“A-Anda sungguh serius … dengan ucapan Anda barusan?” tanya Ranesha dengan suara yang sedikit bergetar, ia sudah mulai goyah. Namun, tidak ada satu titik pun air mata yang mengalir dari netra hezelnutnya yang indah itu. Perempuan tegar ini masih berusaha untuk mempertahankan harga diri yang sudah dijatuhkan oleh Hail begitu sangat jauh sampai ke dasar bumi.
“Kenapa tidak? " Wajah yang datar. Tatapan yang dingin sampai menusuk ke tulang belulang. Ekspresi yang sangat amat Ranesha benci, pandangan seseorang yang merendahkan, dan tidak memiliki barang sedikit pun rasa peduli … apalagi empati. Kini semua hal itu ada pada diri sosok pria yang begitu Ranesha cintai. Hail Delmara.
“Kau yang salah, Nona Ranesha Seibert. Harusnya dari awal, kau tidak mendekati suami orang. Ini adalah hukuman dari Tuhan untuk perempuan sepertimu.” Hail kembali melemparkan kalimat yang bagaikan belati, menusuk dan mancabik sa
“Hoaamm ….” Mata dengan netra abu-abu itu terlihat terkantuk-kantuk, sang pemilik tubuh baru saja menguap lebar, merenggangkan otot-otot badan yang terasa kaku.“Alexi!” panggil sebuah suara dari arah pintu depan.“Hm?” sahut malas pemuda yang memiliki warna rambut senada dengan matanya, abu-abu.“Kau tidak pulang? Masih betah di sini? Ayolah, pekerjaan itu bisa dilanjutkan besok!” seru suara lain lagi dengan nada yang cukup tinggi.“Hah … Bryan, Rayhan.” Alexi masih terlihat enggan untuk menoleh pada lawan bicaranya. Ia masih begitu sibuk memandang layar komputer di meja kerja. “Kalau kalian di sini hanya untuk menggangu. Lebih baik kalian berdua pergi saja sana, hush!” usir Alexi mengibaskan tangannya sekilas.“Wah, dasar orang gila kerja!” caci Rayhan dengan wajah mencibir. Ia men
Tujun tahun yang lalu. Di universitas X.“Hic … Hic … ah, sia—l!” maki seorang pemuda dengan wajah memerah yang tengah cegukan dan berjalan sempoyongan, tak tentu arah. Kadang tubuhnya oleng ke kanan atau oleng ke kiri secara tak karuan.“Di … mana jalan, huh? Hic—pulang, haha … hehe … di mana ya?” racunya sambil menyengir kuda. Dia adalah Alexi, dengan rambut asli yang pirang dan berkacamata besar. Pemuda ini tadi dipaksa minum sampai melewati batas diri oleh para senior di kampus. Merasa puas sudah menertawakan Alexi, orang-orang biadab itu pun langsung pergi.Ah, tidak pergi begitu saja sih. Mereka menyeret Alexi entah ke mana dan melempar pemuda malang itu bagai sampah jalanan. Di dalam kepala Alexi, mungkin ini adalah akibat dari dirinya yang sengaja menyembunyikan identitas. Seorang anak tunggal dari salah satu konglomerat terkenal. Seharusnya A
Kemabli ke masa sekarang. Di mana ada Alexi yang hanya dapat terdiam saat ditabrak dan jatuh terjungkal oleh Ranesha. Saat melihat perempuan itu menangis sambil berlari dengan brutal, Alexi tadi jadi ingat sekilas tentang pertemuan pertama antara ia dan Ranesha di masa lalu.Orang pertama dan perempuan satu-satunya yang mengulurkan tangan dengan perasaan tulus pada Alexi. Mata selalu berkata jujur. Saat itu meski dalam pengaruh alkohol, Alexi bisa tahu bahwa Ranesha tidak mengharapkan imbalan apa-apa darinya. Karena perempuan itu benar-benar murni melakukan kebaikan.Alexi yang polos di masa lalu … langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. “Dan sialnya aku sampai sekarang masih juga terjebak di sana,” beo Alexi pelan. Mulai berdiri dan menepuk-nepuk pakaian yang ia kenakan.“Jadi kau akhirnya mencampakkan Ranesha, ya?” Mata Alexi terarah pada sebuah tombok yang jika ditembus, ada ruang k
“Jadi bagaimana? Mau memanfaatkan aku?” tanya Alexi setelah menyampirkan mantel tebalnya pada Ranesha. Mata abu itu terlihat begitu serius. Tidak ada titik kebohongan barang sedikit pun yang bisa Ranesha temukan di sana.Namun, tetap saja perempuan ini tidak bisa mengerti apa motif dari tindakan Alexi yang mendadak seperti ini. Entah ke mana hilangnya semua rasa sesak yang Ranesha rasakan tadi. Kini semuanya berganti dengan rasa tak karuan dan keheranan akan tingkah laku Alexi.“Kau … bicara apa?” Ranesha mengeratkan mantel yang tadi dipakaikan untuknya. Baru ia sadar akan suasana dingin di sekitar yang menghunus dan menusuk tajam sampai ke tulang."Ah, j-jadi ...." Telinga Alexi tiba-tiba memerah. Ia menjilat bibirnya yang kering agar basah, menunduk gelisah dan menggaruk kepala seperti sedang dilemparkan pertanyaan mematikan saat sedang wawancara.Harus kah ia melakuk
O-Orang gila ….Bibir Ranesha terasa sangat kelu, ia tidak tahu lagi harus merespon seperti apa pernyataan sekaligus tawaran yang diberikan oleh Alexi. Memang di sisi lain perempuan ini butuh tempat pelarian, ia sangat ingin keluar dari lingkaran setan cinta berbelit antara dirinya, Hail, Meriel, dan juga Aron.Namun … apa benar kalau jawabannya adalah Alexi?Ah, tidak. Ranesha menggeleng keras. Ia harus menghentikan pemikiran sampah seperti itu. Bukanlah kebenaran menjadikan seseorang sebagai pelarian hanya karena kau sudah sakit hati dan orang tersebut mencintai dan memberikanmu penawaran. Ranesha tidak ingin menjadi orang sejahat itu. Hanya karena ia disakiti terus menerus, tidak akan membenarkan alasan untuk menyakiti orang lain juga, apalagi mempergunakannya.Ranesha menguk ludah. Ia harus menolak lelaki rapuh di hadapannya saat ini juga? Padahal Ranesha sendiri begitu sangat memah
“Saya mencintai Anda meskipun Anda membenci saya. Dan saya juga membenci diri saya sendiri karena sudah jatuh hati pada Anda.” Hail meremas kertas yang dikirimkan Ranesha bersamaan dengan surat pengunduran diri perempuan yang kini berstatus sebagai mantan sekretarisnya itu.Hari ini Hail menutup rapat ruang kerjanya bagai tempat yang tidak boleh disentuh oleh siapa pun. Diakibat karena seharian ini Hail mendapat ratusan pertanyaan, baik itu secara langsung maupun melalui telepon. Perihal sekretaris piawai yang tiba-tiba mengundurkan diri, memilih pergi dari Delmara Company. Bahkan ada kabar simpang siur yang menyatakan bahwa Ranesha sebenarnya tengah mencari rumah baru. Seperti perusahaan Seibert, tempat di mana ayah Ranesha sendirilah yang bertahta sebagai penguasa.Gila.“Memusingkan saja.” Hail membuang surat yang Ranesha selipkan di buket bunga tadi. “Sial!&rdqu
“Ada yang ingin kau bicarakan, Meriel? Harusnya kau istirahat saja. Apa kau sudah lupa yang dokter katakan waktu itu? Janinmu—maksudku, anak kita … dia masih dalam kondisi yang tidak stabil. Kau sebagai ibunya harus banyak-banyak istirahat.” Hail berceramah panjang kali lebar, sambil mengambilkan segelas air putih, memberikannya pada Meriel, lalu duduk di samping sang istri.Bahaya. Hail bahkan tidak bisa merasakan apa pun lagi terhadap Meriel. Debaran jatuh cinta atau pun gairah yang menggelora, semuanya sudah tidak ada Hail rasakan lagi selain pada Ranesha. Ini sangat menyiksa. Ia harus terjebak tinggal dengan bersama orang yang dulu pernah Hail cinta. Perihal kecantikan Meriel yang dulu sangat ia kagumi pun telah sirna. Berganti dengan rasa rindu yang sangat berat pada Ranesha.“Anak kita sedang rindu ingin melihat wajah ayahnya.” Meriel bergeser untuk lebih mendekat, lalu memeluk lengan Hail yang suda
Ranesha sudah menumpahkan segala keluh kesah gundah gulananya pada sang ayah waktu itu. Tentu saja Caspian sempat mengamuk dan hendak menyerang langsung ke rumah Hail. Namun, Ranesha tidak mengingankan hal tersebut. Ia mati-matian menahan Caspian dengan air mata yang berderai.Caspian memang luluh dan kembali tenang. Hanya saja, Ranesha tidak dapat menghentikan niat ayahnya itu yang ingin menarik semua investasi kepada Delmara Company. Karena alasan Caspian menjabat sebagai salah seorang investor tertinggi di sana hanya demi Ranesha. Kalau putri semata wayangnya itu sudah tidak bekerja dengan Delmara Company lagi, maka Caspian tidak memiliki alasan untuk membantu perusahaan tersebut.Meski hasil yang ia dapat dari saham yang Caspian miliki di Delmara Company cukup besar. Sang ayah sudah tidak peduli lagi. Baginya, kebahagiaan si putri kecil lebih utama dari pada harta. Caspian tidak ingin memiliki hubungan dengan orang yang sudah menyakiti R