Share

Terbelenggu

kegelisahan melingkupi hati Anggrani saat ini. Gadis itu tak berhenti meremas ujung tuniknya  melampiaskan segala rasa tentang hubungan yang kian rumit meskipun, tangan kekar Victor terus mengelus punggung dan menguatkannya dengan sebuah belaian. Kisah yang sudah di ujung tanduk semakin membuat Aini tersesat dalam dilema rasa akan sebuah keputusan.

"Kamu harus yakin, Tuhan akan mempersatukan kita, emn.." ucap Victor meraih kedua tangan Aini dan mengecupnya dalam. Kesedihan mereka di saksikan oleh dedaunan yang bergoyang oleh terpaan angin malam. Entah apa yang membuat Aini hingga ia belum merencanakan untuk pulang ke kosannya. Rasanya enggan meninggalkan Victor saat ini, apalagi ia baru dapat kabar Rafli papanya, juga tidak pulang karena menginap di rumah temannya.Jadi, memanfaatkan kesempatan itu untuk menghabiskan waktu bersama kekasihnya. 

Aini menarik nafas panjang seraya memandang bulan purnama yang mulai menerangi langit malam. Ia terkesima dengan sinar indah, namun menatapnya pongah. Sesaat ia menunduk melihat jari manisnya yang kini tersemat cincin permata merah delima pemberian Victor pada malam  pelamaran waktu itu. Sebenarnya, cincin itu sudah dikembalikan Aini pada Victor setelah tragedi penghinaan atasnya gara-gara ia pergi dengan laki-laki yang bernama Elang. Dan barusan, Victor menyematkan kembali cincin itu di jari manis Aini sebagai bukti bahwa Aini miliknya sampai kapan pun, walau jurang pemisah kini terbentang di hadapan mereka. Ia mengelus permata itu dengan tubuh berdesir hebat disaksikan Victor. Pria itu memperhatikan wanitanya masih diam tak menjawab sepatahpun membiarkanya dalam kebingungan, apa sebenarnya yang dipikir Aini. 

"Vic?" 

"Emm.."

setelah keheningan beberapa saat, akhirnya Aini mengeluarkan suara yang begitu merdu terdengar di telinga Victor. Darah pria itu berdesir melahirkan kerinduan yang ingin segera ia tumpahkan.

"Aku lelah. Boleh? malam ini aku beristirahat di rumahmu," ujar Aini bernada berat. Ia menyembunyikan wajahnya dari Victor untuk sekedar menutupi rasa malu atas permintaannya. Victor mengulas senyum bahagia dan meraih lagi tangan gadis pujaannya.

"Aini. Ini rumahmu juga, kamu tidak usah berkata seperti itu, karena setalah menikah nanti? kita akan tinggal di sini membangun mahligai yang indah dan sakral, Insya Allah. Semoga Allah merestui kita," Jawab pria itu sambil melihat sekeliling halaman rumah megahnya yang hanya dihuni oleh dirinya sendiri. Aini menatap sejenak wajah lelaki di depannya dengan rasa bersalah kian menyesakkan dadanya. "Vic. Maafkan aku. Besok aku akan kembali ke orangtuaku." 

"Ya, sudah. Sekarang kita masuk ya? ini juga udah mau isya'. Yuk, aku antar ke kamar?" ajak Victor meraih bahu Aini membimbing gadis itu masuk. Dia menangkup posesif pinggang ramping Aini berjalan melewati pohon-pohon buah diiringi pantulan cahaya bulan purnama di langit nan lepas. 

"Nah, kamu istirahat di sini aja ya? gak usah sungkan? anggap saja ini kamar kamu, emm.." Victor membawa Aini ke sebuah kamar yang bernuansa biru lembut. Kamar yang di isi oleh perabotan mewah, ranjang king sed yang dilapisi sprai Biru soft tertata rapi tak terjamah. Lemari pakaian berdiri di sebelah kanan rajang berwarna senada serta sebuah lampu tidur kristal di letakkan di atas nakas sedang menyala menerangi remang suasana. 

"Vic, emang ini ... kamar siapa? gak apa-apa aku---"

"Gak, sayang. Ini kamar mama aku kok. Dulu, almarhum mama pernah bilang. Kalau suatu saat aku nikah. Mama ingin kamar ini dijadikan sebagai kamar pengantin. Aku juga gak tau, kenapa mama ngomong kek gitu. Padahal, waktu itu mama sehat-sehat aja," Victor mengantungi kedua tangannya sambil menatap ranjang milik almarhum sang ibu yang selalu tertata rapi padahal ia hampir tidak mengunjunginya. 

"Ain, sini." pria itu memanggil kekasihnya yang masih berdiri di pintu sementara dirinya sedang membuka lemari pakaian ingin ia tunjukkan pada Aini. Semua pakaian tesusun rapi di dalamnya.

"Kamu ganti baju ya, ini ada baju piama punya mamaku. Kamu pakai aja gak papa." Dia meraih tangan Aini untuk melihat susunan pakaian itu. Sejenak Aini tertegun menatap isi dalam lemari itu. Barang-barang  milik ibunya Victor dari perhiasan sampai tas tas branded bermerek masih utuh dan terawat.

"Ain. Kelak, kalau kita sudah menikah nanti ... semua peninggalan mama menjadi milik kamu dan kamu boleh memakai apa saja yang kamu sukai, emm.." ucap Victor menangkup kedua bahu Aini lembut. Laki-laki itu menatap gadis pujaannya dengan senyum tulus menghias bibir tipisnya.

Aini menelan ludah tercekat di kerongkongannya. Ia membalas tatapan itu dengan kosong. Pikiran Aini tersesat dalam lumuran dosa dan kebersalahan atas harapan yang telah ia sematkan di hati Victor hingga kini tenggelam dalam muara yang begitu dalam.

"Hey? kamu gak apa-apa, Ai... "

"Hiya, aku gak gak papa. Sori, aku ... aku ... " pungkas Aini kebingungan. Gadis itu mengulas senyum getir ketika tak ada lagi kata-kata yang ingin ia sampaikan. Victor sudah membuktikan segalanya, bahkan pria itu merelakan semua peninggalan sang bunda untuk Aini sebagai mana itu semua keinginan nyonya Andreas semasa beliau masih hidup. 

"Kamu tau, Ain. Dulu, mama sangat mengharapkan Salsa menjadi menantunya. Tapi---"

"Tapi, kenapa?" jawab Aini cepat. Gadis itu tersentak, "jadi, benar? Salsa mantan tunangnnya, kamu." Batin Aini.

"Dulu. Aku dan Salsa pernah bertukar cincin di depan mama, dan itu kulakukan supaya Salsa percaya kalau aku gak main-main dengan dia." Victor diam sesaat dan melangkah mendekati sebuah jendela yang di tutupi tirai berwarna biru motif bunga-bunga. Ia menyingkap tirai tersebut hingga menampakan pemandangan kolam dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran. Aini memperhatikan punggung kekar kekasihnya dengan hati tersentil sakit. Dalam hati ia semakin bersalah karena setelah ini, dia orang pertama yang akan menabur garam di atas luka lama Victor. Tiba-tiba, tubuh Aini berdesir kuat serasa otot-ototnya lemah tak mampu menopang lagi. Ia semakin terpojok dengan situasi saat ini. Berapapun ia berusaha mengontrol diri, namun percuma! Akhirnya gadis itu luruh terduduk di ranjang empuk itu dengan satu tangannya menekan kesesakan di dadanya. Sementara Victor tidak menyadari apa yang dengan Aini di belakangnya, karena ia terus menceritakan kilasan masalalunya dengan Salsa dan sekilas tentang kematian sang bundanya. 

"Salsa pergi dengan pria lain, Ain. Sejak itu, aku berpikir tidak ada wanita yang bisa kupercaya selain mama, dan ternyata mama juga pergi ninggalin aku. Waktu itu aku gak sangup lagi menghadapi hidup sendiri. Mamaku meninggal karena serangan jantung mendadak, dan itu gara-gara aku selalu pulang dalam keadaan mabuk. Seandainya--"

"Aini! kamu kenapa," kata Victor ketika membalikkan tubuhnya mendapatkan Aini dalam keadaan terisak sambul meremas area dadanya. Victor meraih bahu Aini mengangkat wajah gadis itu dengan jemarinya, dan terlihat lelahan air mata dibaluti kesedihan yang sulit dijelaskan. 

"Ain?" Panggilnya lembut membuat hati Aini mengangga. Victor menyeka air yang terus berjatuhan di pipi wanita bangsawan itu dengan kedua ibu jarinya sambil mengecup kening Aini yang tertutup hijab kemudian membawanya dalam pelukan. Victor baru merasakan degup jantung Aini berserta tubuhnya bergetar hebat. Pria itu mulai panik, ia menangkup wajah Aini menatapnya dalam.

"Ain. Bilang sama aku, kamu kenapa? aku salah ya. Ya udah udah, sekarang kamu istirahat dulu? maafin aku, aku gak bermaksud membuat kamu sedih, sayang. Aku hanya... "

"Vic, aku gak, app appha." Sangga Aini terisak. Ia menarik nafas sesak berusaha menghentikan air mata yang seharian ini begitu mudah keluar dan itu membuatnya kesal.

"Ain, mulai sekarang Kamu janji sama aku," Deg. Jantung Aini berdetak sontak ia menatap Victor bingung

"Maksud, kamu ..." sengau Aini menyeka hidupnya dengan tissu di tangannya. Victor mengulum senyum menawan dan menankup kembali kedua pipi halus Aini membuat jarak yang sangat dekat

"Kamu harus janji tidak akan seperti ini lagi. Kamu harus selalu tersenyum untukku, Ain. Karena kamu penyemangat hidupku, nafasku." 

Keduanya terkunci dalam tatapan syahdu saling merasakan degupan jantung yang dipacu mengejar kerinduan tak ingin terpisahkan. Dan, semenit kemudian keadaan berubah menjadi romantis. Victor membawa kedua tangan Aini mengalungi lehernya, juga sebaliknya dia memeluk pinggang ramping Aini dan merapatkan ketubuhnya. Gadis itu berdesir merasakan tonjolan keras di perutnya, namun tidak berusaha menolak. Perlahan, Victor mendekatkan bibirnya pada bibir Aini dan melumatnya lembut. Aini diam menerima setiap sentuhan yang dilakukan Victor dengan lidahnya yang lihai. Remang lampu semakin menambah kesyahduan suasana percintaan mereka tanpa memikirkan apapun lagi. Aini mulai pasrah membiarkan Victor membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya dengan mata terpejam. Ia mulai pasrah, menyerah pada rasa yang menyiksa. Entah apa yang merasuki Aini hingga ia terlena terbawa dalam nafsu yang bergelora. 

Nafas keduanya kian diburu, saling memberikan sentuhan-sentuhan yang selama menjadi sebuah pantangan bagi Aini. Namun, malam ini terlalu indah untuk dilewatkan ditambah lagi keengganan untuk berpisah hingga kini tubuh keduanya polos tanpa sehelai benangpun yang menutupinya

"Kamu, yakin sayang? aku gak mau melakukannya kalau kamu tidak menginginkannya, emm.." ujar Victor merapikan rambut Aini yang acak acakan. Dan, Kini hanya tinggal selangkah lagi keduanya akan terbang ke langit yang biru menggapai kenikmatan, menyampaikan ketulusan cinta walaupun itu dalam bentuk dosa yang sulit termaafkan karena mereka belum diikat oleh pernikahan

"I lover you, Vic. Sangat," balas Aini mengelus lembut gerahang Victor yang sedang menindihnya. Ia mengulas senyum pasrah iringan dua butir bening lolos dari mata indahnya.

"I Love you to, Ain. I love you more?" seraya mengecup lama jemari lentik itu, Victor menatap sejenak siluet kepasrahan di wajah Aini membuatnya ragu. Namun, hasratnya terlanjur memuncak, dan kelelakiannya sudah mengacung ingin berlabuh di syurga milik Aini. 

Di luar, malam indah diterangi cahaya bulan purnama. Kerlap kerlip lampu kota menambah keindahan kota Medan, kota yang telah berjasa mencetak seorang mahasiswi terpandai tamat dengan prediket cumload pertama. Dia datang dengan segenap harapan dan cita-cita meraih gelar terbaik dan itu telah ia miliki. Namun, ia belum tau. Apakah dia akan kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa sebingkai kesuksesan itu? sementara Aini sedang mendesah saat Victor mengecup lembut puncak dadanya. Ia bahkan mengeluarkan suara erangan membuat Victor semakin liar menjamah setiap inci tubuh dara bangsawan itu tanpa ampun. Sungguh yang terjadi sekarang pertama dalam hidup Aini, dan dia hanya bisa pasrah menerima kecupan-kecupan maut Victor di tubuh yang tadinya suci.

"Vic...stop it, please." ucap Aini ingin berhenti namun tubuhnya terus menikmati setiap sentuhan Victor.

"Why? please, Ain. I want you so bad, honny," pinta Victor merangkak keatas tubuh Aini, dan sejenak keduanya saling menatap dalam kabut gairah  

"Aku ... aku ... " suara ini terputus karena Victor kembali menghujam ciuman di bibirnya sampai tak ada lagi kata-kata yang dapat dikeluarkan Aini. Pria itu terus melakukan aksinya, dan membuat Aini semakin tenggelam dalam gairah hingga ia pasrah ketika Victor sudah berhasil menembus selaput dara miliknya. Derai air mata membasahi pipinya membuat gadis itu hancur sehancur hancurnya. 

Aini merintih merasakan kesakitan akibat tusukan di intinya, namun itu tidak berlangsung lama karena Victor selalu menciumnya untuk meredakan rasa sakit menggantikan dengan kenikmatan dan kepuasan. 

Aini menatap hampa langit-langit kamar dengan sisa kenikmatan dan kelelahan setelah dua jam ia cumbu habis-habisan oleh Victor. Mata indah itu mengerjab, sementara Victor terus memeluknya posesif.

"Sayang. maaf, ya? aku janji kita akan segera menikah. Tolong, jangan tinggalin aku, Ain. Aku sengaja melakukan ini, agar kamu tidak pergi dariku, sekali lagi maafkan aku, sayang." Bisik Vicktor sambil menempel bibirnya di antara pipi dan telinga Aini. Aini tersadar kekosongan lalu menoleh menatap kekasihnya tersenyum pasrah. 

"Gak apa-apa kok, sayang. Aku ikhlas kok," balas Aini menampakkan kelembutannya hingga membuat dada Victor mengembang. "Maafkan aku, Vic. Cinta kita akan tumbuh, dan aku akan merawatnya untukmu," 

Selang beberapa waktu, merekapun tertidur kelelahan dalam satu selimut di ranjang suci yang kini ternodai. Mereka menutp malam dengan sebuah ciuman lembut penuh kasih sayang seakan mereka telah berhasil meraih impian. Cinta telah membutakan Aini hingga rela menyerahkan mahkota kegadisannya untuk Victor sebagai bukti bahwa dirinya sangat mencintai laki-laki itu. Namun, bukan berarti Aini tidak menyadari akan resiko yang harus ditanggungnya nanti. Tapi, tidak mungkin Aini melakukan ini tanpa alasan, bukan? apa sebenarnya yang direncanakan Ain. Hingga ia begitu tulus ikhlas memberikan segalanya untuk Victor! padahal, ia sendiri meyakini kalau hubungan tidak akan pernah direstui oleh papanya. Tentu hanya Aini yang tau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status