Setelah huru-hara selesai, kami segera pamit pulang. Sebenarnya aku ingin menginap barang semalam di rumah Ibu, tapi karena Mas Damar ada keperluan, aku menunda keinginan. “Enggak nyangka ya, Mas. Dibalik gemerlapnya hidup Mbak Arum, ternyata hutang mereka bertumpuk.” Aku membuka percakapan saat tengah di perjalanan. “Makanya kamu jangan tiru dia. Hiduplah sesuai kemampuan.” Mas Damar menasihati.“Iya. Aku juga sudah hemat kok, Mas,” sahutku. Mas Damar tersenyum, tapi tatapannya lurus ke depan. Aku melempar pandangan ke luar jendela. Sekedar melihat-lihat deretan pertokoan yang mulai berdesakan di pinggir jalan. Tiba-tiba rasa khawatir menyapa hati ini. Aku takut kalau Mas Damar juga punya hutang yang menggunung. “Mas, kamu enggak punya hutang sebanyak mereka kan?” Aku menatap dalam-dalam wajah suamiku. “Tentu saja tidak, Dek,” jawabnya cepat. “Terus kamu dapat duit dari mana? Tiba-tiba bisa beli mobil begini,” cecarku. Mas Damar menarik nafas panjang kemudian menghembuskan pe
Akhir-akhir ini aku sering bolak-balik ke rumah Ibu. Selain karena tak punya kesibukan yang berarti, aku juga ingin mengawasi Mbak Arum. Siapa tahu dia masih seperti dulu. Menurut cerita Ibu, kakak iparku sekarang rajin. Memasak, membersihkan rumah dia semua yang kerjakan. Bahkan pakaian Bapak dan Ibu juga dia yang mencuci. Syukurlah ... akhirnya kakak iparku mengubah kebiasaan buruknya. Pagi ini aku berniat ke rumah Ibu sekalian membawa cabai untuk dibagikan sama saudara dan tetangga. Selesai memasak aku langsung berangkat sendiri karena Mas Damar pergi ke sawah. Aku membawa setengah karung cabai yang telah dibagi menjadi beberapa bungkus. Itu memudahkanku untuk membagikannya.Aku tak langsung ke rumah Ibu, tapi mampir ke rumah saudara-saudara dulu. Sekitar pukul setengah sepuluh aku hampir selesai membagikan pada saudara dan tetangga. Hanya tinggal dua bungkus saja. Satu untuk di rumah, satunya untuk Bu Ayu, tetangga sebelah. “Assalamu alaikum,” ucapku saat sampai di rumah Bu Ayu
“Arum, kamu masuk dulu! Minta suamimu pulang. Nanti bicarakan semua secara kekeluargaan,” perintah Bu Ayu. Mbak Arum menurut. Dia berjalan gontai masuk ke rumah. Aku menatap sinis pada perempuan yang disebut kakak ipar itu. Benar-benar tak menyangka dia masih merasa jemawa meski sudah miskin. “Sekar, kita ke rumah Ibu saja. Ajak Ibu sekalian. Kalau tetap di sini takutnya kamu terbawa emosi lagi.” Bu Ayu menggamit lengan, memaksaku mengikuti langkahnya. Tanpa diminta, salah satu tetangga membantu ibu berdiri lalu menggandengnya berjalan mengekori kami. Bu Ayu membuka pintu rumahnya, mempersilakan kami masuk. Aku, Ibu, dan Sang pemilik rumah duduk di ruang tamu, sedangkan tetangga yang memapah Ibu langsung pergi. Aku membuka tas yang sedari tadi terselempang di pundak, mengeluarkan ponsel lalu menghubungi suamiku untuk segera datang kesini. Untungnya Mas Damar bersedia. Sejenak hening menyelimuti kami. Tak ada obrolan apalagi canda dan tawa. Semua menghilang entah ke mana. “Sejak
Sudah hampir sebulan aku tak pernah mengunjungi Ibu. Kejadian hari itu masih menyisakan kecewa, memaksaku menepikan rindu yang menggebu. Sebenarnya aku sangat khawatir dengan keadaan Bapak. Dia pasti sangat sedih dengan semua ini. Namun, aku enggan jika berkunjung ke sana. Pasangan benalu itu pasti menertawakan kekalahanku. “Pagi-pagi kok sudah melamun, Dek. Entar kesambet loh,” canda Mas Damar sembari memainkan telapak tangan di depan mataku. “Eh... iya, Mas. Sejak kapan Mas di sini?” sahutku tergagap. “Sejak tadi. Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu sering murung di teras begini. Apa masih kepikiran rumah itu?” Ya. Sejak kejadian itu aku memang jadi hobi menyendiri. Sampai saat ini masih tak paham dengan jalan pikiran Ibu. Kok bisa ya dia sampai mengemis untuk Mas Rendy. “Enggak kok, Mas. Lagi suntuk saja,” jawabku bohong. “Kayaknya kamu perlu healing deh. Ikut yuk!” Ajak suamiku. “Ke mana, Mas?” tanyaku penasaran. Jika dilihat dari pakaiannya, aku yakin Mas Damar tak akan
Sepulang dari rumah Mas Rafly, aku mengajak Mas Damar mampir ke rumah Bude Sari, kakak perempuan Bapak. Sejak aku menikah sekalipun belum pernah ke sana padahal dulu kami lumayan dekat. Mobil yang kami kendarai meluncur deras membelah jalanan yang cukup sepi. Jarak rumah Bude yang cukup jauh membuat kami cukup lelah di perjalanan. Setelah satu jam berkendara, kami tiba di kampung halaman Bapak. “Itu rumahnya, Mas!” Aku mengacungkan jari menunjuk ke sebuah rumah bercat abu-abu. Perlahan Mas Damar membelokkan mobilnya ke rumah yang kutunjuk lalu mematikan mesin setelah parkir di bawah pohon peneduh. Kami segera turun, berjalan beriringan menuju rumah di hadapan kami. “Assalamu alaikum,” Aku mengucap salam sembari mengetuk pintu tiga kali. Lengang. Tak ada sahutan dari pemilik rumah sampai akhirnya aku mengulang salam dengan suara yang lebih keras. “Waalaikum salam.” Seorang perempuan berusia enam puluh tahunan menjawab salamku dari samping rumah. Dia mendekat ke arahku menatap lek
Sepulang dari rumah Bude, aku mengajak Mas Damar ke rumah orang tuaku. Selain rindu dengan mereka, aku juga tak sabar ingin mendengar pengakuan Bapak mengenai masa lalunya. Hati ini masih saja menolak percaya dengan kenyataan yang Bude ceritakan. Rasanya seperti bermimpi padahal jelas-jelas kedua mataku sedang melek. Ibu langsung menyambut hangat kehadiran kami. Setengah berlari dia mendekat mobil yang kami kendarai seolah tak sabar menungguku keluar. “Alhamdulillah..., Sekar. Akhirnya kamu ke sini juga. Ibu kangen, Nak!” Baru saja turun dari mobil Ibu langsung memelukku erat. “Sekar juga kangen, Bu,” sahutku setelah pelukan kami terurai. “Maafkan Ibu atas kejadian tempo hari. Ibu benar-benar tak bermaksud menyudutkanmu. Hanya saja Ibu tak sanggup melihat anak Ibu ada yang sengsara,” akunya. Sebisa mungkin aku memaksakan senyum meski hanya mampu membentuk lengkung patah. Jika mengingat hari itu, perih di hati kembali terasa. “Sudahlah, Bu. Aku juga sudah melupakannya,” jawabku
Keesokan harinya aku mengajak Mas Damar mencari alamat yang diberikan Bapak. Untung saja suamiku seorang petani, jadi bebas untuk libur tanpa harus terbentur aturan. Setelah lima jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Tadi kami sempat bertanya sana sini sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang cukup megah. Halamannya juga luas dengan sebuah taman bunga terletak di dekat pagar. Aku berteriak mengucap salam sambil mengedor pintu gerbang. Seorang perempuan paruh baya keluar dari rumah lalu berjalan mendekat ke arah kami. “Cari siapa ya?” tanya perempuan itu dari balik pintu gerbang. “Maaf, Bu. Apa benar ini kediaman keluarga bapak Sastro?” tanya Mas Damar sopan. “Iya benar. Kalian siapa?” jawab perempuan itu dengan ramah. Aku sedikit bingung harus jawab apa. Rasanya tak sopan jika menceritakan dalam posisi seperti ini apalagi menurut Bude dulu pernikahan Bapak tak direstui. “Apa kami bisa bertemu beliau? Ada yang penting yang harus kami sam
“Kenapa marah? Faktanya memang begitu. Yang dikatakan Mas Rafly pasti benar!” tuduh Mas Rendy. Tanpa banyak bicara, Mas Damar bangkit lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Rendy sampai dia tersungkur. Sedikit pun aku tak ingin mencegah apalagi membantunya berdiri. Mbak Arum, Mbak Mela dan Ibu menjerit bersamaan. Mereka mendekat berusaha melerai. Mungkin mereka tak menyangka suamiku seliar itu. “Sekali lagi kalian menuduh kami. Akan kurobek mulut kalian!” Mas Damar mundur kembali ke tempat semula. Namun dia tak duduk. Hanya berdiri berkacak pinggang. Ibu dan Mbak Arum membantu Mas Rendy berdiri. Ibu menyeka darah segar mengucur deras dari sudut bibir kakakku. Hening sesaat. Kami larut dalam suasana tegang yang mencekam hingga deru nafas kami yang memburu terdengar jelas. Aku menyeka sudut mata, menata hati mengontrol emosi. Apa yang mereka tuduhkan terlampau menyakitkan. Mungkin ini saatnya aku harus bertindak tegas agar mereka sadar diri. “Kemasi barang kalian! Aku tak sudi