"Jangan pulang sebelum membawa wanita itu dalam keadaan hidup ke hadapanku, Andrew!" titah pria yang berumur 50-an itu kepada pria muda di depannya. Wajahnya terlihat pucat, karena dia tengah sakit.Pria yang disebut dengan Andrew, pria yang berumur 32 tahun, seorang pria blasteran yang memiliki pembawaan tenang tetapi tegas. Sudah 15 tahun dia bekerja dengan Adiwijaya, seorang pengusaha kaya yang memiliki harta berlimpah dan perusahaan begitu banyak di negeri ini. Namanya bukanlah nama yang asing bagi para pelaku bisnis. Dia memiliki semuanya kecuali kebahagiaan."Saya akan mencarinya dan tidak akan pulang sebelum menemukan nyonya. Saya berjanji." Andrew menunduk. "Jangan pernah kembali ke sini sebelum kau membawa wanita itu, jika dalam beberapa hari kau juga tidak menemukannya Aku tidak segan-segan akan menghabisimu." Adiwijaya yang lemah, berusaha tetap menekan dan mengancam bawahannya.Adiwijaya berteriak murka. Tapi Andrew tidak begitu terpengaruh dengan ancaman pria itu, ia han
"Apa kabar, Raras?" Raras kemudian menoleh, gerakan tangannya berhenti membuka kunci mobil. Suara tak asing itu, jelas telinganya. "Andini? Wah, lama tak berjumpa." Raras berkata serius. Tanpa senyum.Raras kemudian membuka kacamata hitamnya, Andini keluar dari mobilnya mewahnya, mengenakan gaun berwarna pastel yang cukup terbuka."Terkejut?" tanya Andini ketus.Andini terlihat pongah, Raras akui, wanita itu terlihat lebih cantik dari terakhir dia melihatnya. Entah sudah berapa tahun."Tidak sama sekali, kenapa harus terkejut?" Raras melipat tangan di dada."Kau terlihat lebih kurus dan kulitmu lebih gelap dari terakhir yang kulihat, apakah menjadi wanita biasa menyiksamu?""Apa?" Raras tertawa."Aku dengar kau tinggal di pulau terpencil. Apakah di sana begitu sulit? Sehingga kau terlihat Kumal.""Ah, yang benar saja, kau tak tau ini seksi?" Raras tertawa.Raras sebenarnya tidak ingin memperpanjang masalah dengan Andini. Karena dia sudah tidak punya urusan lagi dengan mantan kakakn
Raras meletakkan kopernya tidak sabaran. Yang pertama kali yang dicarinya adalah keberadaan Wisnu, karena ketika dia memasuki kafe, Wisnu sama sekali tidak ada di sana. Raras kemudian berlari tak sabaran masuk ke dalam kamar. Dia mendapati punggung kekar yang begitu lebar, menjanjikan sandaran ternyaman untuknya.Wisnu tengah menghadap ke arah laut, memang sengaja menunggu Raras, tapi gengsi untuk untuk menelepon lebih dulu setelah pertengkaran di telepon beberapa hari yang lalu.Tanpa bisa ditahan, kemudian Raras mendekati pria itu, memeluk tubuhnya dari belakang. Dia menghirup aroma parfum yang bercampur dengan keringat itu dengan rakus. Dia sangat merindukan pria ini, yang sudah mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat, yang memberikan kebahagiaan yang tidak pernah diberikan oleh siapapun kepada dirinya.Jemari Raras meraba dada bidang itu, menyentuh dengan lembut. Pria ini sangat dicintai, bahkan tak ada kata untuk mengungkapkannya."Apa kamu begitu marahnya kepadaku? sehi
"Jadi, percintaan yang berbeda dan panas tadi, karena kau melihat keseksian Mega?" Bagaikan disambar petir, Wisnu terperanjat dengan tuduhan Raras. "Astagfirullah, kau kenapa, Ras?"Suara Wisnu terdengar lirih, bukan sakit hati yang dia rasakan, akan tetapi perasaan merasa dihina oleh istrinya sendiri.Raras mengambil jarak menjauh dari dirinya. Wanita memang serba membingungkan."Sehina itukah kau menilai diriku, Ras?""Aku hanya ingin memperjelas, percintaan tadi terasa berbeda, kau seakan memperlakukan aku layaknya wanita lain.""Astagfirullah, Ras. Istighfar, setan tengah merasuk ke hatimu."Bukannya sadar, Raras malah semakin menjadi, hatinya sangat cemburu, saat Wisnu mengatakan, Mega memasuki kamar dengan gaun minim yang terbuka. Terbayang, kilasan Mega yang berjemur dengan bikini merah menyala di depan rumahnya barusan."Mega masuk ke kamar saat aku tak di rumah, dan ....""Tunggu!" Wisnu memotong ucapan Raras. "Dia wanita gatal yang sejak awal tidak aku sukai, aku sudah men
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib