"Irine ..." Wanita yang saat ini sedang memandang Jordi itu melebarkan mata. Lantas, detik itu juga ia berpaling pada Nathalie dengan ekspresi tidak percaya. Menahan haru dan menutup bibirnya sendiri. "Akhirnya kau sadar juga." Irine hampir saja menangis jika Jordi tidak menyuruh wanita itu untuk menahan diri. Membiarkan Nathalie untuk tetap tenang di awal kesadarannya. "Apakah kau merasa ada yang tidak nyaman?" tanya Jordi. Dan Nathalie menggeleng tanpa ekspresi. Jordi terdiam. Namun, kemudian menghela napas lega. Akhirnya setelah beberapa bulan, Nathalie kembali membuka mata."Akan aku panggilkan Dokter untuk memeriksa mu lebih dulu." Saat baru berjalan beberapa langkah menjauhi ruangan, Jordi berhenti sebentar kala ia berpapasan dengan seseorang yang ia kenal. "Kenapa kau ada di sini?" Jordi melayangkan pertanyaan dengan wajah tidak suka. Sementara pria yang ada di hadapannya itu hanya memasang ekspresi datar. Kemudian menjawab. "Aku datang untuk melihat Nathalie.""Sebaikn
Hari ini, Kai sudah mendarat dengan selamat di Indonesia. Sejak berada di dalam pesawat, ia tak bisa berhenti untuk memikirkan seseorang yang begitu dirindukannya. Setelah sampai di rumah dan langsung membersihkan diri, Kai bergegas pergi ke rumah sakit sembari memasang senyum tipis. Tidak menyangka hari ini akan segera datang. Selesai memarkirkan mobil, Kai lantas berjalan dengan langkah pasti menuju ruangan di mana Nathalie berada. Membuka pintu di hadapannya itu setelah menghela napas pelan. Melirik sebentar pada bunga tulip yang ada di genggaman tangannya. Pertama kali masuk ke dalam ruangan ini setelah satu minggu berlalu, Kai tidak dapat menahan keterkejutan saat melihat wanita yang semula terbaring di atas ranjang itu kini sudah terduduk sembari mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Lantas berpaling untuk melihat siapa orang yang baru saja datang. Sambutan yang sangat berharga bagi Kai. Rasa lelah atas semua yang ia lakukan di Amerika seolah hilang begitu saja. "Kau su
Sudah sepuluh menit sejak Dokter keluar setelah melakukan pemeriksaan pada Nathalie. Dan beberapa saat kemudian, kedua kelopak mata yang semula tertutup itu kini perlahan terbuka. Memamerkan manik cokelat cerah yang indah. "Leon?" Nathalie memanggil nama pria itu dengan lemah. Dan Leon yang segera mendekat. "Apa aku baru saja pingsan?" Pria itu mengangguk. "Kau harus tenang. Jangan terlalu memikirkan hal yang berat. Kau harus segera sembuh, mengerti?" Nathalie menarik kedua sudut bibirnya dan membuat pria lain yang ada di ruangan ini menggertakkan gigi. Kai sangat marah. Ia sangat merah ketika melihat bagaimana Nathalie melihat Leon sebagai dirinya. Namun, ia harus bisa menekan perasaannya agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Namun, saat Leon kemudian mengulurkan tangannya untuk mengusap pucuk kepala Nathalie, Kai benar-benar tidak sanggup melihat semua ini. Ia beranjak dari tempat duduknya yang langsung ditahan oleh sebuah tangan yang memegang lengannya dengan ken
Melihat Nathalie yang memejamkan mata dan menunggunya, membuat Leon ingin melupakan sejenak perannya saat ini. Ia pun makin mendekatkan wajahnya dan hanya tinggal beberapa senti lagi, sebelum kemudian ia merasakan tarikan cepat dari seseorang yang kemudian memukul wajahnya dengan keras. Bugh!"Sialan kau!" Kai kembali melayangkan pukulan telak. Dan Leon sama sekali tidak memiliki waktu untuk menghindar."Bisa-bisanya kau memanfaatkan keadaannya untuk melakukan hal seperti ini! Dasar Bajingan!" Sedangkan Nathalie yang masih tak berkutik lantaran terkejut itu kemudian mendekati Leon dan memeluk pria itu untuk melindunginya. "Hentikan!" "Lepaskan dia, Thalia! Aku harus memberinya pelajaran karena telah menyentuhmu!" Nathalie menggeleng. Air matanya hampir keluar saat ia melihat wajah Leon yang penuh dengan lebam. Bahkan hidung pria itu mulai mengeluarkan darah. "Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?! Kenapa kau tiba-tiba memukulnya!" Nathalie menghadap Kai dan merentangkan ta
"Thalia, apa kau ingat tempat ini? Ini adalah tempat di yang kau datangi saat kau terlambat jam kuliah dan menangis sambil meneleponku untuk datang. Kau masih mengingatnya?"Nathalie mengerucutkan bibir. Lantas membuang pandangan dari pria yang ada di sampingnya dengan wajah menahan malu."Saat itu aku hanya tidak punya pilihan lain." Pria yang ada di sebelah Nathalie itu mengernyit, kemudian terkekeh pelan. "Aku pikir kau sudah melupakannya. Itu sudah beberapa tahun berlalu.""Mana mungkin aku melupakan kejadian memalukan itu?" Nathalie masih tidak menoleh. Membiarkan pria di sebelahnya itu kemudian menarik tangannya untuk berjalan bersama. Menggenggam tangannya dengan erat dan Nathalie yang kemudian tersenyum sembari menunduk dalam. "Lihat itu, matahari sebentar lagi akan tenggelam."Dan Nathalie kemudian mengalihkan pandangannya pada semburat jingga keorenan yang sedang ditunjuk oleh pria di sampingnya. "Indah ...." Nathalie bergumam pelan. Kembali memalingkan wajahnya pada pri
"Kau pikir ini menyenangkan?" Wanita yang kini terkurung di dalam penjara itu memegang kuat jeruji besi yang menjadi pembatas antara dirinya dan pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Seorang pria dengan tatapan angkuh yang sialnya pernah ia cintai dengan sangat dalam. Dan seorang yang juga telah membawa dirinya pada keadaan seperti ini."Harusnya sejak awal aku sudah membunuhmu!" Kai tidak bereaksi apapun selain tatapannya yang masih datar tertuju pada wanita itu. Memandang Angelista yang terlihat sangat menyedihkan dengan surai pirangnya yang berantakan tak terawat. "Kau sudah berakhir," ujar Kai sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pandangannya mengikuti Angelista yang kemudian berdiri dengan kedua kakinya yang terlihat lemah. "Selama aku belum mati. Semua ini tidak akan pernah berakhir, Kai." Angelista menyeringai kejam.Namun, Kai tak mempedulikan wanita itu dan hanya menghela napas pendek. "Meski harus merangkak dengan penuh darah dan nanah. Aku akan
Nathalie keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di tangannya untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Malam ini ia hanya menggunakan sweater hijau toska dengan celana pendek saja. Setelah rambutnya kering, Nathalie lantas berjalan menuju laptopnya yang ada di kamar dan memeriksa pekerjaan dirinya. Sampai beberapa saat kemudian, ponselnya kemudian berdering. Dan Nathalie tersenyum tipis saat mendapati panggilan dari Leon malam ini. "Ya? Tumben sekali kau meneleponku malam-malam begini." Nathalie terkekeh pelan. Memiringkan kepalanya ke samping dan sedikit menunduk. "Aku hanya ingin memberitahumu jika besok aku harus pergi."Nathalie mengangguk pelan sembari mengulum bibir bawahnya. "Kau bisa mengatakannya besok padahal." "Tidak. Karena aku besok akan sangat sibuk dan tidak sempat memegang ponsel." Leon terdiam sebentar. "Apa kau akan merindukanku?" Wanita itu mengerutkan alis. "Apa yang kau katakan? Kau bertanya padahal sudah tahu jelas jawabannya." Nathalie menipiskan bibi
"Malta. Dia berasal dari Malta."Nathalie mendesah pelan. Perkataan Rena sejak kemarin masih terbayang memenuhi isi kepala. Dengan sisa ingatannya sendiri yang masih sangat kurang, Nathalie sempat berpikir jika apa yang selama ini ia lakukan berada dalam kesalahan. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. Ia akan berusaha untuk mengingat semuanya meski kenangan buruk di masa lalu pun. Setidaknya, ia jadi mengerti bagaimana seharusnya dirinya menjalani hidup. Dan sekarang, Nathalie tidak mengerti mengapa ia berhenti di sini. Di bawah pohon di dekat rumah megah yang tak terasa asing baginya. Saat melewati rumah ini, entah mengapa spontan ia menghentikan mobil yang dikendarainya dan diam di sini sejak sepuluh menit yang lalu.Nathalie menghela napas sesaat. Sebelum kemudian ia keluar dan bersandar pada mobil sembari memandangi rumah mewah di hadapannya. Sepertinya, ingatannya pernah membawanya kemari. Namun, sampai saat ini ia masih belum bisa memastikan apakah benar atau salah."Nath