Kiyara mulai mencuci beras yang hendak ia olah menjadi bubur. Sesaat sebelum menyalakan kompor gas, ia memperhatikan indikator gas yang nyaris menyentuh garis merah. Badannya langsung merasa lemas. Jangan dulu, Tuhan. Jangan habis dulu. Ijinkan aku memasak bubur ini untuk makan malam suami dan anakku, bisik Kiyara sambil sedikit terisak.
Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop kompor gas. Matanya terpejam sebelum akhirnya bunyi klik terdengar. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan. Api biru menyala, menjilat-jilat pantat panci yang berisi air dan beras yang sudah ia beri bumbu sebelumnya. Diaduknya perlahan sambil bibirnya tak henti-hentinya merapal doa, berharap bubur itu matang sebelum akhirnya kompor itu mati.
Suara ketukan mengejutkannya. Ia buru-buru membukakan pintu, karena ia tahu jam-jam ini adalah waktu Bian pulang dari berkeliling menjual produknya. Wajahnya langsung ia tata sedemikian rupa, mengira-ira senyum manis yang akan ia tampakkan di hadapan suami tercinta. Wajah kuyu Bian langsung cerah begitu melihat senyum manis Kiyara menyembul dari balik pintu.
"Mas," sapa Kiyara lalu meraih tangan kanan Bian dan menciumnya dengan takzim.
Bian tersenyum sekaligus bersedih. Wanita secantik Kiyara belum juga bisa ia bahagiakan hingga detik ini. Harapannya untuk membawa pulang berlembar-lembar kertas merah kembali pupus. Ia hanya mampu membawa dua lembaran biru untuk hari ini. Diciumnya kening Kiyara dengan penuh perasaan sembari mengucap maaf berulang kali dalam hati.
"Masak apa hari ini, Cantik?" panggilan sayang Bian setiap kali ia pulang ke rumah sehabis berkeliling seharian.
Dan Kiyara, meski sudah hidup bersama pria tampan itu selama sepuluh tahun, tetap saja tersipu malu mendengar sapaan suaminya.
"Bubur kare, Mas. Mas suka kan?" jawab Kiyara sembari menarik tangan Bian untuk masuk ke dalam dapur. Ia lupa jika bubur yang ia masak belum matang, dan saat langkah kakinya menapak di lantai dapur, api yang tadi menyala biru kini mulai meredup. Kiyara melepaskan tangan Bian dari genggaman tangannya, berjalan cepat menghampiri meja yang di atasnya terletak kompor yang tengah menyala dengan setengah harapan.
Kiyara kembali komat-kamit merapal do'a. Ia langsung meraih sendok yang sejak tadi memang berada di dalam panci. Beras yang tadi masih keras kini mulai tampak setengah matang, airnya pun sudah sedikit mengental dengan warna agak kekuningan. Aroma bumbu rempah menguar memenuhi dapur membuat perut Bian langsung bereaksi. Ia berjalan mendekati Kiyara. Ia paham mengapa istrinya tampak begitu panik. Dengan tenang, ia mengambil alih sendok yang dipegang oleh Kiyara.
"Sini, biar Mas yang mengaduk. Kamu buatkan Mas teh panas saja. Jangan terlalu manis, ya?!" ucap Bian dengan suara lembut.
Kiyara terdiam. Usahanya untuk menutupi agar Bian tidak tahu jika gas yang ia gunakan untuk memasak bubur sore itu hampir habis, gagal. Suaminya itu tahu, dan kini justru menggantikan dirinya mengaduk bubur yang seharusnya sudah siap di meja makan dan menunggu untuk disantap bersama.
"Kok malah diam di situ? Udah sana, nggak apa-apa. Nggak akan kualat, kok." Bian menatap heran Kiyara yang tetap bergeming di tempatnya.
"Kiya??!" panggil Bian untuk kesekian kalinya, membuat Kiyara mengangguk-angguk menutupi rasa malunya. Dengan cepat, ia membuat segelas besar teh panas dan menghidangkannya di meja makan. Ia pun menyiapkan mangkok-mangkok berukuran beserta sendoknya, lalu meletakkannya di meja makan.
"Sudah matang buburnya. Mas tinggal mandi dulu, ya. Kamu siapkan di atas meja dan panggillah anak-anak untuk makan malam bersama," ucap Bian ke luar dari dapur dan melangkah ke kamar mandi.
-0-
"Ma, Boleh nambah buburnya lagi nggak?" tanya Ayu, anak sulungnya yang berusia 7 tahun bertanya kepada Kiyara saat mangkoknya sudah kembali kosong.
"Bagas juga mau, Ma." Bagas, adik Ayu berusia 5 tahun, menyerahkan mangkok kosongnya pada Kiyara.
Kiyara tersenyum. Tidak apalah. Biarlah anak-anakku menghabiskan bubur yang masih setengah itu, besok makan apa biarlah jadi urusan esok hari, batin Kiyara. Bubur itu sengaja ia bagi dua, rencananya akan ia sisihkan untuk sarapan pagi besok. Namun, melihat kedua anaknya masih kelaparan, mau tidak mau naluri keibuannya terusik. Nanti malam, ia akan melaporkan kepada suaminya tentang tempat beras yang kini sudah kosong melompong.
Bian sudah lebih dulu menghabiskan buburnya. Kini pria itu tengah beristirahat di ruang tamu, sedangkan Kiyara menemani kedua anaknya menyelesaikan makan malam mereka.
"Habis ini lanjutkan belajar kalian ya, terus siapkan pelajaran besok lalu berangkat tidur," ujar Kiyara sembari membereskan meja makan kepada Ayu dan Bagas.
"Iya, Ma," jawab keduanya serempak, melangkah meninggalkan meja makan, masuk kembali ke kamar mereka.
Kiyara bergegas mencuci semua piring kotor lalu menyusul Bian ke ruang tamu. Dilihatnya pria tampan itu masih berkutat dengan ponselnya. Ia tahu jika suaminya itu kelelahan namun pria itu tidak lantas tidur, mengistirahatkan tubuhnya.
"Nggak tidur, Mas?" Kiyara menghampiri Bian yang tidur di kursi panjang dengan kepalanya menyandar di lengan kursi yang sudah diberinya bantal.
Bian berdeham dan menggeleng. "Belum ngantuk," jawabnya singkat. Jarinya kembali sibuk mengetik kata-kata penawaran di toko online miliknya.
"Sudah ada yang pesan?" Kiyara mengangkat kedua kaki Bian lalu duduk di bawahnya, meletakkan kedua kaki suaminya itu diatas pangkuannya. Ia mulai memijat-mijat kaki Bian.
"Kamu kok tahu kalau kaki Mas pegal sekali," ucap Bian sembari memejamkan mata menikmati pijatan demi pijatan yang diberikan Kiyara. Ia menghela nafas lalu menggelengkan kepalanya."Belum deal, sih. Masih nanya-nanya dulu."
Kiyara menganggukkan kepalanya dan tidak lagi mengajukan pertanyaan. Setelah diam sejenak, wanita cantik itu menghentikan pijatannya. Bian mengangkat kepalanya, melihat ke arah istrinya yang kini tengah menundukkan kepala sedang jari-jarinya saling memijat satu sama lain. Bian segera menurunkan kakinya dari pangkuan istrinya. Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Kiyara.
"Ada apa?" Bian menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi kedua mata lentik Kiyara. Pria itu lalu bangkit dari duduknya, melangkah ke dalam menuju ke kamar lalu kembali lagi. Ia lantas membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran biru dan meletakkannya ke dalam genggaman tangan Kiyara.
"Hari ini baru bisa bawa segini. InsyaAllah, besok bisa dua kali lipat dari ini." Bian tersenyum melihat Kiyara mengangkat wajahnya."Tidak apa-apa kan?" Bian kembali membetulkan letak rambut Kiyara yang melambai menutupi wajah cantik istrinya itu.
Namun wajah Kiyara masih tampak sendu, memancing kernyitan di kening Bian. "Ada masalah lain?" Ia terus memperhatikan wajah istrinya. Tidak biasanya istrinya diam seperti ini ketika ia memberi uang hasil jualannya hari ini.
"Itu... Jawaban. Kak Ardi menantikan jawaban kita. Tadi bolak balik telpon, tapi Kiya nggak berani mengangkat."
"Lah? Nggak angkat telponnya tapi kok bisa tahu kalau Kak Ardi menagih jawaban kita?" Bian menatap Kiyara dengan penuh tanya. Apakah iparnya itu akhirnya datang lagi ke rumah ini setelah panggilan telponnya tidak diangkat Kiyara.
"Apa Kak Ardi datang lagi kemari?"
Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. "Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya. Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku sebuah boneka? Apaka
Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati."Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya."Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-
Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah