[Kalian sudah kembali?]Freya yang sudah mulai disibukkan oleh pekerjaannya menatap sepenggal pesan dari Igor yang tampaknya nyasar ke ponselnya dengan kening berkerut samar. Belum sempat dia membalas pesan itu, nama pria itu telah lebih dulu melakukan panggilan telepon kepadanya. "Halo," sapa Freya. [Kamu dimana?]"Di ruangan," jawab Freya dengan kening berkerut dalam. [Aku mencari Fiona, tapi kok dia tidak ada di ruangannya?]Kening Freya semakin berkerut ketika mendengar ucapan Igor. Dia lalu melirik jam tangannya. Satu jam telah berlalu sejak jam istirahat berakhir. Bukankah harusnya Fiona sudah kembali? " ... "Freya tidak lansung menanggapi pertanyaan yang diajukan Igor. Sebab, dia dihantui perasaan ragu sesaat. Tadi Fiona berpesan padanya untuk tidak memberitahu Igor perihal Fiona yang hendak bertemu dengan ibu dari pria ini. "Gor, sebentar dulu!" ujar Freya seraya memutus sambungan telepon tanpa persetujuan dari Igor. Begitu sambungan telepon terputus, Freya langsung me
"Jangan bergerak!" desis Zoya sembari mengetatkan genggamannya pada pisau lipat yang kini ditodongkan ke leher Fiona. " ... "Berada di bawah ancaman Zoya membuat hati Fiona meregang tak terima. Dia sangat membenci wanita yang sudah melewati batas ini. Namun, dalam posisinya saat ini, Fiona hanya bisa berkompromi. Apalagi dengan luka sayatan yang walau kecil di wajahnya, tapi sudah menghasilkan rasa perih. "Maaf, Bang. Saya akan pura-pura tidak tahu. Kalian lanjutkan saja!" ujar Max. Dia perlahan mengambil langkah mundur teratur ketika dua orang pria bertampang preman itu terus melangkah mendekatinya. "Jangan biarkan dia pergi!" teriak Sheila geram.Kedua pria itupun mempercepat langkah mereka untuk menghalangi Max yang berniat kabur. Akan tetapi, Max bukanlah lawan yang mudah bagi mereka berdua. Setelah keluar dari bidang pandang dua wanita itu, Max segera melakukan aksinya. Max memecahkan botol miras kosong yang ada di tangannya di kepala dua preman amatir itu. Dengan kepalan t
"Lepaskan aku!" raung Zoya dengan marah ketika dia hendak diamankan oleh polisi. "Fiona brengsek!" makinya dengan keras. Ada penyesalan di dalam hatinya karena telah ragu-ragu menghancurkan wajah Fiona. Di sepanjang jalan Zoya terus memberontak berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi, dimana kekuatannya bisa melawan polisi yang sudah terlatih. "Pak, ini semua kesalahpahaman. Tadi itu kamu hanya bermain-main saja!" ujar Zoya.Sheila yang telah lebih dulu tertangkap hanya bisa mendengus mendengar ucapan bodoh Zoya. "Pak, ini semua benar-benar salah paham!" pungkas Zoya sambil terus memberontak hingga dia masuk ke dalam mobil polisi. "Terima kasih, Pak!" ujar Igor pada kedua polisi yang mempercayai laporannya dan segera mengambil tindakan. "Sama-sama, Pak Igor. Ini memang sudah tugas kami!" timpal Pak Polisi itu. "Bagaimana dengan Mbak Fiona? Apa dia bisa mengikuti kamu ke kantor polisi untuk memberikan keterangan?" tanya Polisi yang satunya lagi. " ... "Igor tidak mengambil
Jaya yang sedang mencoba untuk menata kembali hidupnya dibuat mengernyit kala melihat nama Fiona terpampang pada layar ponselnya. Dia pikir, sang mantan istri tidak akan pernah lagi menghubunginya. "Ada apa?" tanya Jaya langsung begitu sambungan telepon terhubung. [Aku cuma mau kasih tahu kamu, kalau Mbak Zoya ada di kantor polisi,]"Kantor polisi?" tanya Jaya memastikan dia tidak salah dengar. [Iya,]"Kenapa dia bisa ada di kantor polisi?" tanya Jaya dengan sebuah firasat buruk di hatinya. Bahkan sebelum Fiona memberikan jawaban, Jaya sudah mulai merasakan pelipisnya berkedut pusing. [Dia menculikku, dan hampir saja mencelakaiku,]" ... "Jaya tidak bisa berkata-kata mendengar laporan ini. Rencananya untuk bisa hidup tenang tampaknya tidak akan terwujud dalam waktu dekat. [Sekedar informasi, aku tidak berniat untuk mencabut laporan!]Setelah selesai mengungkapkan maksudnya, Fiona langsung memutus sambungan telepon. Meninggalkan Jaya yang hanya bisa terbengong menatap layar ponse
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m