Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila di atas rata-rata.
Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya dipenuhi dengan chat dari Victor.
“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya yang sudah bersikap seperti anak keci
HARI belum berganti, masih pukul 23.49, tetapi Aini sudah gelisah karena mengingat Victor, di ranjangnya segera turun. Berkaca memandang wajah yang kusut. Seharusnya dia tidak terlalu cepat menerima seorang Victor dan berkencan semudah itu, dan seolah sekarang seperti permainan, dia membenci situasi yang kini menjebaknya. Aini mencintai Victor itu harus diakui olehnya. Namun, cinta itu tidak mungkin bersatu, saat mengingat dirinya bukanlah perempuan biasa. Dia terlahir dari rahim bangsawan yang menuntutnya untuk menikah sesama bangsawan pula. Gadis itu memakai celana pendek Adidas abu-abu baju kaos kebesaran kesukaannya, keluar kamar, mencari angin di depan teras. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di depan mengamati pemandangan lampu-lampu Kota Medan sambil memegang secangkir kopi.Ketika dia memikirkan cara untuk mengusir bayangan Victor, sebuah notifikasi berdering di hanphonenya. Dia menaruh asal cangkir di meja lapuk, dan mengambil hp-nya dalam
Sonya membukakan pintu untuk Aini, perlahan Aini keluar dari mobil dibantu oleh Sonya, sesaat hawa dingin menyergab tubuhnya. Dibimbing Sonya gadis cantik itu masuk ke dalam indekostnya. Menghenyak badan di atas ranjang sederhana, Aini meringkuk melawan rasa nyeri dibagian kepala."Son, dingin banget," Aini mengingau terus meringkuk di bawah selimut"Ya, aku tau ... maka lu harus minum obat dulu," Sonya menyalakan teko pemanas air mengambil gelas dan menuang air hangat,"Ain, lu jangan main-main. Ini masa pandemi, lu gak berniat menularkan untukku, kan?" cerocos Sonya sudah sangat dipahami oleh Aini. Gadis itu bangun sedikit mengulum senyum, jujur untuk saat ini ia tidak punya daya untuk membalas Sonya. Patuh dengan menelan beberapa tablet pereda sakit, Aini merebahkan badannya kembali. Cuaca tampaknya tidak begitu menentu belakangan ini, mengingat bulan pancaroba sudah mulai masuk. Kini, peralihan musim kemarau ke hujan mulai terasa. Bahkan, ses
Tiada terasa hari berganti, seolah waktu enggan berhenti. Sebagaimana mestinya perjalanan akan berputar mengikuti porosnya roda dunia. Dari hulu sampai ke hillir semua bergelombang bak riak menggapai dataran. Hari ini, Dokter sanjaya seorang spesialis penyakit dalam sedang melakukan fisid pembuka pagi sebagai rutinitas setiap paramedis yang bertugas di rumah sakit Bakti Husada. Paruh baya tersenyum ramah dengan alat tetescop mengalungi lehernya. Beliau menyapa Aini dengan sedikit menggoda gadis bangsawan itu "Selamat pagi? Aini.. saya harus kasih resep apa ini.. kayaknya obat-obatan saya sudah gak mempan," Aini tersipu terliat rona merah bercampur semu di pipinya. "Resep dokter itu saya sempurnakan, biar lebih mujarab, dok." Timpal Victor berdiri membungkuk di kaki Aini. Tak dapat dipungkiri, rasa itu sulit ia lukiskan "Paan, sih kamu?" Aini malu-malu,"Jadi saya tidak perlu periksa lagi nih. Auto sembuh? padahal baru satu hari loh?"
"Aini.." panggil Sonya disela rebahan di atas ranjang Aini"Em.." saut Aini suaranya terbungkap karena posisi gadis itu sedang menelungkupkan tubuhnya di kasur"Lu yakin ... dengan keputusan lu?" seru gadis berdarah Batak-Jawa itu gelisah. Entah kenapa sejak Victor tergila-gila sama Aini, Sonya merasakan hawa kekhawatiran pada diri Victor. Mengingat Aini akan segera tamat, dan kembali ke kampung halamannya? maka malapetaka besar akan menimpa Victor. Aini mengerjab membenam separuh wajahnya di bantal. Ia sedang berfikir apa maksud Sonya, walaupun ia tau, namun makna yang tersirat membuatnya susah menjawab."Maksud lu apa? gua ngantuk Son.. lu tidur napa?" Kilah Aini menyeret topik. Jujur untuk saat ini Aini belum memiliki jawaban apa pun untuk status hubungannya dengan Victor"Lu cinta gak sih, ama Victor? aku heran, Son. Victor kok sampai tergila-gila kayak gitu ya sama ellu, padahal dia udah tau! lu bakalan pergi setelah kuliah selesai," ucapnya menatap
Aini menatap datar sosok asisten dosen yang terkenal dengan kepintaran dan ketampanan di atas rata-rata di kampusnya.Laki-laki itu duduk menyender tubuh pada dingding sofa di sebuah diskotik yang biasa dikunjunginya. Aini menaut kedua alis melihat sekeliling ruangan. Suasana terlihat sepi pengunjung namun lampu disco tidak berhenti berputar menyilaukan cahaya ke sudut-sudut ruangan. Beberapa orang pelayan sedang duduk bersantai di dekat meja bar sambil tubuhnya bergoyang mengikuti irama musik. Aini bergidik memperhatikan pakaian seorang pelayan wanita berambut kuning bergelombang. Busana ketat melekat di tubuh gadis itu sudah sangat jelas memancing gairah para lelaki. Pakaian yang tipis setipis urat malu itu mengekspos bagian dalam milik gadis berambut peran membuat Aini merinding disco."Vic. Ngapain kemari?? kamu gak salah membawaku ke tempat ini, Vic." Bisik Aini di samping Victor. Pria itu memutar bola mata seraya memeluk pinggang Aini. "Te
Sering gadis itu mempertanyakan setiap kali membayangkan ketika sedang bertapak pulang ke rumah sehabis dari kampusKira-kira, sosok laki-laki seperti apakah yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak nanti? Apa laki-laki itu dari kaum bangsawan juga. Atau Victor? tapi Rafli melarangnya menikah dengan selain kaum itu. Mimpi setiap orang adalah, menikah dengan seorang aktor seksi favoritnya seperti di film yang ceritanya selalu bikin cewek-cewek histeris. Namun dia gak sampai separah itu. Mendambakan seorang laki-laki yang seenggaknya bukanlah seorang pemabuk. Minimal pria baik-baik. Atau, sosok laki-laki yang mungkin punya kriteria dan memenuhi sebagai calon suami.Aini sampai di rumah langsung membuka pintu kos-kosannya, lalu membanting tubuh di atas ranjang. Ia mengerjab mata menatap langit kamar. Dalam lamunan yang sama ditemani suara percakapan acara televisi—yang sebenarnya sudah menyala sejak tadi pagi—dia lupa mematikannyaBagaima
Jumat sore yang cerah dimana langit terlihat biru, matahari di ufuk barat berwarna keemasan serta beberapa kawanan awan putih transparan hilir mudik tertiup angin.Hiruk pikuk kota tiada berhenti meskipun masa pandemi terus digaungkan melalui PPKM. Proses belajar mengajar secara daring diterapkan dibeberapa daerah termasuk Medan sendiri. Namun khusus pasca S2 sedikit diberi kelonggaran.Aini berjalan keluar kelas psikologi karena jadwalqq kuliah telah habis. Jam menujukkan pukul tiga lebih dua puluh menit.“Aini.....” Sonya berteriak sambil melambaikan tangan kearahnyaAini tersenyum getir dan berjalan bergegas menghampirinya.“Son...”Sonya mendekat menggapai tangan Aini dan membawanya ke sebuah tempat yang tidak terlalu jauh dari gedung pasca sarjana. Setiap membayangkan Sonya, terkadang Aini iri, Sonya yang selalu periang dengan tubuh ramping bermata sipit, tinggi badannya sekitar seratus enam puluh cen
Arloji mewah di tangan Sonya menunjukkan angka 12 tepat. Mereka tiba di resto yang menjadi favorit Sonya akan lezatnya nasi goreng seafood. Mereka mengambil posisi tepat di tengah-tengah restoran dan itu sedikit risih dirasakan Aini. Namun sepertinya gadis itu lagi kurang mood untuk berkomplain."Gimana hubungan kalian, Ain.."basa-basi Sonya ketika ia melihat Aini lebih banyak diam dari biasanya. Aini menatap Sonya datar. Ia menghela nafas berat serasa sesak di dadanya."Aku gak tau, Son. Masih seperti biasa," tutur Aini menegakkan tubuhnya ke dingding kursi. Sonya meneliti raut Aini yang terlihat sedikit pucat. Sebagai sahabat mungkin ia bisa merasakan kegalauan Aini saat ini."Cobalah lebih tenang, Ain.. semua butuh proses," tandas Sonya lalu mengambil bolpain mencatat pesanan.Aini mengedar pandangannya menyaksikan kesibukan restoran oleh pelayan berlalu lalang melayani pengunjung. Dan, tak sengaja ia menangkap seseorang di sudut kiri