Malam ini, bulan sangat indah dan terang benderang. Buyung Kacinduaan ingin melewati malam ini dengan bersemadi di atas batu besar di tepian sungai yang membelah lembah Ngarai Sianok. Ya, seperti malam-malam sebelumnya yang selalu ia manfaatkan untuk mengkaji diri.
Hal yang sama yang berulang-ulang disarankan oleh si harimau putih itu kepadanya, hal yang pada akhirnya disadari oleh Buyung bahwa semua itu untuk membangkitkan dan mengolah tenaga dalamnya sendiri.
Hanya saja, malam ini sepertinya ia tidak akan bisa tenang melakukan semadinya. Padahal, bentuk bulan yang nyaris bulat sempurna itu—pertanda esok akan terjadi purnama—sangat mendukung keinginan Buyung untuk bersemadi.
Pasalnya, sejak beberapa saat yang lalu, si harimau putih yang mengalai di atas batu besar lainnya selalu melenguh-lenguh, kadang pendek, kadang pula panjang, sembari menatap ke arah rembulan.
Buyung memang hampir memahami semua bahasa tubuh dan arti lenguhan sang harimau
Buyung Kacinduaan tidak tahu harus berbuat apa selain terus mengikuti langkah si Harimau Putih Bermata Biru. Bahkan, mereka telah jauh meninggalkan areal di mana beradanya gua itu. Dan sejauh itu, tidak ada satu jua yang terlihat menarik bagi Buyung.Seolah-olah, sang harimau putih hanya sedang ingin berjalan-jalan santai saja di pagi itu.‘Terserahlah!’ gumam Buyung di dalam hati seraya mengendikkan bahunya. ‘Kalau mau jalan saja, ya sudah.’Lebih dari sekadar tiga kali peminuman teh, mereka semakin jauh bergerak ke utara lembah.Lalu, tiba-tiba sang harimau putih menghentikan langkahnya yang mau tidak mau, Buyung pun terpaksa menghentikan langkah.Sang harimau putih memandang ke satu arah, sedikit agak lama sebelum akhirnya ia berbelok ke kiri, mendekati tepian sungai untuk sekadar melepas dahaganya.Buyung menghela napas dalam-dalam, bertolak pinggang, dan menggeleng-gelengkan kepalanya atas sikap sang harimau puti
Cepatnya tusukan karambit di tangan pria itu menandakan bahwa dia setidaknya mengenal satu dua jurus silat.Gadis di belakang bahkan sampai menutup mata karena ngeri membayangkan senjata tajam itu merobek perut Buyung Kacinduaan.Buyung tidak bergerak seinci pun dari posisinya berdiri, sebab ia tahu, jika ia mengelak, justru gadis di belakangnya itulah yang akan menjadi sasaran kemarahan pria yang satu itu.Dengan meniru gerakan cepat dari tamparan kaki depan sang harimau putih selama ini, Buyung Kacinduaan sudah dapat menepis tusukan itu.Bahkan, dalam sekali gerakan itu saja, pergelangan tangan di pria tertekuk dan berdetak. Karambit terlepas dan terlempar jauh.Lalu disusul dengan lesatan satu kaki dari Buyung yang mengantam keras hulu hati si pria.Dukh!Pria 30 tahun terlempar ke belakang, lalu terhempas di antara bebatuan. Bibirnya pecah terantuk batu. Ia melenguh pendek dengan wajah menggelembung dan merah, lalu terbatuk dan te
Buyung Kacinduaan yang telah lama tidak berkumpul dengan sesama, tentulah masih membawa sifat polosnya semasa kanak-kanak. Lagi pula, ia tidak pernah memedulikan seperti apa pun tampannya wajahnya, atau halusnya kulit tubuhnya itu, bentuk tubuhnya yang sudah terbilang gagah itu.Tidak sama sekali.Jadi, tentu ia berpikir gadis di hadapannya itu masih ketakutan terhadap kemunculan si Penunggu Lembah Ngarai Sianok.Padahal, sesungguhnya, gadis itu gugup karena berdiri begitu dekat dengan pemuda semenawan Buyung itu sendiri. Terlebih lagi, sang gadis masih mengingat betapa kagetnya pemuda gagah itu ketika melihat tubuhnya yang telanjang tadi.Masih muda, gagah menawan, berani, dan berteman dengan sang legenda seperti Inyiak Tuo Bamato Biru itu. Bukankah ini sesuatu yang sangat-sangat istimewa? Gumam sang gadis di salam hati.Hal ini semakin membuat sang gadis memerah wajahnya, hanya sanggup menunduk saja tanpa berani memandang wajah Buyung Kacinduaan.
Sama. Sang harimau putih tetap tidak menanggapi pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Buyung Kacinduaan.Buyung hampir-hampir berputus asa dengan sikap makhluk buas itu yang sangat berbeda sekali dari biasanya, meskipun ia menyadari ini sudah terjadi sedari semalam, namun kali ini jelas semakin parah.‘Seolah-olah, Inyiak Balang sedang meninggalkan perangai…’ sampai di sana, bola mata Buyung membesar menatap sosok makhluk buas berbulu tebal putih bergaris hitam di hadapannya itu.Buyung menelan ludah dengan wajah yang begitu cemas, dan berharap apa yang melintas di pikirannya barusan itu tidak akan menjadi kenyataan.Tidak, tidak, tidak… ini tidak mungkin!Meski demikian, tak urung degup jantung pemuda itu menjadi kacau balau, dengan deru napas yang memburu. Mau tidak mau, ia harus menentramkan perasaannya atau ini akan mempengaruhi tenaga dalamnya, yang berarti pula akan mengacaukan keselarasan racun-racun di dalam
Buyung Kacinduaan masih memeluk kepala sang harimau putih yang telah mencapai batas usianya itu. Sang pemuda menangis tersedu-sedu, mengusap-usap leher sang harimau.“Apa yang harus aku lakukan jika Inyiak meninggalkanku seorang diri seperti ini?”Sang pemuda tenggelam dalam kesedihannya. Tidak sekali jua terpikirkan olehnya jika suatu saat kelak ia harus berpisah seperti ini dengan makhluk buas yang selama sepuluh tahun telah melindunginya, mengajarinya banyak hal meski tidak secara langsung, atau setidaknya tanpa arahan berupa kata-kata yang jelas.Tidak sekali jua.Buyung menarik tubuh tak bernyawa itu lebih jauh ke pelukannya, dan untuk beberapa waktu lamanya, ia hanya menangis seperti itu saja.Ia sadar, ia sudah melanggar janjinya sendiri untuk tidak lagi menangis. Tapi ia tidak kuasa dengan kenyataan ini.Dan kalaupun ia harus menerima hukuman berat atas pelanggaran janjinya itu, Buyung bahkan rela dihukum mati saja oleh p
“Bahkan waktu pun tak hendak mengurai tubuhmu, Inyiak…” Buyung Kacinduaan menghela napas dalam-dalam.Entah disebabkan pengaruh suhu yang sejuk di dalam gua tersebut yang menjadikan jasad si Harimau Putih Bermata Biru itu terawetkan, atau pula ada penyebab lain.Yang pasti, untuk sekarang ini, Buyung tidak bisa berpikir banyak. Kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk ia memikirkan penyebab dari bangkai itu tidak membusuk sama sekali.Untuk sesaat, Buyung duduk berlutut menghadap jasad sang harimau putih, tua tangan bersitekan ke lututnya demi menopang tubuh yang sudah lemah.Bagaimanapun, ia harus mendapatkan makanan, ia harus mengisi perutnya, atau ia pun akan menemui kematian sebagaimana dengan jasad di hadapannya itu.Lalu, tatapan Buyung tertuju pada karambit yang tergeletak di lantai, di sisi kanan depan dari posisi ia duduk berlutut dengan kepala menekur.Lama memandangi benda tajam itu, tiba-tiba Buyung terperang
Butuh waktu dua puluh tujuh hari bagi Buyung Kacinduaan untuk menghabiskan semua daging di tubuh sang harimau putih, hingga kini yang tersisa dari sang Penunggu Lembah Ngarai Sianok itu hanyalah tulang belulang dan kulitnya yang berbulu tebal.Selama waktu itu pula Buyung melakukan kegiatan yang sama. Ia tidak lagi mengonsumsi cacing-cacing bercahaya itu, atau pula empedu ular berbisa.Tidak sama sekali.Setiap pagi, setelah ia memakan sekepal daging sang harimau, Buyung akan mengulang semua gerakan-gerakan yang ia pelajari. Gerakan-gerakan dari sang harimau putih sendiri yang terekam dengan sangat baik dalam ingatannya.Sang pemuda berlatih silat hanya berdasarkan insting dan kecerdasannya saja, di dalam gua itu yang menjadi saksi bisu akan kegigihan pemuda tersebut.Setelah berlatih dan menciptakan gerakan-gerakan pukulan, telapak, dan cakar, juga gerakan-gerakan kaki seharian, Buyung akan keluar dari dalam gua selalu di setiap sore. Dan melanjut
Di ambang mulut gua itu, Buyung Kacinduaan menghirup udara dalam-dalam, berdiri tenang untuk sesaat.Rambutnya yang hitam legam dan panjang sepunggung itu riap-riapan diembus sang angin. Buyung membawa sedikit kenangannya bersama sang harimau putih. Yakni, pada pergelangan kedua tangannya yang tertutup bulu harimau putih itu sendiri, lalu pada pinggangnya yang menahan celana komprang usang itu.Itu saja yang ia ambil dari bulu sang harimau putih sebagai pengingat baginya bahwa ia pernah dilindungi oleh sosok yang telah sangat lama disakralkan para penduduk.Dengan telapak kaki dilapisi terompah yang terbuat dari jalinan kulit kayu, Buyung akhirnya meninggalkan mulut gua tersebut.Sekali lagi ia melirik ke arah gua yang tersembunyi oleh kerimbunan semak belukar tersebut sebelum akhirnya ia melangkah ke arah utara.Ya, utara. Setidaknya, dalam masa sepuluh tahun itu, Buyung sudah mencoba mengingat-ingat dan memetakan di dalam kepalanya setiap sisi le