Ringgo tersentak ketika mendengar suara Darline yang tiba-tiba memrotesnya. Semua yang hadir di sana pun menoleh ke arah pintu. Tampak di sana Darline berdiri seorang diri dengan tenang tapi sepasang matanya menyorot marah pada Ringgo yang masih bersimpuh di kaku Opa Ben. “B—Bu Da- Dar—Darli—iiiiiineee ...” ucap Ringgo susah payah karena dia terlalu kaget. Willson mengatakan padanya tadi bahwa Darline tidak akan muncul di villa. Tapi kini, lihatlah! Bagaimana seluruh tubuhnya tidak gementar melihat kemunculan Darline yang tiba-tiba? “Dar—Darline! Bukankah kamu sedang nggak enak badan? Katanya nggak bisa hadir ke sini. lalu kenapa tiba-tiba kamu ada di sini?” Willson tiba-tiba bangkit dan menanyakannya dengan penuh perhatian, tapi Darline mengetahui dengan jelas, bahwa itu semua palsu. “Kenapa, Willson? Sepertinya kamu sangat berharap aku nggak enak badan dan nggak bisa hadir di sini? Apakah agar kamu bisa dengan leluasa memfitnahku?” “Apa-apaan kamu, Darline!” Willson mulai nai
“Bukti konspirasi?” Willson nyaris meledak dalam ketakutan saat dia mendengar kata-kata pamannya itu.“Bukti konspirasi gimana maksudnya, Paman? Aku tidak berkonspirasi dengan siapapun, apalagi dengan Ringgo!” seru Willson lagi dengan kepanikan tingkat dewa.“Oh ya? Kalau kau tidak berkonspirasi dengan Ringgo, berarti it’s okay menonton rekaman ini sama-sama, iya kan?”Willson bingung sesaat. Diliriknya Lissa karena setahunya Lissa sempat mengatakan bahwa CCTV di paviliun sudah tidak terpasang lagi. Juga bahwa semua CCTV sudah dicabut enam bulan yang lalu.Willson mengira bahwa tidak mungkin ada bukti rekaman CCTV antara Lissa dan Ringgo karena tidak ada lagi kamera CCTV. Lagipula, tidak mungkin Lissa sebodoh itu menjalankan aksi dari rencana mereka tanpa menyadari adanya kamera CCTV, bukan? Pastilah Lissa bertemu tatap dengan Ringgo di tempat tersembunyi.Dengan berpegang pada pemikirannya itu, Willson pun mengira bahwa pamannya hanya sekadar gertak sambal. Dia pun balas menantang de
Willson gegas bersimpuh di kaki Opa Ben. Opa Ben paling membenci perselingkuhan. Jika Opa Ben tahu dia memiliki wanita lain semasa masih berstatus suami dari Darline, maka dia bisa dicoret dari daftar ahli waris Opa Ben.Jangankan warisan, untuk mendapatkan bantuan modal butik saja hanya akan tinggal mimpi. Apalagi untuk mendapatkan restu menikahi Laura Bella. Itu mimpi tak terjangkau!“It—itu tidak benar, Opa! Itu editan! Aku nggak kenal dengan wanita itu! Itu pastilah editan dari seseorang yang hendak menjatuhkan namaku!”“Willson!” Hayden yang geram kali ini karena selalu apa yang dia tampilkan dianggap editan.“Kamu menuduhku membuat-buat foto ini, hah? Kalian ini, dari tadi selalu bisanya hanya berkilah ‘ini editan’. Apa tidak punya argumen lain yang lebih berkelas?!”“Paman! Kenapa paman seakan ngotot sekali ingin aku terlihat bersalah di mata Opa? Apa salah yang pernah aku perbuat pada Paman?”“Aku tidak sedang membalas dendam padamu, Willson. Aku hanya menunjukkan kebenaran ya
Hayden melangkah melewati Willson yang degup hatinya begitu marah mendengar kata-kata sindiran pamannya itu. Tapi di satu sisi, rasa khawatirnya atas keputusan Opa Ben mengenai suntikan dana untuk bisnis barunya lebih besar melingkupi dirinya sehingga willson membiarkan saja Hayden lewat.Dari sudut matanya, terlihat bagaimana pamannya itu menunjuk ke arah pintu, lalu berkata pada istri yang sedang berusaha dia campakkan. “Ayo, Darline, aku rasa kita bisa menemani Opa makan malam hari ini.”Willson menahan perih dan geramnya saat dilihatnya Darline ikut melangkah ke pintu, bersisian dengan sang paman.“Kamu gimana sih, Willson? Kok kamu dengan Laura Bella malah ketahuan begini?” Bu Mira yang sedari tadi menahan kesal tak mampu lagi berdiam.“Ya, aku juga nggak tau, Bu! Tapi itu pasti ulahnya paman!”“Memangnya kamu nggak merasa ada yang ngikutin trus moto-motoin kalian?”“Suerrr nggak merasa, Bu! Paman kan punya orang kepercayaan yang handal untuk nguntit orang. Dasar paman sial! Kena
Darline terdiam. Dia memang tidak pernah berpikiran sampai ke sana sebelum ini.Selama ini, pertanyaan itu memang menggenang di pikirannya. Kenapa Willson berubah sampai sejauh ini padanya?Apakah karena dia tak lagi bekerja? Tidak lagi bisa membantu pemasukan bulanan mereka?Ataukah karena Willson benar-benar kecewa karena mereka belum juga mendapatkan keturunan?Atau karena dia memang tampak membosankan di mata Willson? Kehidupannya hanya seputar rumah dan kebutuhan sehari-hari. Tidak ada hal lain yang bisa diajaknya bertukar pikiran.Semua pertanyaan yang berputar di kepalanya selama ini hanya seputar tiga hal itu saja.Tidak pernah sekalipun dia terpikir bahwa alasan Willson berubah sikap dan perhatian padanya adalah karena adanya wanita lain. Kecuali saat dia menemukan kondom di saku celana Willson.Tapi saat itu pun pikiran Darline teralihkan pada hal lain, sehingga dia pun melupakan petunjuk buruk satu itu.Sampai saat tadi, saat Hayden menunjukkan foto mesra Willson bersama wa
“Kamu ... tidak ingin mengatakan sesuatu?” Hayden bertanya ketika dia telah di depan pintu unit apartemen Darline dan wanita itu masuk setelah mengucapkan tiga deret ucapan.“Hmm? Bukannya tadi sudah aku mengatakan terima kasih?”“Hmm, tapi bukan itu yang kuharapkan,” kata Hayden dengan sebelah tangannya bersandar di kusen pintu dan tubuhnya ikut bersender di sana.Mendengar itu, sebelah alis Darline menaik. “Hmmm? Jadi apa yang ingin Mas dengar? Selamat tidur dan sampai jumpa?”“Argh! Itu justru hal yang tidak ingin kudengar darimu.”“Lalu? Maunya dengar apa?”“Hmm, begini. Tidur-nya sudah benar. Tapi depannya bukan ‘selamat’.” Hayden terkekeh mendengar teka tekinya sendiri.Apalagi saat wajah Darline berpikir keras. Sebenarnya dia kesal juga kenapa dia jadi menggunakan teka teki untuk hal se-sepele itu. Harusnya dia katakan saja terus terang.Apalagi dengan pengalamannya yang selama ini tidak pernah menutup diri pada wanita, mengatakan keinginan untuk tidur bersama itu bukan hal sul
“Nggak ada ceritanya bos nebeng sama karyawannya, Mas,” kilah Darline walaupun akhirnya dia melebarkan juga daun pintu dan mempersilahkan Hayden masuk.“Ada dong! Ini sekarang kita buktinya!”“Itu kan karena Mas memaksa.”“Mana ada aku memaksamu! Kamu melebarkan pintu dengan sendirinya lho. Tidak ada pemaksaan.” Hayden tampak menjengkelkan jika sudah bermode tengil seperti ini.Sudah pasti, Darline tak bisa memrotesnya lagi. Dia pun akhirnya hanya menjawab pendek, “Iye, iye, lah!” dengan nada suara seperti Upin Ipin.Seperti tadi, tanpa disuruh duduk, Hayden sudah langsung menuju dapur dan melihat secangkir kopi yang sedang dinikmati Darline.Diangkatnya hanya untuk dia hirup aromanya. Kedua matanya terpejam begitu menikmati aroma kopi yang disesapnya.“Sepertinya lezat. Hmmm.”Tanpa diduga-duga, Hayden meminum dari cangkir Darline, membuat kedua mata Darline membelalak.“Lho, Mas, kenapa diminum? Itu punyaku!”“Eh, iya ya. Habis enak banget. Jadi lupa diri.” Hayden tersenyum tanpa do
Darline terduduk lesu ketika mereka kembali ke mobil.Satu-satunya properti yang dia harapkan dapat direbutnya dari Willson kini ternyata sudah dijual tanpa dia ketahui dan tanpa sedikit pun rupiah yang diberikan padanya.Padahal, pembangunan rumah ini menggunakan uang warisannya. Hanya tanah saja yang merupakan milik Willson.Namun, di atas semua itu, sudah seharusnya Willson memberitahukannya ketika hendak menjual rumah itu.“Maaf, Sayang, tapi aku rasa Willson sudah membohongimu selama ini.” Hayden akhirnya bersuara setelah membiarkan Darline diam dan merenungi semuanya.Hanya deru mesin mobil yang begitu halus yang melingkupi mereka sedari tadi.Dengan hati berat dan pahit yang menyeruak dari hati hingga ke lidahnya, Darline mengangguk.Tidak ada hal lain yang mungkin kecuali bahwa Willson memang sudah menipunya dengan mengatakan bahwa pembangunan rumah mangkrak, padahal dia terus membangunnya. Setelah selesai, dia men