Darren mendekati Bella. Dia mengulurkan tangannya dan mulai mengelus-elus leher Bella dengan lembut.
"Kau tampak cantik hari ini."
Bella merespons dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah dia memahami apa yang dikatakan oleh Darren.
Sean mendengkus. Dia memperhatikan bagaimana Bella tampak begitu tenang di bawah sentuhan Darren. Dengan nada setengah berkelakar, dia berkata, "Semua wanita tampaknya takluk di hadapanmu. Tidak terkecuali Bella."
Dengan ekspresi yang sulit diartikan, Darren mendecih pelan. Matanya kemudian kembali melirik Madeline, mencoba untuk menangkap reaksi wanita itu. Namun, Madeline tampaknya telah menyadari tatapan Darren dan dengan cepat mengalihkan perhatiannya.
Madeline merasa jantungnya berdebar kencang. Dia bisa merasakan tatapan Darren yang begitu tajam dan dalam, seolah mencoba untuk membaca apa yang ada di dalam pikirannya. Perempuan itu berusaha untuk mengabaikan.
Darren, yang masih berdiri di samping Bella, membalas decihan Sean dengan nada datar. "Tidak semua wanita senang berada di dekatku, Sean. Malah, ada yang menganggapku pengecut."
Ucapan Darren itu seperti sambaran petir di siang bolong bagi Madeline. Dia merasa seperti ditampar oleh kata-kata Darren. Pria itu pasti sedang menyindirnya.
Sean menyadari sikap Madeline yang tidak biasa. Dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan dan itu bisa saja terjadi antara Madeline dan Darren.
Dari tadi mereka asyik berbincang sampai lupa bahwa ada satu orang lagi yang hadir di tempat itu–Cressida.
Setelah menunggu cukup lama tanpa ada satu pun dari mereka yang memperhatikannya, Cressida melakukan sesuatu untuk menarik perhatian mereka. Dengan gerakan cepat dan lincah, dia mengambil sebatang kayu kecil dan melemparkannya ke arah kaleng kosong yang ada di dekat Bella.
Suara gemerincing kaleng tersebut membuat ketiganya terkejut dan langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Mereka tampak terkejut saat melihat Cressida berdiri dengan tangan di pinggangnya.
"Apa kalian lupa kalau aku juga ada di sini?" tanya Cressida dengan nada sedikit angkuh.
Ketiganya tampak bingung sejenak sebelum akhirnya Sean yang mengakui. "Maaf kalau kau merasa diabaikan."
Cressida tersenyum sinis. Seharusnya, mereka mengajak bicara sejak tadi. Bukan mengabaikannya!
Sean mengarahkan pandangannya ke Cressida dan memberikan senyuman ramah. "Apa kabar, Cress?"
Cressida membalas sapaan Sean dengan anggukan kepala dan senyuman tipis di bibirnya. "Lumayan baik."
Madeline yang berada di sana, memperhatikan Cressida. Dia melihat betapa cantik wanita itu. Rambutnya panjang hitam legam, terurai indah hingga mencapai pinggang, mata besar berwarna coklat gelap yang selalu tampak bersinar penuh semangat, kulit putih mulus tanpa cela seperti porselen, serta tubuh ramping dan proporsional. Sepertinya dia bukan manusia. Mungkin, bidadari.
Apalagi, Cressida ini juga putri dari keluarga terhormat. Pantas saja Darren tidak masalah didekatinya. Memang Madeline tidak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan dia.
Sean berinisiatif untuk memperkenalkan Madeline dan Cressida satu sama lain. Dia mengarahkan pandangannya ke Madeline dan berkata, "Madeline, ini Cressida. Dia sahabatku dan juga Darren dan mungkin sebentar lagi akan naik level."
Kemudian Sean menoleh ke arah Cressida dan melanjutkan perkenalannya, "Cressida, ini Madeline. Wanita cantik yang sering aku ceritakan padamu."
Cressida memberikan senyuman hangat kepada Madeline dan mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu, Madeline," ucapnya dengan suara lembut.
Madeline membalas senyuman Cressida dan menjabat tangan yang telah diulurkannya. "Senang bertemu denganmu juga, Cressida," balasnya.
Cressida beralih mendekati Darren. Dengan gerakan yang lembut dan penuh kasih sayang, mengusap-usap leher Bella. Kuda cantik itu tampak sangat nyaman dengan sentuhan Cressida dan segera menunjukkan rasa akrabnya.
Madeline yang melihat hal tersebut tidak bisa menahan rasa irinya. Dia jauh lebih buruk. Darren sekarang juga malah lebih perhatian padanya.
Cressida menyukai Bella dan dia menginginkan kuda itu.
"Aku akan menungganginya."
Darren menarik Bella agar menjauh. "Pakai yang lain saja. Kuda ini sudah dipilih Madeline."
Cressida hampir memberengut. Untungnya, Sean cepat menambahkan.
"Iya, Cress. Pakai yang lain saja, kuda itu cocok itu Mady."
Cressida harus menerimanya.
Setelah cukup lama berbasa-basi, mereka berempat akhirnya memutuskan untuk memilih kuda yang akan mereka tunggangi.
Sean memilih seekor kuda hitam besar dengan bulu mengkilap dan mata yang tajam. Kuda itu bernama Green—meski warnanya tidak hijau.
Darren berjalan di sekitar paddock, melihat-lihat setiap kuda satu per satu sebelum akhirnya menetapkan pilihannya pada seekor kuda coklat muda bernama Brown. Itu kuda yang paling gesit di sini.
Terakhir, Cressida memilih Chloe. Kuda betina berbulu putih yang sangat gesit.
Dengan demikian, mereka semua telah memiliki pasangan kudanya masing-masing.
Tiga orang telah berada di atas punggung kuda masing-masing. Madeline merasa agak canggung, merasa bahwa dia adalah satu-satunya orang yang tidak memiliki pengalaman dalam menunggangi kuda. Dia duduk dengan tegang di atas Bella, mencoba untuk menyesuaikan diri dengan gerakan kuda itu.
Melihat kegelisahan Madeline, Darren memandu Brown kudanya, mendekati Bella.
"Pegang tali kekang dengan kuat. Ini akan membantumu mengendalikan Bella agar tidak terjatuh. Cobalah untuk rileks dan ikuti ritme gerakan Bella. Jika kamu tegang, Bella akan merasakannya dan bisa menjadi gelisah."
"Sean sudah mengajarkan semuanya. Simpan saja tenagamu untuk bicara denganku!" Madeline menyahut ketus.
"Mady!"
"Aku tidak suka kau memanggilku begitu!" Madeline mendesis.
"Terserah." Darren mengalah. "Yang jelas, aku akan menjagamu."
Cressida, yang telah memperhatikan interaksi antara Darren dan Madeline. Mereka kelihatan dekat, meski berusaha menutupi.
Cressida perlu mengubah suasana. Dia mendekati mereka dengan Chloe, perempuan itu menyimpan rencana licik.
"Apa kalian berani balapan berkuda denganku?" tantang Cressida kepada Sean dan Darren.
Darren tampak ragu-ragu. "Tidak ada balapan. Madelin belum terbiasa menunggangi kuda."
Cressida tampak tidak peduli dengan penolakan tersebut. Dia menatap Madeline dan Darren dengan tatapan menantang. "Kasihan sekali. Gadis dari kalangan mana yang zaman sekarang belum bisa berkuda?"
Sebelum Sean atau Darren sempat menjawab, Cressida sudah memacu Chloe maju dengan kecepatan tinggi meninggalkan mereka berdua dalam debu jalannya.
Darren menggeram. Dia merutuk betapa keras kepalanya Cressida itu. "Tunggulah di sini," katanya pada Madeline. "Aku akan menyusulnya." Karena meski tampak hebat, Cressida juga masih amatir dalam hal ini.
Sebelum Madeline sempat merespon, Darren sudah memacu Brown dan berlari mengejar Cressida yang sudah jauh di depan.
Sementara itu, Sean yang sedang mencoba mengendalikan kuda hitam besar miliknya tidak sengaja membuat kuda tersebut menyeruduk bagian belakang Bella.
Bella terkejut dengan sentuhan tiba-tiba tersebut dan tanpa disadari melaju dengan kecepatan tinggi. Madelin yang tidak siap jatuh dalam posisi miring. Namun, dia masih berpegangan pada tali kekang.
Dia memegang sekuat tenaga agar tidak jatuh. Bella terus berlari, Madeline tidak bisa menegakkan tubuhnya.
"Mady!" Sean memacu Green untuk menyusul.
Darren dengar itu dan matanya membulat saat tahu Madeline sedang terancam keselamatannya.
"Hiya!" Darren mengarahkan kudanya mengejar Madeline.
Bella dengan gerakan yang liar dan cepat, melompat-lompat dan berlari tanpa arah. Gerakan tubuhnya yang besar dan kuat menimbulkan kekacauan di sekitarnya.Madeline berusaha mempertahankan kendalinya dengan berpegangan erat pada tali kekang. Wajahnya tampak tegang dan penuh ketegaran saat dia mencoba meredam gerakan kuda tersebut. Dia sudah berada posisi paling bahaya saat ini, tergantung pada satu sisi tubuh kuda."Sean!" Madeline tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama lagi.Darren menunggangi Brown dengan cepat mengarahkan kuda tersebut menuju Madeline dan Bella. Setelah berhasil mendekati, Darren memegang tali kekang Bella, menariknya kuat bertahan dengan posisi yang sangat bahaya lalu melompat ke Bella. Brown jadi berlarian sendiri, sedangkan Darren sudah berada di atas Bella.Pria itu memegang kuat tali kekang Bella, kemudian membantu Madeline untuk duduk lagi dalam posisi yang aman. Darren memegang perempuan itu erat, membuktikan dia sudah aman sekarang."Bella!" Darren memang
"Aku akan membawamu ke klinik." Cressida membantu Darren berjalan. Dia memanggil pengawas kuda untuk mengurus Brown dan juga Chloe.Ben, dokter yang ditugaskan di klinik itu cukup terkejut saat melihat Darren masuk ke ruangannya dengan bantuan Cressida. "Darren, apa yang terjadi?" tanya dokter yang cukup mengenal Darren sebagai seorang penunggang kuda profesional dan mengetahui bahwa dia sangat terampil dalam olahraganya."Dia cedera." Cressida yang menjelaskan."Bagaimana bisa?" Ben bertanya kembali."Tentu saja bisa." Cressida yang masih mewakili Darren untuk menjawab. "Hari ini dia mau jadi pahlawan bagi seorang gadis."Darren mencebik. "Mulutku tidak cedera. Masih bisa dipakai untuk bicara. Jadi, kau tidak perlu mewakiliku untuk menjawab pertanyaan Ben!"Wah, sepertinya mereka sedang bertengkar. "Mari aku periksa." Ben meminta Darren agar duduk dan dia akan memeriksa cedera tangan pada pria itu.Ben melakukan serangkaian pemeriksaan awal pada Darren. Dia memeriksa gerakan send
Madeline tiba di apartemen bersama Sean. Mereka berdiri di depan pintu apartemen, lampu lorong yang redup menciptakan suasana yang sedikit tegang."Kau mau mampir?" tanya Madeline sambil menoleh ke arah Sean. Suaranya terdengar ragu dan gugup."Kenapa harus tanya?" balas Sean dengan senyum tipis di wajahnya. Dia tampak tenang dan santai, seolah-olah memang sudah seharusnya Madeline membiarkan dia masuk. Madeline tampak ragu untuk membuka pintu apartemen. Tangannya berhenti di gagang pintu, tidak yakin apakah harus membukanya atau tidak.Sean kemudian memegang tangan Madeline. "Aku mengganggumu?" "Tidak, bukan begitu." Madeline menggeleng cepat. Segera dia tepis pikirannya dan segera memasukkan kode kunci."Ayo masuk." Pintu terbuka, Madeline empersilakan Sean untuk masuk lebih dulu.Sean pun masuk dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sofa berwarna putih yang terlihat agak kotor."Aku akan buatkan minuman untukmu," kata Madeline sambil bergerak menuju dapur kecil di bel
Madeline duduk termenung sendiri setelah Sean pergi. Dia menyadari kalau ada pria yang datang ke sini. Lantas apakah Sean juga bisa mereka kalau aroma tubuh yang tertinggal ini adalah aroma tubuhnya Darren?"Apa yang harus aku lakukan?" Madeline bergumam sendiri. Dia tidak masalah kalau Sean benar marah dan meninggalkannya. Namun, yang sudah-sudah pria itu bisa bersikap begitu baik. Ini yang membuat Madeline akan semakin merasa bersalah. Bagaimana dia harus menjelaskannya nanti jika Sean mau memaafkan? Haruskah dia mengatakannya langsung dan membiarkan hati laki-laki itu hancur lalu hubungan mereka ini berakhir?Tidak. Madeline rasa itu bukan ide baik. Sebaiknya Madeline menunggu waktu yang tepat untuk bisa menjelaskan. Pasti akan ada kesempatan untuknya dan dia akan pilih momen di mana itu tidak akan menghancurkan perasaan Sean.*Setelah melalui hari yang panjang, Cressida kembali ke rumahnya. Setidaknya, dia tahu di rumahnya yang mewah di pusat kota Manhattan, New York, akan me
Sean memegang setir mobil, termenung cukup lama. Dia memandangi mansion Darren yang megah dari balik kaca mobilnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan dan bagaimana dia harus bertindak.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sean akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menuju mansion tersebut. Langkahnya terasa berat.Begitu masuk ke dalam mansion, seorang wanita berseragam kerja berwarna putih dengan apron hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya menyambut Sean.Dia Josy. Wanita bermata biru cerah dan selalu tampak penuh semangat. Wajahnya tampak awet muda meski kerutan sudah mulai tampak di beberapa bagian wajahnya."Kakakku ada?" tanya Sean."Ada, Tuan Muda," jawab Josy sambil memberikan senyum hormat kepada Sean. Dia kemudian membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat sebelum mempersilakan Sean untuk masuk lebih jauh ke dalam mansion.Darren duduk dengan tenang di ruang santainya yang luas dan nyaman bergaya klasik Eropa, dengan dinding-dindingnya dilapisi
Madeline menemui Sean segera setelah dia menerima telepon. Mereka bertemu di taman kota. Bagi Sean, tempat itu cukup romantis dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan gemerlap di kejauhan. Pohon-pohon besar berdiri tegak, memberikan nuansa hening dan damai. Di malam hari, suasananya menjadi lebih tenang dan indah dengan pemandangan langit malam yang ditaburi bintang. "Maafkan aku, Mady," ujar Sean dengan nada serius. Madeline diam. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena Sean tidak tahu bahwa kekasih yang dipujanya ini telah bercinta dengan kakaknya sendiri.Rasa bersalah mendera Madeline. Dia tidak kuat menyimpan kebohongan ini lagi. Hatinya hancur saat membayangkan betapa sakitnya Sean jika mengetahui semua ini. Sean adalah laki-laki baik. Mencintainya tanpa syarat, dan memberikan segalanya untuk membuatnya bahagia. Dan Madeline? Dia telah mengkhianati cinta mereka dengan cara paling buruk yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu menjadi semakin dingin seiring waktu be
Madeline merasa ketakutan yang begitu mendalam saat laki-laki tersebut semakin memperketat cengkeramannya dan memutar tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar. Dia berteriak dengan maksud memohon agar nyawanya tidak diambil. "Jangan bunuh aku!"Kejutan yang tidak terduga melanda Madeline saat dia melihat wajah pria itu dengan jelas. "D-Darren?" Madeline berkata dengan suara yang gemetar, matanya masih memancarkan ketakutan yang mendalam. "Ini aku, Madeline." Dengan napas tersengal berusaha menenangkan Madeline.Madeline merasakan betapa takutnya dirinya saat itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi dan mengalir deras di pipinya. Dalam keadaan yang rapuh, dia memeluk Darren dengan kuat, seolah mencari perlindungan. Darren dengan lembut mengusap bahu Madeline. "Jangan takut, aku di sini untuk melindungimu." "Aku takut," ucap Madeline dengan suara terputus-putus, masih dalam ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dal
Cressida merasa begitu senang ketika melihat Darren memasuki ruangan. Dia segera berdiri dari kursinya, matanya berkilauan dengan antusiasme dan senyuman lebar terpampang di wajahnya.Namun, Darren tidak membalas senyumnya. Sebaliknya, ekspresi wajahnya tegang dan matanya memancarkan kemarahan yang tidak bisa dia sembunyikan. Cressida tidak menaruh curiga mengapa Darren tidak senang melihatnya."Apa yang kau lakukan pada Madeline!" Darren berteriak, suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat Cressida terkejut."Apa?" Cressida menggelengkan kepalanya, tidak mengerti. Dia menatap Darren dengan tatapan bingung."A-ku tidak melakukan apa-apa," jawab Cressida, suaranya gemetar. Dia tidak mengerti mengapa Darren begitu marah padanya. Dia berusaha mencari tahu apa yang dia lakukan salah, tetapi dia tidak bisa menemukan jawabannya. Darren menggenggam sesuatu di tangannya. Dengan gerakan cepat, dia membuka layar ponsel dan menunjukkan sebuah foto kepada Cressida. Foto itu adalah foto seoran