Mobil yang dikendarai oleh Malik menepi. Menunggu seorang gadis untuk datang selepas pergi berpamit membelikan obat untuk luka Zain. Malik sudah melarangnya. Dengan tegas memberi perintah pada Xena untuk tetap diam dan mengikuti interuksi dari Malik selanjutnya. Namun, Xena terlanjur merajuk. Bukan hanya pasal remaja sialan itu sudah membuatnya berdusta pada kedua orang tua Xena, namun juga pasal Zain dan segala kegilaan yang terjadi beberapa waktu lalu. Xena membenci Malik, saudara tirinya. Mendengarkan dan menuruti perintah Abian Malik Guinandra adalah hal mustahil untuknya selepas amarah membakar seluruh jiwa baik yang ada di dalam dirinya.
Pintu mobil diketuk. Sepersekian detik kemudian seseorang menariknya dari luar. Bukan masuk menjadi pendamping Malik yang duduk di kursi depan, namun masuk memilih duduk di kursi belakang tetap sejajar dengan Zain yang masih menyandarkan kepalanya lemas.
Xena melirik saudara tirinya. Jelas terekam di dalam lensa pekat milik Malik,
Zain memberi interuksi. Menunjuk ke depan dan memberi perintah pada Malik untuk segera menepikan mobilnya. Tak ada obrolan yang berarti di antara ketiganya. Hanya saling diam sembari mendengarkan alunan musik pop yang memecah keheningan. Sekarang saatnya, Zain turun dari dalam mobil.Remaja itu melirik Xena yang masih mencoba untuk menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Jujur saja, Xena tak tahu kalau ada daerah seperti ini di ibu kota. Yang ditahu olehnya, ibu kota itu sangat sibuk dan padat. Bangunan pasti akan berjajar memenuhi lahan. Hiruk-pikuk suasana penghuni lingkungan juga akan terasa begitu mengganggu kalau siang menghadang menjelang sore datang begini. Akan tetapi, selepas Zain 'membawa' tubuhnya kemari, ia tahu bahwa banyak rahasia yang disimpan ibu kota darinya. Seperti tempat nyaman dan sepi seperti sekarang ini."Thanks karena udah nganter gue." Zain kembali menyela. Menatap Malik yang hanya mengangguk sembari menatap dari pantulan cermin keci
Xena mematung. Sembari mengaduk-aduk mie kuah yang dibelikan oleh saudara tirinya, gadis itu mendesah kasar. Ada rasa aneh yang kini menyelimuti di dalam dirinya. Seakan sesuatu baru saja terjadi dan mengubah sistem dinamika kehidupan Xena. Jika ditelisik dengan benar, tak akan ada yang berubah. Xena tetaplah Xena. Juga untuk Malik tetaplah Abian Malik Guinandra, saudara tirinya yang amat sangat menyebalkan. Gadis itu tak tahu, jikalau sang saudara tiri menyimpan banyak rahasia dengan duka yang menjadi temanya. Selepas kepergian Zain dalam keadaan seperti itu ada rasa bersalah yang bersarang di dalam hati Xena. Bukan sebab memaki dan mengumpat, toh juga Zain memang perlu dibegitukan agar ia tau apa itu kata terimakasih. Rasa bersalah itu sebab dirinya tak mencegah Zain pergi sebelum benar mengobati luka yang ada di atas tubuh remaja itu."Lo masih marah sama gue?" Malik menyela. Sukses membuat Xena mendongak dan memberi tatapan padanya. Gadis itu kasar melepaskan sendok dan g
Hening sejenak membentang kala Malik sukses menautkan ujung sabuk pengamannya. Merapikan posisi duduk menghadap jalanan yang ada di depannya. Perut terisi penuh, namun hati terasa begitu kosong. Nyawa memang sudah kembali menjadi satu, raga sudah baik-baik saja tanda tak ada yang perlu dikhawatirkan olehnya lagi. Remaja jangkung itu berusaha untuk tetap dalam pemikiran positif. Tak ingin banyak berprasangka buruk perihal si teman yang sudah pulang ke rumahnya. Malik hanya ingin Zain tidur dengan nyaman siang ini. Menguapkan rasa kantuk dan lelah yang mungkin datang menyapa, memudarkan rasa perih dan panas yang menggerogoti tubuh sebab luka menganga baru yang didapat olehnya juga menghilangkan segala beban meskipun Malik paham, bahwa beban itu tak akan pernah benar sirna dalam kehidupan seorang remaja brandal bernama Zain Kalandra.Hatinya kini terpaut pada si saudara tiri. Xena Ayudi Bridella. Gadis cantik berambut panjang pekat tergerai sepunggung dengan ujung bergelombang s
Tragis? Tidak. Semua cerita itu terdengar begitu menyedihkan dan memilukan. Malik adalah remaja 'cengegesan' yang suka usil dan menyebalkan dengan segala peringai konyolnya. Namun lewat cerita singkat ini, Malik terlihat seperti remaja yang berbeda. Bukan Abian Malik Guinandra yang ia kenal. Semua cerita yang terlontar keluar dari bibirnya seakan menegaskan bahwa remaja yang ada di sisinya sekarang ini terdengar begitu berbeda dan asing."Ada yang mau lo tanyakan lagi kenapa gue bisa memberikan banyak kebencian sana Daffa?" Malik mengimbuhkan. Menatap gadis yang baru saja ikut melempar tatapan teduh padanya. Xena membisu. Bungkam tak bersuara dan mengunci rapat bibir merah muda miliknya. Ingin menggeleng namun jujur saja, hatinya belum lega. Akan tetapi untuk kembali bertanya, ia tak sampai hati. Xena paham masa lalu dengan mengingat kematian seorang remaja muda yang menjadi sahabatnya adalah duka lain yang tak akan pernah dimengerti olehnya. Gadis itu tak tahu bagaimana rasan
Langkahnya tegas. Tatapannya jauh menatap apapun yang menghalangi lensa pekat miliknya untuk bisa menerawang keadaan ujung lorong tempat kelasnya berada. Tak ada suara yang keluar dari celah bibirnya. Sapaan yang sesekali memanggil namanya pun tak diindahkan dengan benar oleh gadis itu. Xena bukan tipe yang suka 'sok akrab sok dekat' dengan orang-orang yang jarang berinteraksi dengannya. Baginya hanya cukup saling melempar senyum dalam tatapan ramah dan bersahabat sudah sangat cukup untuk dilakukan. Samar-samar dirinya merasakan seseorang mengikuti langkahnya. Tepat berdiri dan berjalan seirama dengan jarak yang tak mampu dibilang dekat maupun terlalu jauh. Xena menunggunya untuk menyapa, mengulurkan tangan dan setidaknya menepuk pundak Xena dengan ramah. Jikalau itu terjadi yang ada di belakangnya pasti adalah Nea, si teman dekat yang duduk tepat di sebelahnya kalau jam pembelajaran berlangsung.Meleset! Tak ada tepukan tangan namun selaan langkah kaki yang semakin dekat. Teg
"Xena! Bara!" Seseorang menyela keduanya. Menarik perhatian remaja jangkung yang baru saja ingin kembali berucap kala Xena tak kunjung memberi jawabannya. Bara menoleh. Mengarahkan pandangan pada gadis berambut pendek dengan poni tipis yang menutupi dahinya hingga tepat di atas batas alis cokelat melengkung bak pelangi selepas hujan turun membasahi bumi. Nea Oktaviana dengan bersama sang kekasih yang berjalan tegas mengiringinya."Kalian juga baru datang? Bersama?" Nea kembali berucap. Merangkul Xena yang kini mampu tersenyum lebar selepas kehadiran Nea yang bisa dikatakan menyelematkan posisinya dari pertanyaan Bara. Xena tak berniat berbohong pada remaja baik ini, namun untuk sekarang mengatakan yang sebenarnya adalah hal mustahil yang akan bisa ia lakukan."Kita ketemu di lorong," ucap Xena disusul dengan senyum manis yang tegas merekah di atas bibir merah delima miliknya.Nea menganggukkan kepalanya. Sejenak melirik sang kekasih yang masih kokoh ber
Helaan napas ringan ia berikan untuk menanggapi dunianya yang sangat membosankan. Jikalau tak pasal Abian Malik Guinandra, si saudara tiri permasalahan yang menimpa Xena adalah pasal dunia sekolah dengan tugas yang tak kunjung sirna. Mati satu tumbuh dua puluh milyar! Kalimat itu adalah deskripsi tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan padanya. Tatapan Xena tak pernah absen dari rentetan huruf penyusun kata dan kalimat berteori yang menjadi bahan rangkumannya siang ini. Tak ada Nea juga tak banyak teman-teman sekelas yang menemaninya sekarang ini. Sebagian besar sudah kembali ke dalam kelas mereka masing-masing. Menyambut datangnya bel jam istirahat yang baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu.Xena mempercepat gerakan tangannya, semakin luwes pena hitam milik gadis itu menari di atas kertas. Kasar ujung pena menggores dan menciptakan tulisan miring berukuran kecil khas milik Xena Ayudi Bridella. Gadis itu menghela lagi napasnya. Kapan akan selesai? Itulah kiranya yang
Tatapan tajam, embusan napas kasar yang menggebu, sesekali berdecak kasar sembari mendesah tak tentu iramanya. Abian Malik Guinandra, si remaja jangkung yang berdiri dengan tatapan aneh yang terkesan malas ingin memakan teman sebaya yang ada di depannya saat ini. Daffa Kailin Lim. Jikalau si teman sebangku tak memaksanya dengan embel-embel kalimat betapa menyeramkannya tatapan seorang Daffa ketika sedang murka, Malik tak akan datang kemari. Bukan hal aneh nan asing kala mengatakan bahwa remaja itu mengabaikan perintah, permintaan, dan kalimat seorang ketua OSIS berwibawa idola kaum hawa itu. Malik adalah remaja yang berpegang teguh pada pendiriannya. Kalau tidak, ya tidak!"Lo kangen sama gue?" ucapnya menyela keheningan. Remaja jangkung itu mulai bosan dengan keadaan yang ini-ini saja. Hanya diam saling menatap, menghabiskan waktu istirahat yang amat mepet seperti ini adalah sesuatu yang dibenci oleh Abian Malik Guinandra, apalagi kalau dihabiskan bersama seorang Daffa Kailin