Sesuai yang diperintahkan oleh Pak Abraham, agar Sabrina mengosongkan agenda acara Cinta untuk dua hari ini, mereka pun mematuhi. Hari kedua pasca kecelakaan itu, Cinta dan Sabrina hanya mengisi waktu mereka dengan istirahat dan sesekali memanjakan mata mereka dengan menyaksikan cowok-cowok aduhai di serial drama Korea yang tayang berjilid-jilid lewat koleksi DVD.
Pak Abraham dan Ibu Viola hampir setiap dua jam sekali menghubungi Cinta lewat telepon dan panggilan video WA dengan tujuan mengecek apakah putrinya itu benar-benar berada di dalam unit apartementnya dan memulihkan kondisi tubuh pasca kecelakaan itu.
Walaupun ada Pram yang berinisiatif menginap di sana, tapi kedua orang tua itu tetap saja waspada dengan akal bulus Cinta. Mereka takut Pram ‘kecolongan’ lagi mengawasinya. Karena mereka sangat tahu siapa putri mereka itu, seorang night society pecandu hingar bingar diskotik dan mendekati gejala alcoholic.
Pram yang merasakan nikmatnya tidur du
Pram merasakan tubuhnya segar kembali setelah membersihkan diri. Dia sudah tampak rapi dengan setelan hitamnya, kemeja dengan lengan tergulung sampai siku, dipadukan dengan celana yang sama dengan yang kemarin dia pakai. Rambutnya dia sugar asal saja, namun tampak serasi membingkai kulit kecoklatannya yang segar merona. Bulu-bulu halus di sekitar rahang dan dagunya dia biarkan tumbuh subur, namun justru membuat pria itu terlihat lebih macho dan dewasa. Bisa dipastikan akan membuat lawan jenis yang menatapnya menahan nafas karena terpesona. Satu kata untuk menggambarkan sosok Pram. Tampan. Tubuhnya tinggi tegap nan proporsional disertai dengan rupa perpaduan ras melayu dan sekilas ras kaukasoid yang tercetak di matanya yang dalam dan hidungnya yang tegak. Hingga sejak dulu banyak yang menyarankan Pram untuk mendaftarkan diri menjadi seorang foto model atau peragawan. Tapi secuil pun Pram tidak tertarik dengan saran itu. Karena baginya itu terlalu berle
Tiga bulan tidak bertemu. Terpisah jarak ribuan mil. Hanya bertukar kabar melalui komunikasi udara. Itu pun tak seintensif sewaktu berada di satu kota yang sama. Membuat Cinta dan David terkungkung kerinduan yang begitu menyiksa. Keduanya saling menatap mesra. Disertai sentuhan di titik-titik tubuh yang dipercaya mampu membangkitkan gairah yang terpendam. Tak cukup hitungan detik bibir mereka saling memagut dan menyecap, bahkan bermenit-menit hingga keduanya saling memperebutkan oksigen yang sama. Hasrat alamiah pun tak terhindari lagi datangnya, bagai gelombang Tsunami yang menggulung akal sehat mereka. David, dengan keahlian bibir dan jemarinya membuat Cinta mendesah frustrasi berkali-kali. Begitupun Cinta, dengan liukan dan desahan manjanya membuat jantung David memompa lebih cepat karena rangsangan gairah yang kian meninggi. “Sweety, aku ... nggak tahan lagi,” desah David di leher Cinta setelah pria modis itu menyesap kulit leher Cinta yang meruak
Tak banyak kata lagi, tak hendak menanggapi ocehan Sabrina lebih lama lagi, tak juga dia hiraukan Sabrina yang masih meledeknya dengan sebutan kudet dan kurang pergaulan, Pram langsung beranjak dari duduknya dan bergegas pergi meninggalkan nasi gorengnya yang teronggok lesu karena tak tersentuh, meninggalkan Sabrina yang ikut beranjak dan setengah berlari mengejar langkah lebarnya. Semua itu karena Cinta penyebabnya. Otaknya dipenuhi dengan fantasi liar tentang si nona muda yang tengah berbuat tak pantas di dalam kamar dengan sang pacar. Walaupun resiko pribadi Cinta bukan urusannya, tapi nalurinya sebagai pengawal keamanan seketika memberontak dan tak rela jika sesuatu yang buruk terjadi pada Cinta. Dan itu terjadi di bawah tanggung jawabnya. Langkahnya mantap menuju meja kasir, lalu memesan seporsi Vegetable Sandwich dan Beef Sandwich beserta Coffee Latte dan Mochachino. Tak lama menunggu, makanan dan minuman dalam kemasan elegant itu sudah berada di tanganny
Kangen kontrakan. Begitu yang terpikir di benak Pram setelah menginap dua malam di unit apartement Cinta. Walaupun keadaan kontrakannya terbilang sangat sederhana, namun suasananya yang tenang membuat Pram susah untuk meninggalkannya lebih lama. Karena itu, setelah mengantarkan Sabrina belanja keperluan dapur di supermarket dekat apartement mereka sore ini, Pram minta ijin pulang sebentar untuk menengok kontrakannya dan mengambil pakaian bersih untuk pakaian ganti jika sewaktu-waktu menginap di apartement lagi. Dari jarak sepuluh meter menuju kontrakannya, netra Pram menangkap dua orang wanita beda usia tengah duduk di kursi rotan tepat di samping pintunya. Begitu mendekat, tampak Bu Ocha tengah melingkarkan lengannya ke bahu Hani. Bergegas Pram memarkirkan motornya, melepas helmnya, lalu menghampiri keduanya. “Hani? Sudah lama datang?” sapa Pram setelah mendekat dan membelai pucuk kepala Hani sejenak, kemudian beralih mencium punggung tangan Bu Ocha. Lalu me
Sejujurnya, Pram sudah menyadari harapan untuk mendapatkan restu dari kedua orang tua Hani nyaris sirna. Namun perasaan cinta pada Hani masih kokoh terpatri di dalam hatinya. Dan Pram yakin Hani pun demikian. Itulah yang membuatnya masih menyimpan keinginan kuat untuk memperjuangkan Hani. Namun apakah keyakinan itu akan tetap bertahan, walaupun berkali-kali dia mendapat penolakan. Bahkan dengan sangat kasar dan arogan? Siang ini, Pram duduk di kursi panjang berhadapan dengan kolam renang di sebuah hotel berbintang lima, tengah menunggu Cinta menyelesaikan jadwal pemotretan untuk produk herbal pelangsing tubuh dari merk lokal yang cukup terkenal. Pram yang semula menghubungi Hani lewat sambungan telepon untuk mengetahui keadaannya, kembali mendapat semprotan kata-kata pedas dari Ibu Prapti ketika suara Hani berganti menjadi suara ibunya. Pria itu hanya terdiam mendengar semua sumpah serapah, caci maki dan hinaan yang Bu Prapti lontarkan tanpa perasaan.
“Kamu sudah ngopi, Pram?” Suara wanita setengah baya itu mengejutkannya. Pram menoleh ke asal suara di belakang punggungnya dan mendapati Ibu Viola berdiri di teras sambil membenahi penampilannya yang tampak sudah paripurna. Dengan mengenakan blazer dan celana basic merah tua dan wajah yang sudah segar dengan polesan make up sedikit menyala, ditambah rambut yang di cepol tinggi dengan anak rambut menjuntai di samping pipi. Bu Viola tampaknya sudah bersiap untuk pergi. “Belum, Bu,” jawab Pram jujur. Memang pagi ini tenggorokannya belum tersentuh minuman kegemarannya itu. Karena sejak pukul enam tadi dia harus sudah tiba di rumah mewah itu untuk menemui Pak Abraham sesuai pesan dari aplikasi yang diterimanya tadi malam. “Kamu ngopi dulu sana di dapur, abis itu langsung temuin Bapak di ruang kerjanya.” Setelah memerintahkan itu pada Pram, Bu Viola melangkah cepat menuju Mercedes Benz hitamnya yang sudah menunggunya dengan pintu samping yang terbu
Pram teringat perkataan Sabrina di lokasi syuting tadi, bahwa Sabrina salut terhadap dirinya yang begitu sayangnya terhadap Hani hingga dia rela dicaci maki demi mendapat restu dari orang tua Hani. Pram membenarkan itu. Memang dia sayang, cinta dan berharap impiannya menjadi kenyataan, menikahi Hani dan membangun rumah tangga di bawah restu orang tua. Tapi begitu beratnya tantangan yang dihadapi Pram, apalagi setelah mendengar dari lisan Hani sendiri tiga hari lalu melalui sambungan telepon sebelum percakapan mereka di sabotase oleh Ibu Prapti, ibunya Hani. Bahwa Hani kini sudah berhenti mengajar di sekolah boarding itu semata-mata agar Pram tidak punya kesempatan untuk menemui gadis itu lagi. Sedih, sudah pasti itu yang dirasakan Pram. Namun masih ada secercah harapan di hati Pram saat Hani bilang akan terus berjuang bersamanya untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya yang entah sampai kapan. Dan kini rasa rindu pada Hani yang begitu menggebu menyelim
Setiap melintasi gerobak penjual martabak yang mangkal di pinggir jalan masuk gang menuju kontrakannya, Pram selalu teringat pada Bu Ocha, sohib semata wayangnya di komplek kontrakan RS9 (nine) itu. Mungkin karena rasanya yang gurih dan manis seperti tawa Bu Ocha yang selalu menghiburnya di setiap dia pulang kerja. Pram senang, Bu Ocha tak pernah bosan dia bawakan makanan berkarbohidrat tinggi itu. Dan yang lebih Pram suka, wanita setengah baya itu selalu memakannya habis, tak bersisa. Tapi anehnya, badannya tak pernah mengembang, walaupun dia doyan makan. Entah berapa belas jari usus di dalam perutnya. Seperti saat ini, satu kotak martabak varian keju dan coklat sudah dalam tentengan Pram. Dan Pram yakin usia martabak itu tak lama lagi, karena Bu Ocha akan segera mengeksekusinya. Jam di pergelangannya sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Biasanya pada jam-jam segini, lagu My Way-nya Frank Sinatra menggema berulang-ulang bagai kaset rusak dari bibir ceriwis