Miranda sudah membuat keputusannya. Ricky pun hanya bisa pasrah ketika istrinya itu meminta cerai darinya."Mir, kenapa kamu tega seperti ini. Aku sangat mencintai kamu. Bahkan setelah aku tahu kalau kamu mendua, cinta aku nggak pernah berubah."Ricky akhirnya pergi meninggalkan Miranda dan Mahesa di apartemen mewah itu. Ia sadar, segala kemewahan yang di dapat Miranda saat ini, tidak bisa ia berikan. Ricky pun memutuskan akan mengurus perceraiannya dengan Miranda agar memudahkan jalannya."Mir, semoga setelah ini kamu bisa hidup bahagia. Pak Mahesa, titip wanita ini. Semoga anda bisa menjaganya dengan baik," ucap Ricky dalam hatinya.Waktu pun berlalu begitu cepat. Hari ini saatnya Mahesa kembali ke Jakarta. Meninggalkan Miranda seperti biasanya. "Sayang, sore ini aku pulang ya. Nanti bulan depan aku ke sini lagi. Kalau kamu kangen, bisa telepon aku. Tapi seperti biasa, jangan saat aku di rumah. Ok?" pesan Mahesa.Namun, kali ini sedikit berbeda. Miranda akan menetap di apartemenny
Mahesa tidak bisa lagi mengejar kepergian Miranda. Wanita polwan itu begitu terluka karena sikapnya yang terkesan pengecut. Tidak mau bertanggungjawab."Maafkan aku, Miranda ...."Mahesa pun memutuskan pergi. Mencari informasi di mana Miranda tinggal. Ia yakin jika kekasih gelapnya itu belum meninggalkan Jakarta.Tanpa disadari Mahesa, salah seorang ajudannya telah mendengar pertengkarannya dengan Miranda. Semua sudah tersimpan dengan rapih di ponselnya.Setelah kepergian Mahesa, Farraz pun keluar dari persembunyiannya. Ia pun bergegas keluar dari ruangan di salah satu rumah dinas sang jenderal."Farraz!" panggil sang jenderal dengan suara lantang.Farraz pun berbalik arah dan di hadapannya sudah ada Mahesa. Keduanya pun terkejut. Saling pandang dan akhirnya sebuah tamparan pun dilayangkan Mahesa."Apa yang sudah kamu lakukan di sini!" teriak Mahesa.Ketegangan itu nampak jelas di wajah Farraz. Ia tahu betul apa yang akan dilakukan Mahesa jika ia berkata jujur. Farraz pun terpaksa ber
"Sayang, aku ada tugas mendadak di Batam. Mungkin lusa baru balik. Kamu mau oleh-oleh apa?" ujar Mahesa saat sarapan bersama istri dan anak-anaknya.Indhira yang telah mencurigai kelakuan suaminya itu hanya mengiyakan saja. Ia tidak ingin di depan anaknya terjadi keributan."Terserah kamu aja, Pi," sahut Indhira datar. Begitupun dengan anak-anaknya, seperti cuek dan membebaskan ayahnya untuk membawakan hadiah apapun."Mas, aku ikut ya? Sekali-kali, kan udah lama kita nggak liburan bareng?" ujar Indhira yang ingin mengetes suaminya dan ia pun sudah tahu jawabannya."Next time ya. Oh ya, gimana kalau kita liburan sekeluarga ke Bali. Minggu depan?" tanya Mahesa kembali pada anak dan istrinya.Entah mengapa, baik Indhira dan dua anaknya itu enggan menjawab. Si kecil pun hanya tertawa bahagia. Mungkinkah bukan hanya Indhira, anak-anak Mahesa pun sudah mengetahui perselingkuhan papanya itu?Setelah menyelesaikan sarapannya, Indhira pun mengantar suaminya hingga ke teras rumah. Pagi itu jug
"Indhira, apa kabarmu?"Pertemuan itu kembali terjadi. Kenangan yang sudah lama ia kubur sangat dalam kini kembali menyeruak. Dalam benak Indhira, mengapa pria itu kembali ke dalam kehidupannya."Mas, kenapa kamu datang lagi? Aku sudah lelah berjuang melupakan semua kisah kita dulu. Jangan kembali lagi."Indhira pun tidak bisa menolak ajakan Lucky untuk makan siang. Sejujurnya ia juga rindu mengingat semua hal tentang Lucky. Apalagi sudah lama mereka tidak bertemu."Mbak, pesan spaghetti bolognese 2 sama jus alpukat 2 dan air putih pakai es 2!" pesan Lucky pada seorang pelayan yang menghampirinya.Indhira pun terkesima. Ternyata Lucky masih mengingat dengan jelas apa yang disukainya. Sungguh, ini di luar dugaannya. Apalagi dulu ia meninggalkan mantan kekasihnya itu begitu saja."Kamu masih ingat?" tanya Indhira."Tentu saja. Semua tentang kamu, nggak pernah aku lupakan!" ucap. Lucky lantang. Indhira pun tersenyum.Lucky dan Indhira akhirnya menikmati makanan yang sudah datang. Makana
Indhira dan Himawan pun mulai bekerjasama. Tujuannya satu, menghancurkan karir Mahesa. Walau masih berstatus istri, Indhira sudah mengubur semua rasa cintanya. Cinta pertama yang kata orang itu indah dan tidak pernah mati sampai kapanpun, tidak berlaku bagi seorang Indhira. Rasa sakit hatinya jauh lebih besar daripada rasa cintanya.Seperti biasanya, setiap bulan Indhira selalu menjenguk anak-anaknya yang bersekolah di Magelang. Di antar oleh Ben dan Ikhsan. Farraz pun ikut ke Magelang karena ditugaskan Mahesa mengurus keperluan putrinya "Semua sudah siap?" tanya Mahesa ketika sarapan bersama keluarga dan para ajudannya."Siap, Pak."Sekitar pukul 08.00, sepasang suami istri itu pergi dengan dua mobil. Di dampingi para ajudannya. Mahesa ditemani tiga orang ajudan. Romeo, Donny dan Fahri menggunakan mobile Alphard hitam terbaru. Indhira menggunakan kendaraan Lexus berwarna putih bersama Ben, Ikhsan dan Farraz. Saat itu Ben yang menjadi supir mobil Lexus.[Kami siap berangkat menuju
Indhira mulai memainkan dramanya. Tangisan palsu pun telah keluar. Histeris dan berteriak seolah ia adalah korban kebiadaban sang ajudan."Mas, tolong aku. Tolong aku, Mas ...." ucap Indhira histeris."Kamu kenapa?""Jangan nangis. Tenangkan diri kamu. Cerita sama aku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mahesa.Indhira terus saja menjerit, membuat Mahesa semakin bingung, apa yang telah terjadi sebenarnya. Apa yang menyebabkan istrinya itu menangis tiada henti.Indhira tetap diam. Tetap menangis dan terus menangis tanpa menjelaskan apa yang sudah menyebabkan ia menangis."Sudahlah, Indhira. Kamu tenangkan diri kamu. Sebaiknya kamu istirahat dulu. Aku ke bawah dulu ya sayang," pamit Mahesa.Mahesa pun meninggalkan istrinya itu seorang diri di kamarnya dan berharap setelah makan malam, Indhira mau menjelaskan apa yang sudah terjadi sebenarnya.Di lantai bawah, Mahesa kembali menemui para ajudannya. Juga pada asisten rumah tangga yang juga ikut bersamanya dari Jakarta."Siapa yang bisa m
Mahesa bersedih. Ia menangis. Hatinya hancur saat mengetahui istrinya itu telah dilecehkan oleh salah satu ajudan terbaiknya."Saya nggak becus jadi suami!"Mahesa yang merasa sakit hati akhirnya menaruh dendam pada Ikhsan. Bahkan kini ia berniat membalas semua sakit hatinya.Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Mahesa pun yakin bisa memberi pelajaran pada Ikhsan. Sebuah rencana yang matang pun telah disiapkannya."Farraz, kamu harus backup saya! Kalau nanti dia melawan, kamu habisi dia saja. Kamu mau kan?" tanya Mahesa. Farraz pun terkejut."Mana mungkin aku membunuh Ikhsan?" batin Farraz.Farraz tidak pernah membayangkan jika harus membunuh sahabatnya sendiri. Mentalnya tidak seberani itu. Ia pun memberi saran jika Ben saja yang melakukannya."Panggil Ben!"Farraz pun kembali ke tempat para ajudan itu berkumpul. Ia langsung mengajak Ben untuk segera menemui atasan mereka.Sesampainya di salah satu ruang di rumah dinas Mahesa itu sang jenderal memerintahkan agar Ben melakukan penembaka
Rasa penyesalan Ben tidak bisa berubah keadaan. Ikhsan tidak akan pernah kembali lagi. Ben pun sudah dicap sebagai pembunuh. Noda hitam yang akan terus ada dalam kehidupannya.Semuanya tidak pernah mau tahu, apa yang menyebabkan seorang Benyamin Joshua tega menghujamkan peluru panas ke tubuh sahabatnya sendiri. Namun, jika mereka ada di posisi Ben, akankah mereka bisa menolak? Ataukah akan melakukan hal yang sama seperti yang telah Ben lakukan? Ben memilih diam. Mengikuti semua skenario dari sang jenderal."Aku sudah membunuh Ikhsan. Maafkan aku, Bang. Maafkan aku ...." lirihnya.Farraz dan Kavi menjalankan tugasnya. Membersihkan seluruh ruangan. Semua barang yang mungkin bisa dijadikan bukti yang akan memberatkan.Termasuk beberapa barang yang digunakan untuk melenyapkan nyawa Ikhsan."Gimana?""Semua sudah beres, Pak," jawab Farraz. Mahesa pun memuji kerja salah satu ADC terlamanya."Good!"Mahesa pun mulai menjalankan skenario demi skenario yang akan dijalaninya untuk membantu aju