9
Raka berjalan mondar mandir di hari libur ke empatnya. Ia rasa, ia akan mulai gila.
“Astaga ....!!” geram Raka dengan sangat frustasi membolak balik kalender yang ada di tangannya. Baru saja empat haru citu, tapi ia sudah merindukan rumah sakit. Ah!! Ralat! Pekerjaan! Tanggung jawab moral sebagai dokter.
Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan pikirannya agar tak memunculkan ide untuk datang ke rumah sakit seperti pahlawan kesiangan karena shiftnya sudah di ganti dengan Brian. Raka menatap kunci mobilnya. Ia jadi teringat sesuatu dan merasa lega. Sudah meminta petugas keamanan, untuk....
^^^
&nbs
10 Raka entah harus mengatakan apa atau bereaksi seperti apa. Menjatuhkan tasnya tentu bukan ekspresi yang ingin ia tunjukan. Bersyukur rasanya juga kurang tepat untuk saat ini. Tapi Raka bisa di bilang sangat kejam, karena ia bersyukur wanita di lantai itu bukanlah Mika. Seorang perempuan yang membutuhkan pertolongan tentunya. Tapi untunglah, sekali lagi. Bukan Mika. Raka langsung duduk dan meraih tubuh itu. mengangkatnya dan mengeluarkan tubuh itu dengan sekali tarikan keluar dari lift. Mega membantu Raka dengan memungut tas laki laki itu. dengan jari yang di tujukan ke jalur pernafasan. Raka bisa merasakan, kalau perempuan ini pingsan karena syok dan ketakutan. “Dokter engga ada niatan
11 Mika terbangun, lebih tepatnya terjaga sampai larut malam. Seminggu lagi, dan puteri ketiga dari keluarga Abraham itu tak mendapatkan satu kunjungan keluarga sedikitpun. Mika merasa sesak di dadanya. Ada bisikan kalau ia sengaja di telantarkan sampai mati. Ponsel yang tak berguna itu ia hempaskan ke ranjangnya. Bergegas dengan santai menuruni ranjang rumah sakit. Mika ingin berjalan jalan, di rumah sakit di tengah malam. Aneh bukan? Dengan langkah santai berjalan di lantai teratas. Mika bisa melihat ke luar sana, lampu lampu gedung pencakar langit memberikan tiga warna yang paling mendominasi. Biru, merah dan putih. Mika mengusap jendela kaca itu dengan senyum merekah. Mika suka kesendirian,
12 Raka sudah bersiap. Pagi ini, setelah tidur hanya dalam empat jam dan terbangun pukul enam pagi. Raka harus rela kehilangan waktunya untuk berjogging karena kurang istirahat. Bisa bisa, bukan sehat yang di dapat kalau ia memaksakan jogging. Tapi tepar sendiri dan akhirnya mengabaikan pekerjaan. Jas rapi dengan name tag yang sudah beberapa tahun ia gunakan. Raka Adiwiswara. Dokter spesialis jantung. Bedah jantung tepatnya. Senyuman terlukis saat Raka membuka kulkasnya. Ingat kenangan beberapa jam yang lalu, saat ia makan bersama Mika. Mengambil satu boks makanan berisi salad sayuran dengan selada yang mendominasi. Sayuran segar dan renyah itu menjadi menu sarapannya hari ini. “Pagi dokt
13 Mika tak bisa menjelaskan betapa terkejutnya ia. Merapatkan bibir karena tak tau apa yang harus di jawab. Mika akhirnya berhadapan dengan ekspresi Raka yang sangat membingungkan. Laki laki itu nampak sangat frustasi, seperti....? Menyesal dengan apa yang di ucapkan barusan? Mungkinkah? “Maaf dok, saya mungkin terlalu sensitif karena penyakit saya makin parah. Selama dengan dokter Brian, beliau hanya memeriksa kondisi saya sewajarnya, tidak menanyakan keluhan. Saya merasakan sedikit nyeri di waktu waktu tertentu. Tapi karena dokter Brian tidak bertanya, saya diam.” Penjelasan Mika barusan memberikan jawaban atas segala pikiran buruk Raka. Pikiran buruknya memang benar. Tapi entah
14 Mika berada di luar ruangan. Saat manusia sudah menyakiti satu sama lain. Saat itulah, perasaan dan kepercayaan di pecah belah. Dan saat Mika sudah sadar betul. Ia tak di harapkan keluarganya, ataupun yang lainnya. Ingin sekali ia mati saat itu juga. Tapi kata kata Raka membuat Mika tersadar akan sesuatu. Setidaknya ada orang yang mati matian ingin menyelamatkannya, walaupun itu adalah sebuah kewajiba. Mika akan hidup tanpa beban sekarang. Dan selamanya. Mika terduduk dengan sangat senang saat salah satu dari keluarganya datang. Kaka keduanya. Morgan.
15 Morgan sedang duduk di kursi kerjanya. Matanya berkabut seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak fokus dengan pekerjaanya sudah pasti membuat ia melamun dari pada berpikir. Pertemuannya dengan adiknya, Mika. Kemarin adalah pukulan paling sakit yang pernah ia rasakan. Tautan di kening Morgan makin berkerut saat Morgan merasa telah gagal menjadi keluarga untuk adiknya sendiri. Lebih mementingkan tujuannya tanpa menanyakan keadaan adiknya itu. “Seenggaknya, apa kalian engga bisa pura pura khawatir?” Kembali, pertanyaan sarkasme Mika memb
16 Mika berjalan kembali ke arah ruangannya. Setelah mengantarkan MRs Johan ke ruanganya, ia memutuskan untuk kembali ke ruangannya dan bersiap siap. Entah untuk apa? Tapi Mika mulai merasa, kalau ia harus tampil lebih baik dari sekarang. “Astaga!! Kaya alas sepatu anak SMP yang nginjek comberan!!” Mika terkejut dengan perubahan tubuh dan wajahnya sendiri. Bibir pucat tanpa polesan apapun. Berat badan yang jelas menurun karena tak bisa makan sembarangan. Pipi dengan rahang yang terlihat jelas karena perubahan berat bada yang menurun drastis. Apa lagi di tambah dengan piyama yang belum sem
17 Mata Mika masih bertatapan dengan kosong. Ada getaran di hatinya. Ini... tidak wajar. “Maksud saya, kamu seorang wanita yang kuat. Beda dari pasien pasien saya yang sebelumnya.” Penjelas selanjutnya yang Raka katakan. Seperti memupus sebuah tunas yang bahkan belum tumbuh. Sesakit itu di babat sebelum berkembang menjadi pucuk daun teh, atau sebelum menguncup jadi melati. Sekarang, Mika sadar. Dia sudah menjadi kuncup melati yang menginginkan bertemu dan di satukan dengan sepucuk teh di cangkir.&