Tabitha dan Jona sudah selesai makan dan mereka sedang bergosip tentang bos di kantor yang saat Sakha kembali ke kamar Tabitha. “Lama banget, Kha. Emang antre banyak di administrasi?” Jona mewakili Tabitha bertanya. Sakha memang pergi cukup lama sampai Tabitha mengira Sakha tidak akan kembali lagi karena lelah berdebat dengan dirinya tadi. “Nggak kok. Tadi gue ada urusan lain.” Sakha mendekat sembari memfokuskan tatapan pada Tabitha. “Bee, aku abis ngobrol lagi sama Mama tadi.” “Masih soal di mana aku harus tinggal selama aku belum senormal biasanya?” Tabitha membalas dengan agak nyinyir. “Jadi, kamu punya tiga pilihan. Dan kamu harus pilih salah satu, nggak boleh cari opsi lain. Harus di antara tiga itu. Ngerti?” Tabitha benar-benar geram karena Sakha tampak sangat bossy. “Aku udah nahan diri dari empat hari terakhir ini ya, Kha. Tapi makin didiamkan kenapa kamu makin nggak tahu diri, sih?” “Ini buat kebaikan kamu, Bee.” “Kamu nggak ada hak buat ngatur-ngatur aku! Kamu siapa,
“Di mana kamar kamu?” tanya Sakha seraya menurunkan barang-barang milik Tabitha dari bagasi mobilnya.“Udah, taruh situ aja,” Tabitha menghentikan Sakha saat laki-laki itu sudah akan berjalan masuk melewati gerbang kosnya.Sakha mengernyit bingung dan Tabitha menambahkan, “Nanti aku minta satpam aja buat bantu bawa barang aja.”Sontak saja Sakha memberikan tatapan aneh kepada Tabitha. “Kenapa harus minta tolong satpam? Kan udah ada aku, Bee. Sekalian aja lah.”“Cuma keluarga yang boleh masuk ke dalam, Sakha. Kamu kan bukan….”Jelas sekali Sakha sakit hati karena ucapan Tabitha, tetapi laki-laki itu tidak membalas apa-apa. Membuat Tabitha merasa bersalah seketika. Sungguh, maksud Tabitha bukan untuk menyakiti Sakha. Tabitha hanya refleks mengucapkannya karena mengingat aturan yang dibuat ibu kos untuk tidak membawa laki-laki, kecuali keluarga, masuk sampai ke dalam kamar.Sebenarnya, aturan itu tak terlalu berguna. Mungkin hanya satu dua orang saja yang mematuhi aturan yang hanya teruc
Tabitha hanya memikirkan satu-satunya pilihan yang ia punya karena hari sudah beranjak malam, tetapi lupa mempertimbangkan bahwa pulang ke rumah bersama Sakha bukanlah pilihan yang tepat. Sebab, begitu mobil Sakha sampai di depan pagar rumahnya, Tabitha baru ingat bahwa ini adalah pertama kalinya Sakha ke sana lagi setelah mereka bercerai. Atau lebih tepatnya setelah Sakha meninggalkan rumah begitu gagal meyakinkan Tabitha agar tidak digugat cerai.“Bee, kenapa?” tegur Sakha yang sudah lebih dulu turun dan membukakan pintu lebar-lebar untuk Tabitha seraya memegangi kruk milik Tabitha. Di samping kaki Sakha ada koper berukuran sedang dan satu travel bag milik Tabitha yang tadi laki-laki itu kemas di kos Tabitha.Tabitha menggeleng dan pelan-pelan turun dari mobil. “Thank you.”Lama keduanya saling diam, tak beranjak ke mana-mana dan hanya menatap rumah yang pernah mereka huni bersama selama empat tahun menikah. Tabitha tidak pernah terbayang akan pernah menginjakkan kaki di rumahnya la
“Kamu mau ke mana?”Tabitha mungkin tidak menyadari ia baru saja berseru panik saat Sakha bangun dari posisinya yang tadi bersimpuh. Dengan kedua tangannya, Tabitha menahan lengan Sakha agar laki-laki itu tidak beranjak menjauh.“Aku–”“Ja-jangan pergi,” lirih Tabitha dengan terbata saat tangisnya sudah mulai reda. “Jangan tinggalkan aku, Sakha. Di sini saja.”Sakha yang sejak tadi hanya memandanginya dengan hati tercabik-cabik itu langsung bangkit untuk merungkup Tabitha menggunakan kedua tangannya. Memeluk Tabitha erat.“Aku nggak ke mana-mana, Bee. Aku di sini.”Dalam peluk erat itu, Tabitha bisa merasakan degup jantungnya yang begitu kencang beradu dengan degup jantung Sakha yang juga sama kencangnya.Tabitha merasa menjadi wanita munafik sekarang. Ke mana perginya sosok Tabitha yang begitu muak menghadapi Sakha hingga berkali-kali mengusir lelaki itu pergi? Entahlah. Untuk sekarang, Tabitha sedang tak ingin peduli. Yang Tabitha inginkan saat ini adalah kembali merasa hangatnya tu
Sakha sudah tidak ada di sisi Tabitha saat wanita itu membuka mata keesokan harinya. Dengan malas, Tabitha bangkit dari posisinya berbaring untuk duduk dan meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Bersisian dengan sebuah nampan berisi segelas air putih dan bubur ayam yang masih hangat. Tabitha tidak perlu menebak-nebak siapa yang dengan baik hati mengisi daya ponselnya dan menyiapkan sarapan. Karena jawabannya sudah pasti adalah Sakha. Itu artinya, Sakha menemani Tabitha sampai pagi. Entah sengaja berlama-lama untuk berada di sisi Tabitha atau karena ketiduran. Tabitha spontan menggigit bibir bawahnya karena dadanya berdesir. Perhatian Sakha membuatnya goyah dengan mudah setelah apa yang terjadi semalam. Getaran kencang di ponselnya menyentak Tabitha yang belum sempat semakin jauh memikirkan akibat perbuatan konyolnya semalam dengan meminta Sakha untuk tidak pergi ke mana-mana. Sakha. Laki-laki itu yang meneleponnya. “Morning, Sweet Bee–” “Jangan panggil aku begitu, Kha. Geli!”
Setelah semalam menangisi nasib hubungannya dengan Sakha yang telah kandas, pagi ini Tabitha bisa sedikit lebih rileks saat mengitari rumah yang selama beberapa bulan terakhir ini hanya menjadi tempat persinggahan sementara untuk dirinya. Meski masih ada rasa sesak jika mengingat-ingat lagi berbagai kenangan manis yang pernah ia bagi bersama Sakha di rumah itu, Tabitha lebih bisa mengontrolnya. Bosan dan lelah berkeliling rumah yang terasa sepi dan kosong, Tabitha pun menonton film di kamar ditemani sebaskom popcorn yang ia buat sendiri—Tabitha meminta Jona membelikan bahan-bahannya dan mengirimkannya lewat gosend. Tabitha merampungkan dua judul film saat matahari kembali ke peraduannya. Niatnya tadi Tabitha mau melanjutkan untuk menonton film ketiga, tetapi badannya yang terasa lengket karena keringat memaksa wanita untuk meninggalkan kamar sejenak dan mandi. Tak lupa, Tabitha mengantongi ponselnya sebelum beranjak ke kamar mandi. Tabitha teringat pesan Sakha supaya ia ke mana-ma
Tiga jam kemudian, Tabitha sudah kembali duduk nyaman dengan kedua kaki berselonjor di sofa ruang keluarga sembari menonton TV. Di rumah sakit tadi, Tabitha dan Sakha harus menunggu hampir dua jam karena dokter yang mengoperasi Tabitha beberapa hari lalu sedang ada jadwal operasi. Sebenarnya, perawat yang bertugas di rumah sakit tadi sudah menawarkan agar Tabitha bisa ditangani dokter lain tetapi Tabitha tidak mau dan bersikukuh menunggu dokternya yang kemarin kembali menjahit luka bekas jahitan di kaki Tabitha yang terbuka agar tidak terkena infeksi. Keadaan Tabitha cukup stabil sehingga tidak perlu rawat inap dan bisa langsung pulang setelah Sakha mengurus administrasi. Tabitha tidak diresepkan obat apa-apa karena obat sebelumnya masih belum habis dan juga karena tidak ada luka baru—selain memar di keningnya yang membiru, yang sudah dikompres dengan air dingin agar tidak bengkak esoknya. "Kamu nggak kabarin Mama kan, Kha?" Tabitha setengah berteriak karena Sakha sedang berada di da
Berdasarkan penjelasan singkat Sakha kepada Tabitha, laki-laki itu sedang mempersiapkan sebuah pameran tunggal di Jakarta. Itulah sebabnya, Sakha lebih banyak berada di luar rumah setelah kembali dari luar negeri beberapa minggu lalu. Sakha juga jadi sering datang ke kantor pusat NatGeo untuk meeting dengan Pramudya yang secara pribadi mensponsori pameran Sakha. Namun, karena sekarang Sakha juga punya tugas 'mengawasi' Tabitha atas inisiatifnya sendiri, Sakha seenak udelnya mengubah jadwal meeting di kantor menjadi meeting online agar Sakha tidak perlu meninggalkan rumah."Kenapa bukan kantor kamu yang kasih sponsor? Kan kamu udah mengabdi di sana bertahun-tahun, tuh," tanya Tabitha saat mereka mengobrol di sela-sela sarapan pagi tadi."Ada sponsor dari kantor juga kok. Tapi bosku lagi pengen buang-buang duit katanya. Soalnya bosku juga yang bujukin aku buat gelar pameran ini," jelas Sakha.Menyambut pagi pertama mereka tinggal bersama—sebagai dua orang asing yang tak terikat hubungan