Share

Bab 4 Mengumpat Bos Baru

“Nona Nindy, sebelum kita membicarakan masalah pekerjaan, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terlebih dahulu.” Ucapan Billy akhirnya memecah keheningan yang sempat melanda keduanya setelah kepergian Pak Edwin.

“Baik, Pak,” ujar Nindy dengan tegas. Sebisa mungkin dia bersikap tenang, meskipun itu sangat sulit baginya, karena ingatan di masa lalu kembali bermunculan saat berada di dekat pria itu.

“Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” Saat Billy melontarkan pertanyaan itu, dia tidak menatap Nindy, melainkan meraih kertas map yang ada di hadapannya. Map itu berisi data diri Nindy.

“Sudah 8 bulan, Pak.”

Sebelumnya, Nindy lama bekerja di Bandung. Sengaja dia memilih bekerja di Surabaya karena ingin semakin menjauh dari tanah kelahirannya.

“Jadi, kamu belum lama bekerja di sini?” Pandangan Billy tertuju pada kertas yang sedang ada di tangannya ketika dia bertanya.

“Iya, Pak.”

"Sebelumnya, kamu bekerja di mana?"

"Di Perusahaan Hakana, Pak."

Pandangan Billy masih fokus pada kertas yang ada di tangannya. “Berkuliah di Jakarta satu tahun, kemudian pindah ke Bandung dan menyelesaikan pendidikan di sana.” Suaranya terdengar pelan. Namun, penuh penekanan. “Ternyata kau bersembunyi di Bandung selama ini.” Billy akhirnya menatap Nindy setelah mengatakan itu.

Dengan susah payah, Nindy menelan salivanya dan meremas kedua tangannya dengan kuat ketika melihat tatapan mengintimidasi dari Billy. “Saya tidak bersembunyi, tapi saya berkuliah di sana, Pak,” ralat Nindy dengan tegas. Dia tidak akan membiarkan Billy menekannya hanya karena dia menjadi atasannya saat ini.

“Tidak bersembunyi.” Billy menunduk sambil mendesis, detik selanjutnya dia mengangkat kepalanya menatap Nindy dengan senyuman sinisnya. “Kalau tujuan kamu ke sana untuk berkuliah, saya ingin tahu, apa alasanmu pindah ke Bandung? Padahal, kamu kuliah di kampus terbaik di Jakarta.”

Nindy meremas sisi roknya. Mencoba untuk tetap terlihat tenang, setelah mendapatkan pertanyaan sulit dari Billy.

Dia tahu kalau Billy saat ini sedang berusaha untuk mempersulitnya. Mungkin dia belum terima dengan keputusan Nindy saat itu, jadi dia berniat untuk membalas dendam padanya. Mungkin harga diri Billy terluka karena dirinya yang memutuskan pria itu, bukan sebaliknya. Nindy rasa Billy tidak terima karena dia berani mencampakkan pria itu.

“Maaf, Pak. Ini adalah ranah pribadi saya, jadi saya tidak bisa memberitahu Bapak alasannya. Saya akan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan pekerjaan.”

Billy menyandarkan punggungnya di kursi, lalu melipat kedua tangannya di dada dengan wajah angkuhnya setelah meletakkan data diri Nindy. “Siapa bilang ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan?”

Billy menumpukkan kiri di atas kaki kanan, lalu meletakkan kedua tangannya di tangan di pangkuannya sambil menggoyangkan kursi ke kanan dan ke kiri dengan pelan secara berulang.

“Alasan saya menanyakan ini karena saya ingin tahu mengenai kepribadian karyawan saya. Saya harus tahu alasan kepindahan kamu apa. Saya tidak mau memiliki karyawan yang tidak memiliki rasa tanggung jawab.”

“Maksud, Bapak?” tanya Nindy dengan wajah tidak senang.

“Tugas kamu adalah menjawab pertanyaan saya, bukan justru mengajukan pertanyaan pada saya,” ujar Billy dengan tegas.

“Saya pindah karena alasan pribadi, Pak. Untuk detailnya saya tidak bisa memberitahu, Bapak.”

Perlahan rasa hormat Nindy pada Billy mulai berkurang karena sikap pria itu yang dia nilai sangat menyebalkan baginya. Entah apa yang merasuki pria itu, hingga dia menjadi pribadi berbeda.

Bagaimana bisa dia berubah sangat menyebalkan setelah tidak bertemu dengannya selama 6 tahun. Padahal dulu, dia adalah orang yang sangat lembut, perhatian, dan selalu berkata dengan tutur yang baik.

'Aah, kenapa juga aku harus mengingat kembali kenangan masa lalu?'

"Saya harap Bapak bisa mengerti."

Billy terdiam selama beberapa detik, lalu berkata, “Baiklah. Tidak masalah kalau kamu tidak mau memberitahu saya, tapi saya harap kamu bisa bertanggung jawab dengan pekerjaanmu selama bekerja di sini. Jangan sampai kamu meninggalkan kantor ini tanpa alasan yang jelas, disaat kamu memiliki masalah pribadi. Kamu mengerti maksud saya, kan?”

Tentu saja Nindy mengerti, dia bahkan sangat mengerti. Saat ini secara tidak langsung Billy sedang menyindirnya karena dulu tiba-tiba pindah kuliah setelah mereka putus. Mungkin dia takut kalau Nindy akan mengulang hal yang sama, meninggalkan perusahaan dengan alasan pribadi.

“Saya mengerti, Pak.”

“Bagus.” Billy menutup map yang ada tangannya, lalu meletakkan di atas meja. “Ini list dokumen yang harus kamu cari.” Billy pun memberikan secarik kertas pada Nindy. “Pastikan semua dokumen itu harus ada dan lengkap,” tambahnya lagi.

Nindy meraih kertas itu, lalu berkata, “Baik, Pak.”

“Kamu boleh keluar.”

“Kalau begitu, saya permisi, Pak.”

Tidak ada respon apa pun dari Billy, pria itu justru meraih ponselnya dengan wajah acuh tak acuh.

Ketika Nindy akan meraih handle pintu, tiba-tiba Billy menghentikannya. “Saya tunggu paling besok pagi.”

“Besok pagi?" ulang Nindy dengan mata membulat.

“Kenapa? Tidak bisa?”

Tentu saja tidak bisa. Dia memutuhkan waktu yang lama untuk mencari semua laporan tersebut. Apalagi, yang Billy minta berkas 5 tahun terakhir. Nindy tidak tahu di mana semua berkas tersebut disimpan karena dia saja baru bekerja di perusahaan itu 8 bulan.

“Saya butuh waktu lebih, Pak.”

“Baiklah, saya tunggu besok sore."

“Maaf, Pak, tidak bisa. Saya minta waktu paling tidak 5 hari untuk mencari semuanya.”

Billy yang sedang membereskan berkas yang ada di atas mejanya, seketika menatap Nindy setelah mendengar itu. “Saya beri waktu kamu sampai 3 hari. Kalau perlu kamu lembur agar bisa menyelesaikannya tepat waktu.”

“Tapi, Pak—”

“Tidak bantahan.”

Nindy mengepalkan tangannya dengan kuat karena merasa kesal pada Billy.

Bisa-bisanya pria yang pernah dia begitu cintai itu mengerjainya. Dia pikir mencari berkas tersebut mudah? Kalau untuk soft copy-nya mungkin tidak akan sulit, tapi berkas aslinya, dia harus mencarinya di ruangan penyimpanan dokumen dan ada ribuan berkas yang disimpan di sana.

“Kamu tenang saja, lembur kamu akan dibayar dua kali lipat oleh kantor.”

Ini bukan masalah uang, tapi ... ah, sudahlah. Tidak ada gunanya dia berdebat dengan Billy, itu hanya akan membuang waktunya saja.

“Saya usahakan, Pak, tapi saya tidak janji bisa menyelesaikannya tepat waktu. Klau begitu, saya permisi." Nindy mengangguk sopan, lalu keluar berjalan menuju pintu.

Setelah keluar dari ruangan Billy, Nindy kembali ke ruangannya.

Braakkk!

Tanpa sadar, Nindy menutup pintu ruangannya dengan keras, hingga membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu terkejut.

“Maaf, gak sengaja,” kata Nindy dengan senyuman kakunya, kemudian berjalan menuju meja kerjanya yang bersebrangan dengan meja kerja Dewi.

“Nin, kenapa?” Dewi bertanya dengan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara ketika Nindy sedang menatap ke arahnya.

Melalui gerakan bibirnya Nindy menjawab, “Lagi kesel.”

“Habis dimarahin, Pak Billy?” tebak Dewi lagi melalui gerakan bibir.

Nindy menjawab sambil mengangguk. “Iya. Bos gila.”

Dewi terkekeh setelah membaca gerakan bibir Nindy yang terlihat sangat kesal pada Billy. “Gilaa, tapi ganteng, kan?” balas Dewi lagi dengan gerakan bibir, kemudian diiringi dengan kekehan kecil. “Mau juga dong dimarahin sama pak bos ganteng.”

Nindy hanya memutar bola matanya dengan malas mendengar candaan Dewi. “Gak waras kamu, Wi.” Setelah mengatakan itu melalui gerakaan bibir, Nindy beranjak dari tempat duduknya.

“Mau ke mana?” tanya Dewi, kali ini dengan suara keras.

“Cari file yang diminta sama bos.”

Usai mengatakan itu, Nindy keluar dari ruangan dan berjalan menuju ruangan menyimpanan dokumen. Ruangan itu berada di lantai dua, tidak jauh dari ruangan Billy. Ruangan tersebut berada di ujung, jadi jika dia akan ke sana, maka dia akan melewati ruangan Billy.

Dengan langkah pelan, Nindy melewati ruangan Billy yang pintunya tertutup. Tepat ketika berada di depan ruangan Billy, dia melirik sekilas ke ruangan tersebut melalui ekor matanya. Dia melihat Billy sedang membaca dokumen dengan serius. Ini pertama kalinya, Nindy melihat wajah serius Billy ketika sedang bekerja.

Sebelum membuka pintu ruangan penyimpanan dokumen, dia menarik napas panjang terlebih dahulu, kemudian menghembuskannya secara perlahan. “Semangat, Nindy.”

Usai mengatakan itu, dia membuka pintu, lalu masuk ke dalam. Tubuhnya mendadak lemas begitu melihat deretan dokumen yang tersimpan di ruangan tersebut. Apalagi, ketika melihat list dokumen yang harus dicari.

“Billy, Brengsek!” umpat Nindy dengan kesal.

“Kamu mengumpat saya?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Nindy narik napas panjangvsaya ngikutin juga narik napas hahahaa..tenang Nin biarin kmu d kerjain ssma Billy biar dia puas sakit hati nya twrbalaskan ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status