"Assalamualaikum, Yasmin. Papa pulang!"Wajah Inem memucat. Dia terkejut melihat kedatangan dokter Marzuki, takut kalau perkataannya yang merendahkan Laila didengar oleh dokter Marzuki. Tapi sepertinya dokter Marzuki tidak mendengar ucapan dari Inem. Karena dokter Marzuki langsung berjalan dan menyapa seisi rumah. "Waalaikumsalam, Papa." Yasmin menghambur memeluk papanya dengan riang. "Mbak La main ke sini lho, Pa. Yasmin seneng sekali kalau Mbak La ke rumah," tukas Yasmin dalam gendongan papanya. Laila tersenyum canggung dan sementara itu wajah Inem langsung terlihat tidak suka. "Oh, ya. Ada Mbak La. Sudah lama di sini?" tanya dokter Marzuki. Wajah dokter itu juga agak kikuk. Karena setiap kali melihat Laila, dia selalu teringat ucapan pak Jaka. Pak Jaka memang tidak melarang dokter Marzuki untuk bertemu dengan anaknya secara langsung. Tapi secara tersirat terlihat sekali kalau pak Jaka tidak suka jika Laila memulai hubungan dengan laki-laki. "Saya harap dokter mengerti perasa
Lelaki itu terkejut dan mendelik melihat kelakuan Inem. "Astaga, mbak Inem, kenapa kamu cuma pakai handuk malam-malam begini?" tanya dokter Marzuki kaget. Inem tersenyum menggoda lalu berkata, "tadi saya merasa gerah banget sebelum hujan. Jadi saya baru saja mandi."Dokter Marzuki memalingkan wajahnya. "Duh, kenapa harus pakai handuk saja? Mbak Inem kan bisa ganti baju di dalam kamar mandi? Jadi saat keluar kamar mandi, mbak Inem nggak hampir bugil seperti ini," sahut dokter Marzuki. "Yah, maaf deh Pak. Saya nggak tahu kalau ada pak Marzuki di sini. Saya kira bapak sudah ada di kamar, jadi pas mati lampu, saya refleks pakai handuk lalu keluar dari kamar mandi begitu saja," sahut Inem menunduk. Dokter Marzuki menghela nafas panjang. "Ya sudah, cepat kembali ke kamar kamu, mbak.""Iya Pak."Mendadak petir menggelegar diluar rumah membuat Inem berteriak kecil dan mengangkat kedua tangannya melepas handuk yang mengikat tubuhnya. Sehingga tampak polos di hadapan Marzuki. "Aaarrrgghhhh
"Hm, mbak Inem juga bisa sih kalau cuma main Layang-layang, manjat pohon, dan baik. Gimana kalau seandainya mama kamu itu mbak Inem?" tanya Inem sekali lagi. Yasmin mendelik mendengar kata-kata dari Inem. "Tapi Yasmin maunya sama mbak La. Bukan mbak Inem," sahut Yasmin dengan mengerucutkan bibirnya. Inem menjadi kesal. 'Ck, dasar bocil. Nggak tahu kalau aku lebih pro daripada Laila. Memang sih secara bodi, bagus Laila. Wajar saja karena Laila belum pernah melahirkan anak. Aku kan sudah melahirkan dua anak. Tapi kalau masalah di ranjang, aku pasti lebih mahir daripada Laila. Aku kan bisa goyang atas bawah, samping kanan kiri,' bisik Inem dalam hati. "Hm, padahal lho mbak La kan belom bisa masak. Pasti masih lebih enak masakannya mbak Inem, Min," sahut Inem penuh percaya diri. "Mbak Inem ini bawel. Yasmin kan harus sekolah, malah diajak ngomongin mbak La. Entar kalau Yasmin telat, tak bilangin ke papa lho," ujar Yasmin membuat Inem mendelik. 'Astaga! Sialan ini bocil. Kok bisa sih
"Halo, Nem. Kata yayasan, kamu sudah dapat tempat kerja yang baru ya? Kok kamu nggak ngomong sama suami mu ini? Kamu mau jadi istri durhaka?" tanya suara dari seberang membuat Inem terlonjak kaget. "Hm, itu mas, aku memang sudah dapat kerja di rumah orang. Tapi baru beberapa hari ini aku kerja. Nggak bisa kirim gaji sekarang. Bulan depan baru gajiannya bisa aku kirim, Mas," sahut Inem lirih. "Ck, kebanyakan alasan saja kamu! Anak kamu itu banyak makannya. Aku juga baru kalah judi. Gobl*k kamu!" teriak suami Inem dari seberang telepon. Seketika nyali Inem mengerut. Tapi tak urung juga, rasa dendam di dalam hatinya terasa semakin besar. "Mas, kamu ini apa nggak tahu malu? Kamu kan kepala rumah tangga? Tapi kenapa justru membuatku pontang panting dan kebingungan cari uang?" tanya Inem akhirnya. Suasana hening sejenak. Lelaki di seberang telepon terdiam. Mungkin berpikir akan dengan apa membalas ucapan Inem. "Heh, kamu sudah bisa melawanku ya? Ingat aku nggak akan segan menyakiti an
Inem menghela nafas. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya dengan uang itu. "Diambil atau jangan ya?" gumamnya lirih dan ragu.Inem menghela nafas sekali lagi. Sejenak ragu-ragu apa yang harus dilakukan nya. "Kalau aku mengambil uang ini, kira-kira ketahuan nggak ya oleh dokter Marzuki?" Sekali lagi dipandanginya uang yang sudah berada di dalam genggaman tangannya. "Ambil, enggak, ambil, enggak ya? Tapi nanti kalau pak Marzuki ingat dan menanyakan kembali soal uang ini gimana?"Hari Inem terus berdebat sendiri melihat uang itu. Mendadak terdengar suara suaminya yang terngiang di telinganya. "Tapi kata mas Slamet, sepertinya benar. Dokter Marzuki kan kaya. Dia tidak akan menjadi miskin hanya karena kehilangan 100 atau 200 ribu. Ah, tahu ah gelap. Aku ambil saja lah uang ini," ucap Inem lalu dengan buru-buru dimasukkan nya uang yang ditemukan nya di dalam saku celana panjangnya. Dengan bergegas, Inem lalu membereskan aneka baju kotor lalu memasukkan nya ke dalam mesin cuci. D
Dokter Marzuki yang sedang mengulurkan tangan ke plafon rumahnya seketika terdiam. Dia tidak menyangka bahwa Yasmin akan meminta hal itu. Lelaki muda itu turun dari kursi lalu mendekati Yasmin. Dengan lembut dielusnya rambut Yasmin. "Kemarin papa ketemu dengan pak Jaka, ayahnya mbak La. Kata ayahnya, mbak La sedang ujian, Min. Jadi belum bisa main kemari dan kamu juga jangan main ke sana dulu. Karena mbak La pasti sibuk, Sayang. Kamu main sama mbak Inem atau papa dulu ya."Marzuki menatap ke mata anaknya. Berharap anaknya mau mengerti kondisi saat ini, tidak rewel, dan tidak tantrum karena hal itu. Yasmin hanya menatap papanya. Seolah tahu kegusaran yang dialami papanya. "Ya pa. Yasmin akan main sendiri kok. Papa lanjut aja mengganti lampunya," sahut Yasmin tersenyum. Entah kenapa hati Marzuki seolah mencelos mendengar dan menatap anaknya yang selalu berusaha mengerti kondisi dirinya. Seolah anak sekecil itu sudah dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya karena tidak mempunyai seora
"Mbak Inem, tolong kemari sebentar. Ada hal serius yang ingin saya bicarakan," ucap Marzuki. Inem mendekat dengan ragu. Dia melangkah perlahan menuju ke tempat duduk Marzuki di ruang tengah. "Ya Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Inem. Dia mulai membayangkan Marzuki tertarik padanya. 'Kalau dokter Marzuki tertarik padaku, aku akan minta dinikahi dan akhirnya aku tidak perlu lagi repot-repot kerja. Aku akan minta sewa asisten rumah tangga dan baby sitter. Aku juga akan terpisah dari mas Slamet yang brengsek itu. Lalu aku bisa jalan-jalan ke luar kota bahkan keluar negeri dengan anak-anakku dan ibuku. Yes! Pasti dokter Marzuki ingin ngomong kalau dia tertarik padaku dan ingin menikahiku. Satu ... dua ... tiga ...'"Apa yang sedang kamu lakukan saat itu, Mbak?" tanya dokter Marzuki sambil memperlihatkan rekaman cctv dari laptop yang dipangkunya. Seketika Inem mendelik dan menelan ludah. Mendadak hitungan yang tadi sudah disiapkannya dalam hati menguap tak berbekas. "Pak Marzuki,
"Baiklah mbak Inem, apa ada bukti bahwa suami mbak Inem pernah mengancam ataupun menganiaya mbak Inem dan keluarga nya? Kalau ada bukti, hari ini juga saya bisa membantu mbak Inem untuk segera membuat laporan ke kantor polisi."Inem terdiam. Sesaat kemudian terlihat binar di matanya. Tapi seketika meredup. "Tapi saya tidak mau kalau anak-anak saya tahu jika bapaknya ditangkap polisi. Kasihan anak-anak saya nanti dibully oleh teman-temannya," ucap Inem polos. Hari menatap wajah Inem yang tampak bingung dan serba salah."Mbak Inem, laki-laki kalau sudah selingkuh sampai di area ranjang, atau kdrt bisa termasuk hukum pidana lho! Mbak jangan malu atau takut untuk melaporkan nya pada polisi. Jangan sampai pikiran nanti anaknya gimana-gimana kalau dibully, itu urusan masa depan. Bisa kok direncanakan solusinya.Yang penting sekarang mbak Inem dan keluarga bebas dari rumah tangga toksik dan membahayakan seperti suami mbak Inem. Kalau Mbak Inem membiarkan suami mbak Inem seperti itu terus d