Mereka berdua duduk dengan bersandar pada batang pohon yang besar dan menjulang, Jasindha hampir tidak bisa menahan tangisnya melihat bahwa salah satu sayap Adante telah terkulai dengan darah yang menghiasinya. Sayap itu mungkin telah patah. Melihatnya, Adante yang duduk di sampingnya masih bisa mengulas senyum kecil, "jarang sekali melihatmu menangis, bahkan ketika kita masih di Asgard, kau hampir tidak pernah menangis." Jasindha hanya memutar mata dengan jengkel, "Asgard begitu indah dan tenang, Aesir melakukan tugas masing-masing, dan segalanya ada nampaknya untuk melengkapi Asgard. Jadi, mengapa aku akan menangis di tempat seindah itu?""Lalu, bagaimana menurutmu dengan Valhala?" Tanyanya lagi. "Apakah menurutmu di sana akan lebih indah dari Asgard?" Jasindha segera menatapnya dengan kesal, "jangan membicarakan omong kosong, Adante!" "Aku hanya merasa penasaran." Jasindha bangkit, menyobek sedikit kain dari ujung gaunnya sambil berkata, "dan aku tidak akan memuaskan rasa pena
"Lesy! Apa yang terjadi?!" Isaura baru saja menyibak ilalang di hadapannya ketika matanya menangkap sosok lesy tengah berlutut tidak jauh dari mereka. Isaura bisa melihat darah di sepanjang tubuhnya. Mau tidak mau, Isaura bergegas untuk menghampirinya dengan cemas. Ketika Isaura menyentuh bahunya, Lesy segera ambruk ke tanah, yang segera ditahan di pangkuannya dan mencoba untuk melihat apakah Lesy masih bersama mereka. Tiba-tiba saja, pergelangan tangannya di cengkeram oleh jemari Lesy yang bersimbah darah. Membuat Evander hampir bergerak untuk menyerangnya. Saat itu, Isaura hanya menatap Lesy di pangkuannya dengan rumit, dia tidak tahu apakah Lesy benar-benar ingin menyakiti orang tuanya, dan mengapa mereka tidak ada bersama Lesy saat ini? Di pangkuannya, Lesy batuk dan memuntahkan darah, tapi tampaknya berusaha untuk tetap sadar, "maafkan aku, telah gagal menepati sumpahku, untuk melindungimu dan orang-orang yang kau sayangi, wahai Sang dewi." Samar-samar, Isaura memiliki inga
"Sekarang, saatnya kau mengatakan yang sebenarnya, Alma?" Isaura tidak memiliki simpati yang tersisa untuk salah satu orang yang paling dekat dengannya ini, Lesy dan orang tuanya pergi karena orang ini, masih bisakah dia merasa kasihan? Tidak mungkin. Alma yang terikat dengan akar di kedua tangannya, tidak menyiratkan ketakutan sama sekali, ia masih bisa tertawa kecil, dan mengejek, "oh, setidaknya aku masih bisa membantu tuanku untuk meloloskan diri di saat terakhir." Isaura berbalik, hanya untuk melihat Evander dan Jaguar hitam yang tersisa di sana, tidak ada Neo yang terikat ataupun bayangan Vilaevils yang tersisa. "Dia melarikan diri saat aku teralihkan," ujar Evander. Jaguar hitam itu bergerak ke arah mereka, dan perlahan berubah menjadi Lucien yang segera mendekati mereka, "aku bisa mengejarnya." "Tak apa, kita tinggalkan dia sejenak." Ucap Isaura sebelum kemudian beralih kepada Alma yang masih berlutut di hadapan mereka. "Sekarang, mungkin kita harus mengurusnya." Lucien
"Mereka pasti sedang menuju Valhala." Evander berbicara di sampingnya, memberikan segelas air putih kepada Isaura yang duduk di taman, menatap ke arah kejauhan, jauh dari bunga-bunga yang ada di hadapannya. Evander tahu dengan baik apa yang ada di dalam hatinya, tidak mudah untuk melepaskan sesuatu ataupun seseorang begitu tiba-tiba. Dan sebagai seseorang yang pernah mengalami hal itu, Evander tidak memiliki hak untuk meminta pihak lain agar tidak bersedih. Isaura menyesap minuman di tangannya, kembali menatap ke arah bunga-bunga untuk sementara waktu, lantas dia menghirup nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Isaura berbisik kemudian, "jika aku memohon, apakah menurutmu Aesir Freya akan membiarkan mereka kembali? Sama seperti Sang Odin dan Ratunya, Aesir Frigga, meminta putra mereka, Baldur, untuk kembali dari Helfheim?" "Itu legenda. Seperti yang kita ketahui, legenda tidak terjadi dua kali." Isaura tersenyum kecil, "um, harus ku akui, terkadang aku tidak tahu menga
"Apakah ada dari kalian yang menemukan jejak Neo?" Lucien menanyakan hal itu ketika Cato dan beberapa anggota pack Sethmolf datang mengunjungi rumah Isaura guna memastikan keadaannya. Mereka kini berkumpul di ruang tamu, dan Lucien akhirnya bergabung bersama mereka, menggantikan tuan rumah yang tidak dapat bergabung sementara waktu. Cato masih menunggu Evander dan Isaura yang berada di lantai atas, tetapi dia masih menanggapi pertanyaan pihak lain, "sejauh ini kami tidak merasakan jejaknya sama sekali, bahkan tidak di dekat pack. Tetapi sang alpha tetap meminta semua anggota untuk waspada, dan segera melaporkan selama melihat atau merasakan jejak Neo barang sedikitpun." "Itu bagus," sahut Lucien sembari mengangguk.Cato meliriknya, "apakah sihir yang merasuki Neo sangat berbahaya?" "Yah, dapat dikatakan begitu, sebab yang merasuki tubuh Neo itu, adalah musuh Isaura, mereka memiliki dendam yang cukup rumit."Cato memiliki kerutan di keningnya, "dendam macam apa itu? Mengapa aku tid
"Wahai, Maha bapa, apakah kau akan terus menjadi penonton dalam kisah Sang dewi utama ini?" Ratu Frigga, kekasih Sang Odin itu tersenyum kecil, tampaknya dia hanya sekedar memberikan pertanyaan yang serupa seperti sebuah basa-basi, namun sebagai pendampingnya, tentu saja Sang Odin merasakan petunjuk dalam perkataan ratunya itu. Sang Odin meraih jemari kekasihnya ketika ia bertanya-tanya dengan heran, "tidak biasa sekali bagimu, Frigga yang tersayang, untuk tiba-tiba mengangkat peristiwa semacam ini terhadapku?" Sang Ratu hanya tersenyum sembari menanggapi genggaman tangan kekasihnya. Namun hal itu membuat Sang Odin semakin bertanya-tanya, ia mengamati wajah Sang ratu dan menebak, "apakah aku telah melewatkan sesuatu yang penting, sayangku?" "Yah, jika ramalanku adalah sesuatu yang penting, maka memang benar kau telah melewatkannya, Maha bapa." Sang Odin segera menepuk dahinya dan tertawa kecil. "Oh, ternyata aku telah melewatkan ramalanmu, ratu yang tersayang. Sekarang, maukah k
"Isaura, datang dan lihatlah, mereka berkata ingin bertemu denganmu!" Teriakan ini bergema saat Isaura tengah menyajikan beberapa hidangan yang telah ia selesaikan, ia segera menengok ke arah pintu dengan wajah ingin tahu. Siapa yang ingin bertemu dengannya hingga Lucien harus berteriak sedemikian rupa kepadanya? Tetapi, Isaura masih menanggapi, "baiklah, aku akan segera keluar." Beberapa waktu kemudian ketika Isaura akhirnya menunjukan dirinya, tidak ada siapapun di depan Lucien, yang membuat Isaura kebingungan, "Lucien? Bukankah baru saja kau berteriak tentang seseorang yang ingin bertemu denganku?" Lucien mengangguk, lalu ia berkata sambil menunjuk pada suatu arah, "yah, memang. Tetapi aku tidak mengatakan seseorang, aku mengatakan itu mereka." Isaura mengikuti ke arah mana jari telunjuk Lucien terarah, dan menemukan dua ekor burung gagak yang bertengger di salah satu dahan pohon yang berada di halaman rumah. Setelah mencoba mengingat siapa burung gagak itu, Isaura segera me
"Jadi kau bermaksud mengatakan, bahwa aku harus membangunkan saudariku sebelum aku memutuskan untuk menyelesaikan masalahku dengan Vilaevils?" Isaura bertanya, sembari meletakkan cangkir teh pada masing-masing dari mereka. "Kukira keduanya hanya mengasingkan diri dan bukannya tidur abadi." "Tadinya aku juga berpikir demikian," Sang Odin mengambil cangkir teh bagiannya ketika berbicara. "Setidaknya sampai mereka juga ikut menutup sumur Urd bersamanya." Keheningan jatuh untuk beberapa saat. Sampai Isaura bergumam kepada dirinya sendiri, "aku tidak menduga hal itu sama sekali." Sang Odin menanggapi dengan anggukan, "jadi itulah mengapa, sepertinya hanya kau yang bisa membuat mereka memiliki keinginan untuk bangun lagi. Sumur Urd juga sudah mencapai waktunya untuk dibuka kembali." "Um, kurasa juga begitu." Sahut Isaura. "Setelah ini, sepertinya aku harus kembali ke Asgard dan menemukan mereka." Sang Odin segera setuju, "kembalilah bersama denganku nanti." "Haruskah kau segera kembal