15“Semua sudah siap, Sa.” Irma meletakkan kantung besar di meja teras. Menemani kantung-kantung plastik lainnya yang sudah lebih dulu teronggok di sana.Elsa mengangguk sebelum melirik lelaki yang sejak tadi mengoceh seolah mainan yang baterainya baru diisi daya. Tidak ada capeknya.“Sudah semua?” tanya lelaki yang juga mendengar ucapan ibunya Elsa barusan.“Kalau begitu, ayo kita berangkat,” lanjutnya seraya meraih dua koper sekaligus, kemudian membawanya menuju mobil yang pintu bagian belakangnya terbuka lebar. Memasukkan semua koper dan kantung-kantung itu dalam beberapa kali balikan.Elsa membantu membawa beberapa yang tergolong ringan. Setelah memastikan semua selesai, ia bersiap masuk mobil. Namun, sebelumnya menyempatkan diri berbalik dan menatap bangunan dua lantai yang selama empat tahun terakhir menjadi tempat bernaungnya.Elsa menatap bangunan itu dengan hati berdesir, nyeri kembali menyelinap. Akhirnya ia harus benar-benar keluar dari sana. Meninggalkan semua kenangannya
16“Bagaimana, Sa? Apa tawaran pak Abyasa kamu terima?”Elsa mengerjap mengingat pertanyaan sang ibu tadi sore. Masih di depan Abyasa dan Mahesa sebelum keduanya pulang.Abyasa menawari bekerja di kantornya. Entahlah, kenapa lelaki itu begitu gigih membantu dirinya dan keluarga. Padahal sikapnya pada lelaki itu jauh dari kata manis. Bahkan kebencian selalu kentara dari sikapnya. Namun, Abyasa seolah tidak kenal kata menyerah.Terkadang Elsa heran, terbuat dari apa hati lelaki itu. Walaupun selalu disuguhi sikap tidak ramah bahkan cenderung ketus, masih saja berbuat baik. Bahkan kini menawarinya pekerjaan.Elsa mendesah resah. Kemudian menatap wajah Davina yang sudah tertidur pulas di sampingnya setelah sebelumnya rewel.Terhitung setelah Abyasa dan Mahesa pulang, Davina yang mungkin belum terbiasa dengan rumah baru mulai rewel. Anak itu terus menangis meminta pulang ke rumah mereka.Davina yang terbiasa dengan rumah besar dan hidup nyaman di rumah peninggalan sang ayah, sepertinya tid
16“Siapa yang mengambil, Vivi?” tanya Abyasa ikut panik karena Elsa terus menangis. Kini, mereka dalam perjalanan menuju rumah kontrakan wanita itu.“Apa mantan ibu mertuamu lagi?” cecar lelaki di balik kemudi tidak sabar karena Elsa terus saja menangis.Abyasa memukul handle stir. Wajahnya memerah. Walaupun Elsa tidak mau berterus terang, ia yakin jika pelaku yang membawa Davina adalah mantan ibu mertua Elsa.Abyasa menyesali sesuatu. Namun, untuk saat ini tidak mungkin menyampaikan sesuatu itu karena akan membuat Elsa semakin sedih. Ia berjanji dalam hati akan membantu menyelesaikan masalah ini sampai tuntas. Sampai Elsa tidak harus lagi bertemankan kesedihan.Sungguh, hati Abyasa tidak tega melihat Elsa terus saja berteman dengan air mata dan kesedihan. Sudah cukup ia memberi derita dulu, kini rasanya ingin menebusnya agar wanita itu tak lagi akrab dengan tangis dan air mata.Elsa masih menangis di sampingnya seraya menutup wajah dengan kedua tangan dan Abyasa tidak tahu bagaimana
17Elsa berlari begitu keluar mobil. Di tujunya pagar rumah yang terkunci rapat, lalu menekan bell dengan tidak sabar. Bukan hanya itu, ia juga berteriak mengucap salam sembari memanggil sang ibu mertua.Abyasa yang menyusul, membantu menekan bell di tembok pagar berulang kali. Ia juga sama berteriak memanggil siapa pun yang mungkin berada di dalam rumah.Sayangnya, setelah beberapa lama mereka berusaha memanggil, tidak seorang pun keluar dari bangunan berhalaman luas dan asri itu. Rumah memang tampak sepi seolah tak berpenghuni.Elsa masih berusaha memanggil seseorang di sana dengan mengetuk-ngetukkan besi pengait pintu pagar saat Abyasa menghentikkan usahanya.“Sepertinya percuma, Dek. Tidak ada siapa pun yang keluar. Mungkin memang tidak ada orang di dalam,” ujaranya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman. Bahkan sebrang jalan ia pindai barangkali ada yang bisa ditanya. Namun, tidak terlihat siapa pun yang bisa dimintai bantuan.Tanpa mempedulikan ucapan Abyasa, Elsa ma
18Walaupun iba dan ikut khawatir, Abyasa tidak bisa berbuat banyak. Ia juga tidak bisa menenangkan wanita itu karena takut salah bicara yang berujung dengan menyakiti hati Elsa, atau membuatnya marah. Alhasil sang lelaki hanya menjalankan mobil dengan tetap tenang dan sesekali bertanya hal penting saja.“Kamu tetap tenang, ya. Kita sama-sama berdoa. Semoga Davina segera berkumpul lagi dengan kita.”“Kita?” Elsa bereaksi keras. Matanya melotot marah. Ia tidak suka ucapan Abyasa. Bahkan di saat seperti ini lelaki itu masih berpikiran tidak masuk akal.Sekejap Abyasa menyesali ucapannya. Tapi ia benar-benar keceplosan. Tujuan menghibur pun berisiko membuat mood wanita itu semakin buruk.“Maaf, maksudku berkumpul lagi denganmu dan kakek-neneknya di rumah. Dan aku juga kangen ingin bertemu dengan gadis lucu itu.” Lagi, Abyasa meralat ucapan agar tidak memperburuk suasana. Setelahnya lelaki itu meniupkan napas sembari tetap fokus menyetir.Selang setengah jam, mereka sampai di rumah yang b
20“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Irma seraya menyodorkan dua cangkir teh hangat. Satu untuk Elsa dan satu lagi untuk Abyasa. Raut cemas tak dapat disembunyikan di wajah wanita paruh baya itu. Ditatapnya Elsa dan Abyasa bergantian.Elsa tidak menjawab. Rasa kaget dan tentu saja shock membuatnya bahkan tidak bisa berbuat dan berpikir apa pun. Ia hanya diam pasrah saat Abyasa memeluk untuk melindunginya, juga saat lelaki itu membopongnya menuju mobil.Elsa benar-benar shock. Bagaimana warga mantan tetangganya begitu beringas melempari mereka dengan telur seolah sangat jijik dengan mereka berdua. Bahkan hingga Abyasa mengantarnya, ia masih saja belum bisa mengatakan apa pun.Kejadian tak terduga itu sudah satu jam berlalu. Elsa bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Pun dengan Abyasa yang kebetulan membawa baju ganti di mobilnya. Ia juga numpang membersihkan badannya di sana dengan jas dan pakaian lainnya ia buang karena noda telur yang teramat banyak.Abyasa menjadi yang paling b
21Elsa semakin mengerutkan kening. Apalagi ini? Kenapa jadi melaporkan Adrian? Elsa menggeleng untuk menghilangkan rasa pusing yang semakin menjadi.“Sudahlah, jangan ikut campur. Jangan buat kepalaku semakin pusing. Aku—”“Aku punya bukti kuat kejahatan Adrian, Kak. Aku sudah mengantonginya, dan aku ingin menunjukkannya di hari pernikahan kalian. Tapi kamu menolak dan keburu membatalkan pernikahan. Ayo kita laporkan saja, agar ibu mertuamu mengembalikan Vivi.”Elsa terdiam untuk beberapa waktu. Ditatapnya wajah serius itu. Ia tidak mengerti, kejahatan apa yang dimaksud Mahesa? Kedua kakak-berdik itu selalu menyinggung kejahatan Adrian. Namun, saat itu ia memang tidak peduli dan tidak ingin percaya karena ia pikir mereka tengah mengada-ngada untuk mengacaukan pernikahannya. Elsa sangat tahu jika Abyasa dan Mahesa tidak suka ia menikah dengan Adrian.Elsa memperhatikan wajah pemuda itu. Tidak ada gurat bercanda atau tanda-tanda ketengilannya sedang kambuh. Namun, baginya sulit memperc
22Elsa berbalik menghadap Adrian, hingga tampak wajah itu memucat. Perlahan wanita berusia dua puluh empat tahun itu mendekat. Tatapannya tak lepas dari wajah sang kakak ipar. Bahkan nyaris tanpa kedip. Rasa tak percaya berbaur dengan kekecewaan mendalam menciptakan tatapan kelam.Bagaiamana tidak? Ia yang sangat memperacayai laki-laki itu tidak pernah terlibat apa pun dengan ibunya, ia yang mempercayakan laki-laki itu untuk menyelesaikan semuanya. Ia yang menganggap jika Adrian sama baiknya dengan mendiang suaminya, kini, semuanya terpatahkan karena sebuah rekaman yang Mahesa perlihatkan.Tatapan itu belum beralih. Bahkan semakin intens dan tajam. Kekecewaan semakin kentara. Bibir Elsa bergetar saat berusaha mengeluarkan suara.“Abang?” ujarnya dengan sangat parau dan nyaris tak terdengar. Wajah itu mendongak dengan jarak lumayan dekat. Tinggi Elsa yang hanya sebatas dada Adrian membuatnya harus menengadah.“Apa ini, Bang? Apa maksudnya ini?” lanjut Elsa dengan menahan mata yang per