Halo, jangan lupa follow sosmed aku juga ya Instagram : dara_kirana21 Facebook : Dara Kirana
"Phiu!" Panggil Jasmine ketika melihat suaminya baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, Jasmine?" Lintang berjalan ke arah dimana bajunya sudah disiapkan oleh wanita itu. "Jasmine lagi?" keluhnya jengkel. "Ada apa, Mhiu?" Lintang meralat ucapannya, tidak ingin merusak mood ibu hamil tersebut. Jasmine tersenyum senang mendengarnya. "Ayo kita ke rumah sakit!" "Kau sakit? Apa kandunganmu …." Lintang menjeda kegiatannya mengenakan baju, lelaki itu menatap sang istri yang duduk di ujung tempat tidur. "Tidak, aku tidak sakit. Kak Jenar sudah melahirkan." "Bagaimana kalau kau dan Mba-mu saja yang pergi, nanti …." "Tidak mau!" tolak Jasmine dengan jengkel, "Kenapa sih, wanita mandul itu harus ikut?" batin Jasmine. Lintang mengernyitkan dahi dengan reaksi istrinya tersebut. "Maksudku Phiu juga ikut, masa Mhiu dan Mba Embun berdua saja, seperti tidak punya suami saja!" Alibi Jasmine setelah sadar apa yang ia lakukan. "Apa pekerjaanmu lebih penting dari pada aku dan anakmu? Apa
Setelah selesai membeli hadiah, Embun kembali ke tempat dimana Lintang menunggu. Wanita itu merangkai kata-kata untuk menjelaskan masalah Jasmine. Sesampainya di tempat tujuan, Embun tidak menemukan Lintang, ia celingukan mencari keberadaan sang suami. Namun, lelaki tersebut tidak terlihat. Embun langsung saja keluar dari pusat perbelanjaan dan menuju parkiran, karena berpikir Lintang dan Jasmine sudah duluan. Tidak lama kemudian Lintang muncul dengan Jasmine yang bergelayut manja di lengannya. Tidak bisa dipungkiri Embun sakit melihat pemandangan itu, tetapi tidak bisa melakukan apapun. Setelah Jasmine masuk ke dalam mobil, Lintang berpamitan pada Jasmine untuk bicara sebentar dengan Embun. Jasmine jengkel, tetapi tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah. "Apa sih, Phiu, eh Mas Lintang! Mau berduaan dengan wanita mandul itu!" gerutu Jasmine sambil melirik Embun dan suaminya yang melangkah menjauh. "Ada apa, Mas?" Embun bingung karena Lintang menariknya kasar, bahkan tidak peduli
Embun Melangkah gontai menuju kamar yang sudah diberitahukan oleh suaminya. Lantai rumah sakit itu terasa seperti berduri, langkahnya terasa sakit dan berat tatkala ruangan Jenar semakin dekat. Jantungnya berdebar-debar dan perasaan campur aduk. Embun tidak langsung masuk, ia mengatur napas terlebih dahulu sebelum bertemu dengan orang-orang yang mungkin akan membuatnya semakin terluka. Ingin rasanya ia menghindar, tetapi realita memaksanya masuk ke dalam lingkaran Berduri itu. "Ya ampun … lucu sekali!" Terdengar suara bu Inggrid memuji bayi Jenar. "Gembul, Mama gemas!" lanjut wanita paruh baya itu."Dia tampan sekali seperti Papanya," tambah pak Yolan. "Tapi, diperhatikan wajahnya lebih mirip sama mamanya," imbuh bu Inggrid. "Dia tampan seperti Opanya." Pak Wijaya tidak ingin ketinggalan, disambut gelak tawa oleh orang-orang sekitarnya. "Ya, ya, dia memang cucumu," tukas bu Inggrid. "Duh, Mama tidak sabar menunggu cucu kita segera lahir, Pa. Pasti lucu juga!" tambah wanita paruh
Mata Embun terbuka saat mendengar pintu kamarnya diketuk, padahal ia sangat mengantuk. Wanita itu menyingkap selimut dan turun dari ranjang, menyeret langkah dengan malas menuju pintu. "Mas Lintang," ujar Embun dengan mata yang malas terbuka, "ada apa?" lanjutnya. "Embun masuk rumah sakit, dia diare," kata Lintang membuat mata wanita itu terbuka sempurna, rasa kantuknya lenyap seketika. "Masuk rumah sakit? Diare?" ulang Embun sambil mengerutkan kening. "Iya …." Ucapan Lintang terpotong karena tiba-tiba Jasmine datang dan menyela. "Mba kasih minum apa keponakan saya tadi siang?" imbuh Jasmine sambil melipat tangan di dada, wanita itu memperkeruh suasana. Lintang hanya diam, hati Embun perih. "Hanya air mineral," jawab Embun singkat. Ia jadi merasa bersalah karena tadi siang sudah mengajak anak itu pergi ke kantin. "Kalau hanya air mineral tidak mungkin bisa diare!" "A-aku tidak tahu," jawab Embun. "Kenapa bisa tidak tahu, bukannya kau yang membawanya membeli minum tadi?" tanya
"Heh Wanita mandul, kalau jalan pakai mata!" sarkas bu Riana yang merupakan ibu Eros dengan tatapan bengis. "Ma, jangan teriak-teriak ini rumah sakit," ujar Eriska yang merupakan adik Eros mencoba menenangkan sang ibu. "Sini kamu!" tiba-tiba bu Riana menarik lengan Embun dan menyeretnya ke tempat yang agak sepi. Amarahnya meledak-ledak melihat mantan menantunya itu, apalagi setelah mendengar cerita Jenar semalam. "Kau apakan cucuku? Katanya kemarin kau yang membawanya pergi?" sembur bu Riana. Embun terdiam, bingung harus menjelaskan seperti apa lagi. Sebab, mereka semua tidak percaya dan menganggap dirinyalah sebagai penyebab putri Eros diare. Terlebih, wanita paruh baya itu memang tidak menyukai Embun. Sudah pasti, apa pun yang keluar dari mulutnya akan tetap salah. .Embun tidak menyangka hanya karena sebuah hal kecil yang ia lakukan kemarin justru berbuntut panjang seperti ini. Ia dituduh sana sini. "Jawab! Kenapa diam saja?" Bu Riana mendorong lengan Embun membuat tubuh Embun
Pukul empat sore Embun pulang, sebelum masuk ke dalam ia menarik napas panjang terlebih dahulu, terasa berat ingin melangkah ke rumah yang kini terasa sempit. Sejujurnya ia sangat malas untuk pulang karena tempat itu tidak lagi nyaman untuknya. Embun cukup terkejut mendapati Lintang tengah bersantai seorang diri di ruang keluarga. Ia bertanya-tanya dalam hati, ada apakah gerangan sang suami sudah berada di rumah di jam yang tidak biasanya lelaki itu kembali. Cemburu mulai merasuki hati Embun, ia berpikir Lintang pulang cepat karena merindukan Jasmine dan calon anaknya. Wanita itu tersenyum getir mengenang nasibnya. Jika saja dirinya bisa hamil pasti setiap saat ia akan dirindukan oleh suaminya, betapa bahagia hidupnya andai itu terjadi. Embun menggelengkan kepala menepis bayangan yang tidak mungkin menjadi nyata. Embun menetralkan hati dan perasaan kemudian mendekati suaminya. "Mas kok sudah pulang? Tumben?" Lintang hanya melirik sekilas pada sang istri membuat hati Embun tersay
Embun melajukan mobil menuju rumah peninggalan orang tuanya, malam ini ia ingin menginap di sana. Mencari ketenangan lewat kenangan yang melekat di tempat itu. Air mata Embun tidak bisa berhenti untuk keluar seraya otaknya terngiang-ngiang perkataan Lintang tadi sore. Hatinya sangat sakit. Dari apa yang diterimanya hari ini, kata-kata dari mulut Lintanglah yang paling sakit. Sesekali tangannya menghapus air mata yang membuat pandangan buram. "Kenapa, Mas? Kenapa? Tidak bisakah kau menjadi rumah yang nyaman lagi untukku? Kalau memang tidak bisa, untuk apa aku tetap berada di sisimu," racau Embun sambil menyetir. "Tapi mengapa kau tidak membiarkanku pergi? Apakah hanya dirimu saja yang berhak bahagia dan aku tidak?" tambahnya pedih. Embun menepikan mobil di pinggir jalan karena jarak pandangnya terganggu akibat air mata, fokusnya juga hilang. Embun menangis tersedu-sedu, sesekali ia memukul-mukul dada yang terasa menusuk-nusuk. Tiba-tiba muncul sebuah ide di kepala Embun yang perla
Aku pasti menemukan buku itu dan kupastikan kita akan segera bercerai, Mas!" gumam Embun menatap pantulan dirinya di cermin setelah membenahi rasan wajah. "Sudah cukup, Mas! Aku tidak mau lagi bertahan dalam kubangan derita," tambahnya. Embun meraih tas dan keluar dari kamar. Dari anak tangga ia melihat sang suami dan Jasmine sedang sarapan bersama. "Egois!" Embun berdecih dan langsung melesat menuju mobil, tidak ingin bergabung dengan suami dan madunya. "Bisa-bisanya kau mengatakan kau mencintaiku dan menerima apa adanya, sementara yang terjadi sekarang adalah bukti bahwa yang kau katakan tidaklah benar," monolog Embun sambil fokus menyetir. Embun memejamkan mata sejenak menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, mengurangi sesak yang bersarang di rongga dada. "Tuhan, beri aku kekuatan."*****Lintang meraih gagang telepon dan menekan nomor yang menghubungkan ke ruangan sekretarisnya. Setelah menutup telepon kepalanya terasa berat. Lintang menggelengkan kepala dan mengerjapkan