Share

Bab 2. Dibawa Ke Tempat Asing

Laki-laki yang tak lain pembunuh dari seluruh keluarganya itu hanya menunjukkan smirknya saat melihat wajah Nara yang terkejut ketika melihatnya.

Nara menggenggam dengan erat kedua tangannya dan menaruhnya di depan dadanya, karena saat ini dia benar-benar merasa ketakutan. Tanpa sadar Nara kembali berjalan mundur ke arah pohon besar tadi, sedangkan Zico, dengan santainya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan berjalan maju mendekati Nara, dengan smirknya yang tidak dia hilangkan.

“To-tolong ja-jangan mendekat,” pinta Nara dengan terbata-bata.

Bukannya merasa kasihan, Zico justru memamerkan seringai iblisnya dan terus melangkahkan kakinya mendekati Nara dengan santainya.

Nara tersentak saat menyadari bahwa punggungnya sudah menempel ke batang pohon besar tempat persembunyiannya tadi. Dia sudah tidak bisa berkutik lagi, karena dia sudah terkurung sekarang, dan dia sangat yakin bahwa ini adalah akhir dari hidupnya. Laki-laki di depannya ini pasti akan segera menghabisinya.

Tubuh Nara semakin bergetar ketakutan, saat melihat Zico sudah semakin dekat padanya.

“Kenapa kau berhenti, apa kau sudah menyerah?” tanya Zico dengan entengnya. “Ohhh, kau sudah terjebak ya. Hah, benar-benar seekor tikus kecil. Kau memang tidak pandai bersembunyi," lanjutnya.

Nara tidak meladeni perkataan laki-laki yang menurutnya sekejam iblis ini, dia hanya menangis terisak dengan tubuh yang sudah bergetar dengan hebatnya pula.

Nara semakin dibuat ketakutan saat dia merasakan sakit di wajahnya ketika satu tangan laki-laki itu menjepit pipinya. “Ahh sa-sakit,” ringisnya.

“Sakit?” Zico semakin mengencangkan jepitan tangannya pada pipi Nara. “Aku akan tunjukkan padamu, seperti apa itu rasa sakit yang sebenarnya!” lanjutnya dengan tatapan penuh api amarah.

“Jo!”

“Baik Tuan.”

Zico lalu melepaskan tangannya dari wajah Nara dengan kasar dan berjalan lebih dulu, sedangkan Jo dan anak buahnya berusaha untuk membawa Nara masuk ke dalam mobil.

"Lepaskan, kalian mau membawaku ke mana?” Nara terus mencoba memberontak, dia tidak mau ikut dengan orang-orang yang tidak dia kenal. Terlebih orang-orang ini telah membunuh semua keluarga yang disayanginya. Namun sayangnya, sekuat apa pun Nara memberontak, dia tetap tidak bisa melepaskan diri dari pegangan Jo yang tenaganya jauh berkali-kali lipat lebih kuat dari dirinya.

Jo membuka pintu mobil dan memasukkan Nara dengan paksa ke dalam mobil bagian belakang, di sana sudah ada Zico yang duduk dengan tenangnya. Setelah itu, Jo juga masuk ke dalam mobil, dia duduk di bagian kursi kemudi lalu melajukan mobilnya.

Selama di perjalanan entah ke mana, Nara terus menautkan kedua tangannya, terlihat kedua tangannya saling meremas satu sama lain, hal itu dia lakukan untuk sedikit menghilangkan rasa takutnya.

Dalam ketakutannya, Nara memberanikan diri untuk sesekali melirik ke arah Zico yang berada di sampingnya. Dia melihat pria di sampingnya ini duduk dengan angkuhnya seakan-akan semua yang terlihat pada jangkauannya adalah miliknya, dan siapa pun yang berani menghalanginya akan kehilangan nyawanya tanpa bisa membela diri.

“Sudah puas melihatnya?” tanya Zico dengan dinginnya.

Nara tersentak saat mendengar pertanyaan yang Zico lontarkan padanya. Dengan cepat dia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, tanpa menjawab pertanyaan Zico.

Namun, Nara kembali dibuat terkejut saat Zico meraih dagunya dan menghadapkan wajahnya ke arahnya. “Heh, wanita! Kau sungguh berani!” ujarnya seraya menunjukkan seringaian iblisnya.

Glek, Nara menelan salivanya dengan susah payah. Saat dia mendengar ucapan Zico yang menurutnya sangat menakutkan, ditambah dengan seringaiannya yang membuat kesan menakutkan dari Zico semakin terpancar.

“Kita sudah sampai Tuan,” ucap Jo yang memberhentikan mobil mewah berwarna hitam itu tepat di depan pintu mansion yang juga begitu mewah.

“Turun!” titah Zico kepada Nara.

Nara yang mendengar perintah Zico hanya menggeser tubuhnya semakin menjauh darinya, dengan ekspresi ketakutannya yang begitu jelas, membuktikan bahwa dia tidak berniat untuk mematuhi apa yang Zico perintahkan.

“Apa kau tidak dengar! Aku bilang turun!” suara Zico semakin meninggi, saat Nara masih tetap bergeming di tempatnya, yang dia lakukan hanya semakin memojokkan dirinya ke dekat pintu sampingnya untuk menjaga jarak dari Zico.

“A-aku tidak mau, aku tidak tahu kalian me-membawaku ke mana,” jawabnya dengan terbata-bata.

“Wanita, kau benar-benar menguji kesabaranku!” Zico keluar lebih dulu dari dalam mobilnya. Dia memutari mobilnya dan membuka pintu mobil yang ada di samping Nara.

Nara terkejut bukan main, saat Zico membuka pintu mobil di sampingnya dan menarik tangannya dengan paksa agar keluar dari mobil.

“Bukankah aku sudah bilang, kau sudah menguji kesabaranku. Maka inilah yang kau terima!" marahnya.

Nara meringis kesakitan saat merasakan cengkeraman tangan Zico yang begitu kuat di lengannya. “Lepas, lepaskan aku! Kau ingin membawaku ke mana?” Nara terus memberontak, dia tidak tahu sekarang dia ada di mana dan apa yang akan dilakukan orang-orang ini padanya.

Zico tidak terpengaruh sama sekali dengan berontakan yang dilakukan oleh Nara, terbukti dengan tangannya yang tidak berpindah sama sekali dari tempatnya tadi mencengkeram.

Namun Nara juga tidak semudah itu menyerah, dia terus memukul-mukul tangan Zico yang mencengkeram lengannya, dia berharap dengan seperti itu, Zico akan melepaskan cengkeraman tangannya darinya. “Lepaskan aku! Kenapa kau melakukan ini, apa salahku? Siapa kau sebenarnya?”

Zico membuka sebuah pintu kamar dan menutupnya kembali dengan sangat keras, dia lalu melempar tubuh Nara ke atas tempat tidur yang berukuran king size itu, hingga membuat Nara terpelanting dan terkejut karenanya bahkan sampai memperdengarkan sebuah ringisan.

“Kau bertanya apa salahmu?” ucap Zico.

Nara yang menyadari suara dingin dan berat itu langsung tersadar dan dengan cepat bangun dari posisinya, dia menggeser tubuhnya hingga ke pojok tempat tidur untuk menjauhkannya dari sosok laki-laki iblis yang ada di hadapannya.

“Salahmu adalah karena kau seorang putri dari Aryo Suharja!” lanjutnya dengan suaranya yang meninggi.

Pupil mata Nara melebar saat mendengar ucapan Zico yang membuatnya tidak mengerti. “Apa yang kau katakan? Memangnya kenapa jika aku putri dari papaku, aku bangga menjadi putrinya. Papaku adalah papa terbaik di dunia!” teriak Nara membela papanya.

“Ha ... Hahahahaha, ckckck memang anak yang sangat sayang kepada orang tuanya. Bahkan sampai buta dengan sikap asli dari ayahnya sendiri.”

“Aku tidak buta! Papaku memang papa terbaik di dunia. Dan kau tidak bisa menghinanya bahkan menghilangkan nyawanya begitu saja.” Air mata Nara kembali menetes saat mengingat kedua orang tua dan juga adiknya yang terkulai penuh darah.

“Baiklah, anak yang baik. Sekarang bagaimana jika kau menebus kesalahan dari papamu padaku, tebuslah semuanya sampai aku merasakan kepuasan hingga amarah dari dalam diriku ini menghilang,” tukasnya.

“A-apa maksudmu?” Nara kembali bertanya, karena dia sama sekali tidak mengerti apa maksud dari Zico.

Zico tidak menjawab pertanyaan Nara, dia hanya memperlihatkan smirknya dan mulai melangkahkan kakinya perlahan mendekati Nara.

Nara semakin merasa was-was dengan tindakan Zico, dia duduk meringkuk dan melindungi tubuhnya dengan kedua tangannya. “Ja-jangan mendekat,” pintanya dengan suara terbata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status