"Bang, Hendra nangis, bangunlah! apa tidurmu mati, tidak bisa mendengar suara tangisan anakmu."
"Iya, Mey? tapi kamu kan ibunya?" "Dengar ya, bang. Aku tidak ada waktu mengurusnya sekarang. Kerjaanku banyak dan aku harus segera berangkat ke kantor. Terserah abang, aku capek." Kebiasaan pagi yang begitu dramatis di mana sepasang suami istri yang selalu saja bergelut dengan dilema dalam mengurus anak. Meylan keluar dari kamarnya dengan membanting pintu sekuat tenaga. Sementara di dalam. Hendra menangis sampai mata cipitnya tertutup rapat. Sungguh miris nasipnya, masih kecil aja ia harus mengemis kasih sayang dari ibunya sendiri yang lebih memilih pekerjaan dari pada dirinya.Halim sang Ayah bangkit dari pembaringannya dengan mata masih mengantuk. Ia mendekati rice box bayi di mana Hendra masih menangis kencang. Pria berambut blonde itu menatap perih kondisi putranya, lantas ia menggendong dan menidurkan di pundaknya sambil membacakan selawat aga
Aini nampak murung pasca dua hari yang lalu kejadiannya dengan Halim. Ia lebih banyak diam dari pada berbicara. Paling barter kalau mamanya nanya, itupun, lama jawabnya. Entahlah, kejadian itu semakin memforsir pikirannya memikirkan tentang nasip. Buruknya yang dilalui gadis itu karena telah menjadi orang yang paling hina sehingga Halim tega melecehkannya. Kadang, hari ini ia mengakhiri semuanya dengan menggantung diri. Namun, ia menormalkan pikiran bahwa itu hanya akan membuatnya lebih hina dari sebuah pelecehan. Pagi ini, ia berniat pergi ke suatu tempat dan akan tinggal beberapa hari di sana untuk menenangkan diri. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Lagi-lagi Meylan menitipkan Hendra padanya biarpun ia menolak. Meylan gak perduli dengan menaruh Hendra di ayunan setelah itu perempuan itu pergi gitu aja. Aini mendengus, merasa kesal yang tidak ada artinya. Ia hanya sendiri di rumah. Sementara yang lain pada pergi melakukan aktivitas masing-masing. Aini termenung menatap Hendra yang t
"Ain, nanti malam wak Omar dan keluarganya datang bertamu ke rumah kita." Aini menatap dingin sekilas wajah Rafli tanpa niat berkomentar. Ia menelan perlahan makanan dalam mulutnya sambil berpikir siapa orang yang dimaksud papanya"Iya, sayang? om Omar sudah lama nggak berkunjung ke tempat kita," tambah Kartini membenarkan. Suasana meja makan lengang seperti biasa. Hanya ada Anggraini dan kedua orang tuanya. Aini meneguk air putih dalam gelasnya, tidak sedikitpun menanggapi"Kamu bersiaplah, karena mereka datang melamar kamu untuk putranya. Dia Febby Irawan, anaknya santun berpendidikan," jelas Rafli santai tak berusaha melirik Aini. "Om Omar satu garis nasap dengan kita, jadi kamu tidak perlu ragu," lanjut Rafli sambil membilas tangannya dalam koboan. Aini menatap bergiliran pada wajah yang mulai menua itu dengan perasaan gundah. Ia tau dirinya sedang dijodohkan, dan baginya itu tidak masalah. Namun, ia belum tau apakah lelaki yang bernama Febby itu bisa menerima dirinya yang sudah t
Aini menelentangkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Matanya sayu menerima jilatan cahaya lampu tepat di atas mukaknya. Gadis itu terhenta, pasrah dan menyerah. Keputusan satu jam yang lalu begitu perih menggores hatinya. Akan kah, ia rela ditunangkan? sementara, Febby saja tidak menginginkan perjodohan ini.Mirisnya, kisah hidup anak-anak cucu Syahbandar karena harus menikah dengan sesama bangsawan yang malah mereka sendiri punya pilihan masing-masing.Terkadang, Aini menyesal telah meninggalkan Victor demi orang tuanya, dan seandainya ia bisa memutar waktu, ia ingin mengulang semuanya dari awal. Lah! penyesalan selalu datang di akhir, pikirnyaSelanjutnya, Aini bangun melepas semua pakaian dan menggantikannya dengan setelan piama. Ia ingin tidur, ingin meneggelamkan semua permasalahan hidup yang tiada akhir. Namun, sebelum itu ia mengetik sesuatu di hanphonenya dan mengirim pada seseorang agar menunggunya esok, setelah i
Anggraini menatap cakrawala di atas permukaan air laut. Mematri tanpa batas sampai pandangan tersapu angin. Perputaran arah dari berbagai penjuru menyisir gelombang ke tepi pantai.Satu jam berlalu, dara manis nan rupawan itu telah kembali, namun ia tidak langsung ke rumah Reyhan. Melainkan singgah di pantai beutari. Pantai yang selalu jadi ajang curhatannya."Jadi, ini alasan kamu meninggalkan anak saya? saya pikir ... kamu wanita terakhir untuk Victor. Ternyata, wanita baik-baik juga bisa berhianat."Tuduhan itu terus terngiang di telinga Anggraini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sandreas, papanya Victor. Tapi, ada urusan apa papanya ke Nanggroe? Apa segitu luasnya jaringan Beliau? pikir Aini."Huuuf'Nafas panjang dihembus kasar. Desah keluar melalui rongga dada, saking sesak membayangkan masa lalu yang sudah ia kubur terkuak lagi."Kamu tau, anak saya ke sana ke mari mencari kamu. Bahkan, Victor nekat data
Anggraini tiba di rumah megahnya setelah sepekan lamanya gadis itu menemani Reyhan sahabatnya. Ia menaruh motor pada tempatnya, lalu bergegas ke kamarnya di lantai atas.Anggraini juga tidak perduli dengan suasana rumah yang sepi. Ia hanya melihat sekilas melalui celah pintu yang sedikit terbuka, di sana Halim sedang menimang putranya. Aini berhenti sejenak sambil berpikir setelah itu ia mengidik bahu dan naik ke atas.Meniti cepat anak tangga, Aini sudah nggak sabaran sampai di kamar. Sedetik setelah sampai, ia menghempas tubuhnya menelungkup, dan membenamkan seluruh jiwa dan raga. Di sana tumpah ruah air mata membasahi bantal dan spray. Ia hampir lupa cara mengendalikan emosi dalam jiwanya, hingga tangisannya pecah, sepecah-pecahnya.Suaranya akan tersedu ketika mengingat, khabar Victor mencarinya sampai ke Nanggroe. Di bagian itu, Aini di dera rasa bersalah. Bukan soal cinta, tapi perkara janji yang teringkar. Mereka punya janji kuat, pun it
Dari jauh. Penampakan kediaman Rafli tampak selalu sunyi. Dan, yang orang-orang ketahui! rumah itu tidak berpenghuni bila di siang hari. Namun, siapa yang tau. Di dalam sana ada seorang wanita yang hidupnya telah hancur. Keturunan pertama pasangan Rafli Syahbandar dan Kartini Majid. Mereka sama-sama terlahir sebagai kaum bangsawan terhormat.Dan, hari ini. Anggraini berniat keluar sebebentat untuk menghirup udara segar berjalan-jalan keliling kampung. Gadis itu sangat cantik meskipun sedikit pucat. Mata bulatnya terlihat kelam seakan menyimpan sejuta misteri.Ia berdandan sederhana, namun penampilan sangat memukau. Heran! apapun yang dikenakan Aini, selalu pas dan cocok di tubuhnya. Sekarang, ia memadukan T.shirt dengan Jeans sedikit jombrang, kerudung pashmina ia sangkut gitu aja. Tapi hasilnya sungguh mempesona. Bibir merah bak kelopak mawar hanya diberi lips glouse, bedak seadanya.Aini berjalan keluar, dan waktu ia membuka pintu? sosok pria tampa
Keadan begitu cepat berubah. Entah sadar atau enggak, gadis bernama Anggraini telah tergelincir oleh waktu. di mana, harga diri tak lagi menjadi pertimbangan baginya sejak Halim terus menerus menggodanya sampai pada titik kehormatan itu jatuh pada laki-laki yang berstatus sebagai adik ipar.Tiada yang tau jalan hidup seseorang. Mirisnya si wanita bangsawan, bukan berjodoh dengan pria sepantaran nya, malah terjebak dalam skandal adik ipar. Tapi kenapa? Aini rela berbuat, bahkan berkhianat pada Meylan adiknya. jawabannya adalah; Aini sendiri juga bingung. Karena ketika ia sadar, semua telah terjadi seperti di luar keinginannya.Mungkin ia prustasi. Atau mungkin buntu dengan kenyataan hidup selama ini. Serba salah, dan mungkin juga karena putus asa. Tapi, pagi ini Halim berniat mengajak Aini ke suatu tempat. Kira-kira apa tanggapan Aini, secara kalau sampai ketahuan Rafli, mungkin nyawa keduanya menja
Perputaran waktu kian tajam bak pedang menghunus masa. Kepingan hidup bagai kerak lempeng kian bergeser semakin mengangga. Seiring fakta kian terkuakBerbagai kejadian mengalir di kepalanya, memori demi memori tersimpan rapi dalam bentuk serpihan dosa. Perempuan yang diberi sandangan bangsawan itu semakin terpuruk dan berlumuran dosa. "Stop, Lim. Stop, aku tidak menginginkan ini lagi, tolong berhenti melecehku!" Suara bercampur erangan. Saat ini, Aini sedang berusaha menolak sentuhan Halim, di mana pria itu sudah tidak menjamahnya selama sepekan. Aini meronta, namun lebih mendominasi dalam bentuk desahan. Halim tidak perduli membabi buta menyerang dan menyobek kaus tipis yang dikenakan gadis itu malam ini. Ia tidak menyangka, Halim akan menemuinya lagi setelah sepekan menghilang. Sempat merasa lega. Tapi, lihat kini. Ia dihimpit kuat di dinding kamar dengan rentangan tangan dibawah tekanan lengan kokoh Halim. "Ain, ayolah, bukan kah, kamu juga menikmatinya. Sudah lama kita tidak me