasa sedikit bersalah. Dia teledor karena begadang semalam suntuk dan berakhir tidur ketika hari menjelang pagi.

"Maaf, ya, Dira. Tadi Kakak ketiduran." Maya memberi pengertian. Lagi-lagi merasa ada ikatan batin antara dirinya dan Dira sama seperti mereka bertemu untuk pertama kali di taman.

Mobil lalu melaju, sedang Dira asik berceloteh di sana. Mencairkan suasana yang beku kalau hanya ada Maya dan Angga di dalamnya.

"Mama, kenalin itu namanya Ponyo." Dira menunjuk boneka yang dipangku Maya. "Ponyo mau ketemu mama. Dila bilang kalau mama itu mama paling cantik seduuuniaa!"

Maya tersipu, mencubit pelan pipi Dira gemas. Tahu 'kan kalau anak-anak selalu jujur?

"Kakak 'kan memang cantik!" bangganya pada diri sendiri.

Dira kembali bersemangat. Ditatapnya Maya dengan penuh kebahagiaan. "Tadi Dila sedih kalena Mama tidak ada di sekolah. Tapi sekalang Dila senang bisa ketemu mama lagi."

Sebuah pengakuan mengejutkan dan berhasil mendamaikan perasaan Maya yang tadi berantakan.

Wanita itu tersenyum. "Kakak juga senang bisa ketemu Dira lagi."

Dan akan senang lagi jika saja bukan anak mantannya sekaligus si pemilik yayasan.

"Mama, Mama." Dira menggoyangkan lengan Maya. Meminta agar mendapatkan perhatian lebih.

"Hm?"

"Dila mau makan kelipik lagi. Boleh, ya?"

"Hah?" Maya mendadak tuli.

"Dila mau makan keripik lagi, Mama. Dila mau makan yang banyak!"

Dira, astaga. Kalau ngomong gak difilter. Alhasil Maya mendapat delikan tajam dari Pak CEO lewat kaca spion itu.

Angga berdeham. Suaranya berubah dingin. Hanya dengan satu kata mampu menghentikan aliran darah Maya.

"Jelaskan!" titahnya.

Untuk ke sekian kali, Maya merasa jantungnya telah jatuh ke perut. Ah, lupakan masalah pemotongan gaji. Ada yang lebih penting daripada itu sekarang!

Nyawanya terancam!

Maya menggaruk kepala yang tak gatal sambil mencari alibi terbaik. "Anu, itu ...."

Tapi tidak ada kata-kata yang dapat keluar. Kerongkongannya tercekat.

"Jelaskan, Dira." Angga mengintrupsi.

Dira menjelaskan masih dengan perangainnya yang ceria. Benar-benar tanpa beban.

"Dila kemalen makan kelipik, Ayah. Mama yang kasih. Lasanya enak! Dila suka!"

"'Kan Ayah sudah bilang, makanan seperti itu tidak sehat, Dira." Sekilas Angga menoleh ke belakang. Maya langsung mengarahkan pandangan ke sembarang arah.

"Kata Mama gak papa, Ayah."

Maya tidak tahu seketat apa didikan Angga pada anaknya. Tapi Maya lebih tahu nyawanya tidak dapat terselamatkan.

"Dila boleh makan itu lagi, 'kan, Ma?"

Kenapa, sih, Dira masih bisa menanyainya?!

Perlu waktu beberapa saat bagi Angga untuk kembali berbicara. Itu pun bukan pertanda baik bagi Maya.

"Lia, sesampainya di sekolah, kita harus bicara."

Maya diam, tidak merespons. Wanita itu menggeser duduk lebih dekat ke jendela. Dia harus keluar mobil sekarang kalau mau aman.

"Siapa pun. Tolong aku ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status