Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.
Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan.
"Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali.
"Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya.
"Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda."
"Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak
Anita masih mengutuk kebodohannya yang dengan gampang mengikuti kemauan pria itu.Sejak masuk dalam mobil, ia hanya diam sambil menggigit tipis bibir dalamnya. Pikirannya masih berkecamuk, apa yang Rama inginkan dengan mengajaknya pergi? Dan kemana pria itu akan membawanya?Untunglah ia sempat menghubungi orang tuanya dengan alasan harus pulang malam karena lembur. Beberapa pesan masuk yang berasal dari Sandi tak ia hiraukan. Anita tak ingin menanggapi isi pesan tersebut yang bisa ia pastikan berupa pertanyaan basa-basi, yang mungkin pada akhirnya akan berujung kebohongan darinya."Kau tidak mau tanya kita kemana?" Rama membuka suara. Ia menoleh sesaat pada Anita dan fokus kembali pada setang kemudinya."Buat apa?" sahut Anita tak acuh."Kau tidak takut aku membawamu ke suatu tempat menakutkan gitu?" Rama memancing."Kan ada kamu yang bakal jagain aku," jawab Anita sekenan
Anita berdiri seketika dari tempatnya."Apa maksud ucapanmu itu?" Ia menatap sengit pada keberadaan Rama yang masih tampak santai, namun tidak dengan orang tua Rama yang semakin was-was."Duduklah, akan kujelaskan sesuatu," kata Rama lembut, masih nampak tenang. Namun itu tak membuat perasaan Anita luluh. Justru hatinya makin bergejolak."Penjelasan apa? Sesuatu yang tak kupahami dan hanya diputuskan sepihak olehmu, begitu? Aku benar-benar kecewa padamu!"Anita menyentak kasar tas kerjanya. Tanpa pamit, ia segera kabur dari tempat itu. Dan inilah yang dicemaskan Rio juga Amanda sejak tadi.Rama yang tak menyangka akan kemarahan Anita, mengejarnya dengan segera. Tubuhnya hampir menyenggol pelayan yang datang membawa nampan makanan."Anita, Anita, tunggu!" Ia mencoba mencegah kepergian Anita. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan keduanya sejak tadi. Dan kini mereka berdu
Gairah Anita melonjak begitu cepat saat bibir keduanya menempel. Ia berfikir Rama akan menciumnya dengan dalam, namun rupanya ia salah menduga. Pria itu justru menarik diri setelah beberapa detik kemudian, membuat Anita merasa kehilangan, kecewa.Ia mengutuk dirinya yang mengharap kelanjutan dari kejadian mengejutkan baru saja. Tapi Anita memang tak bisa memungkiri, ia ingin sesuatu yang lain sekarang ini. Sebuah sentuhan. Dan yang pasti ia berharap akan mendapatkannya dari Rama meski hati kecilnya memberontak meneriakkan kebodohannya."Ku harap, kau memikirkan kata-kataku ini," gumam Rama sesaat kemudian setelah ia berjalan mundur. Keduanya hanya saling menatap satu sama lain. "Tidurlah, selamat malam."Rama hampir menjauh ketika tiba-tiba Anita merengkuh lehernya tanpa diduga."Kau mau kemana?""Kemana? Tentu saja pulang." Mata Rama berputar menelusuri wajah cantik di depannya.
Anita masih mengurung diri di dalam kamar sementara Heni sejak tadi sibuk mempersiapkan kedatangan sang calon menantu. Anita masih merenungkan kata-kata Rama yang memintanya untuk menikah kembali. Entah berapa kali pria itu mengulang pernyataan yang sama. Di kantor, Rama akan kembali mengingatkan Anita tentang permintaannya tersebut saat ada kesempatan. Dan puncak semuanya adalah ketika jam pulang kerja tadi. Flash Back On Suasana kantor sudah tampak sepi. Seperti perusahaan lainnya, tiap hari Sabtu karyawan hanya bekerja setengah hari saja. Dan Anita baru membereskan meja kerjanya, bersiap akan pulang. Seorang teman menjajarinya ketika berjalan di koridor kantor menuju lift. Keduanya sempat terlibat obro
Heni masih bimbang dengan keputusannya. Sejak beberapa menit lalu, ia hanya berjalan mondar-mandir dalam biliknya. Sebuah smartphone dengan silikon warna biru terang masih tergenggam sempurna di tangan kanannya, dan berkali-kali pula perempuan itu melihat pada sebuah kontak nomor yang baru saja ia simpan. Tidak ada pilihan lain. Aku harus menghubunginya. Tuuutttt! Tuuutttt! Tuuuttt! Pertanda nomor tersebut aktif. Dan Heni masih setia menunggu si pemilik akan mengangkat panggilan darinya. Tersambung! "Halo, siapa ini?" "H-Halo. Ini aku, Amanda. Apa kabarmu?" "H-Heni?!" "Ya. Bisakah kita bertemu?" Dua jam kemudian.... Dua perempuan itu kini duduk berhadapan di sebuah cafe. Ada secangkir kopi yang
Beberapa kali Sandi menoleh pada keberadaan Anita di sampingnya. Wajah perempuan itu terlihat lesu. Hal ini tentu mengusik jiwa tenang Sandi sebagai lelaki. "Ada apa denganmu? Apa kau sedang dalam masalah?" Akhirnya ia memberanikan diri bertanya setelah beberapa saat lamanya hanya bungkam. "Ya, sedikit," jawab Anita jujur. Pandangannya tetap lurus ke depan, menerawang pada jalanan kota. "Boleh aku tau? Mungkin dengan bercerita akan membuatmu sedikit lega," Sandi menawarkan. Anita tak langsung menjawab. Ia hanya berpikir, apa perlu Sandi mengetahui masalahnya? "Sebenarnya aku ingin mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja. Hanya saja aku lupa kalau masa kontrakku belum habis. Dan kalau aku tetap memaksa, maka satu-satunya pilihan adalah dengan membayar penalti," jelas Anita akhirnya. "Tapi, memang ada apa sampai kau ingin keluar? Apakah kau punya masalah di
"Bagaimana sekarang? Apa yang ingin kau lakukan?""Entahlah. Semua begitu tiba-tiba.""Sebelumnya kau ingin putrimu segera punya pacar dan mengakhiri kesendiriannya. Sekarang saat ada dua pria yang berniat serius padanya, kau justru tidak bisa menentukan pilihan."Perdebatan kecil itu terjadi setelah Anita dan Sandi berangkat. Heni dan Rangga belum beranjak dari meja makan, meneruskan pembicaraan yang beberapa saat lalu tertunda karena ajakan Anita yang ingin segera berangkat."Tapi masalahnya kali ini berbeda, Pa.""Berbeda dari mananya?""Coba Papa pikir deh, Rama dulunya menantu kita dan dia anak dari sahabat lama kita. Tentu saja akan tidak enak hati kalau kita menolaknya terang-terangan. Setidaknya, kita harus memberi kesempatan padanya. Meskipun mereka pernah mengalami kegagalan, tapi bukan berarti pernikahan kedua akan sama seperti yang pertama. Lagi pula, Rama yang
Baru saja Rama menjejakkan kaki di ruangannya, tiba-tiba pintu diketuk, memunculkan wajah seseorang. Anita. Mata Rama waspada kala melihat Anita membawa sebuah map putih di tangan kirinya, dan sebuah koper hitam di tangan kanannya."Sesuai dengan perjanjian kontrak, jika saya keluar sebelum masa kontrak habis, maka saya harus membayar penalti." Anita mengangkat koper di tangannya, meletakkan di atas meja. Ia pun membuka koper tersebut tanpa diminta.Seperti yang Rama cemaskan. Tumpukan uang yang ia lihat saat ini sudah bisa ditebak apa maksud kedatangan Anita menghadapnya. Tapi Rama masih bergeming di tempatnya, belum ingin mengatakan satu patah kata pun."Di sini, ada nominal sebesar seratus juta rupiah sesuai pembayaran penalti seperti yang disebutkan." Anita menatap Rama penuh keyakinan. "Dan ini surat pengunduran diri saya." Ia lalu menyerahkan map putih di tangannya. Meletakkannya pada meja juga.Rama