Fiona baru saja berbaring tengkurap di atas ranjang empuknya ketika sebuah pesan masuk muncul di layar ponselnya. [Masak cepat!]Isi pesan itu yang kemudian diikuti oleh notifikasi transfer uang sejumlah 2 juta ke akun m-bankingnya. "Cih!" Fiona mencibir. [Cepat!]Belum sempat Fiona beranjak dari kasurnya, pesan lain bernada menuntut kembali masuk ke ponselnya. Dengan sudut bibir yang miring karena sinis, Fiona tetap berjalan keluar dari kamar menuju dapur untuk memasak. Hari ini mata Fiona terbuka lebar. Dia baru tahu kalau pria ini memiliki cinta sebesar itu untuk Mbak Zoya. Hanya untuk menghormati mertuanya, pria pelit ini sampai rela merogoh kocek cukup dalam agar Fiona bersedia memasak untuk rombongan keluarga istri barunya itu. Dulu giliran dia aja, duit sejuta harus dihemat-hemat selama sebulan. Harusnya tadi dia minta lebih banyak! Fiona menggelengkan kepala geli pada diri sendiri. Demi menanti pertunjukan menarik, dia sampai rela memasak demi keluarga madunya itu. "Fio
"Hah? Hilang? Kok bisa?!" jerit paman Rusdi dengan berlebihan. Percikan ludah bahkan terlihat nyata terbang ke atas piring di depannya. Keributan yang disebabkan pria ini membuat nafsu makan semua orang lenyap seketika. 'Aelah, mau makan siang doang banyak bener lika-likunya.' dumel Fiona sambil meletakkan sendoknya di atas piring, dan terus mengikuti pertunjukan di depannya. "Kamu bohong, ya? Sengaja biar pamanmu ini tidak bisa meminjamnya?!" tuding paman Rusdi dengan marah. Dia bahkan sampai menunjuk-nunjuk Mbak Zoya dengan jari telunjuk bulatnya yang penuh dengan noda sambal. Zoya yang dituding dengan begitu tidak menyenangkan ingin menampar bibir pamannya ini. Satu kata lagi keluar dari mulut pria ini, Zoya yakin bahwa amarah yang sudah sampai di ubun-ubunya pasti akan meluap keluar. Braakk, Mas Jaya yang sejak tadi hanya bisa diam kini mulai kehilangan kesabaran. Dengan keras dia menggebrak meja makan hingga mengagetkan semua orang. "Tidak bisakah kita makan dengan tenang?
Keesokan hari, Zoya sedang bermalas-malasan di ruang keluarga sambil menonton televisi. Sekarang sudah ada ART yang mengerjakan pekerjaan rumah. Harusnya saat ini dia bisa pergi shopping atau ke salon untuk merawat diri. Tapi karena belum lama ini dia tertipu uang arisan karena ulah Fiona, mau tak mau dia harus berhemat. Dia tidak mau dianggap boros oleh Mas Jaya jika dia meminta uang lagi. "Assalamu'alaikum!" Ucapan salam yang datang dari luar membuat Zoya mendesah lelah. Suara akrab ini terdengar seperti bisikan kematian baginya. "Walaikumsalam!" jawab Zoya dengan ogah-ogahan. Dengan enggan dia kemudian beranjak dari sofa empuk yang dia duduki menuju pintu ruang tamu. "Kamu lama sekali buka pintunya!" sentak ibu mertuanya. " ... " Zoya tidak membalas. Dia hanya mempersilakan sang mertua masuk ke dalam rumah sambil mendumel dalam hati. Seandainya dia memiliki kegiatan lain di luar rumah, dia mungkin tidak akan sering-sering berhadapan dengan mertuanya ini. "Ibu dengar sekara
Jaya sangat menyadari bahwa setelah pernikahan keduanya ini, energi kehidupannya seperti disedot habis. Setiap hari pasti ada saja yang dikeluhkan oleh keluarganya. Mulai dari hal yang besar sampai hal yang paling kecil sekalipun dapat memicu perdebatan. Tak terkecuali hari ini, siang tadi dia mendapat telepon dari sang ibu yang mengeluh tentang istrinya. Dikatakan bahwa sang istri telah menghardiknya. "Mas, udah pulang?" sambut Zoya di teras rumah seperti biasanya. "Hm, tadi ibu ke sini?" tanya Jaya tanpa basa-basi sambil mengambil tempat duduk di kursi teras untuk membuka sepatunya. "Iya!" jawab Zoya singkat. "Ada apa lagi? Apa saja yang kalian obrolkan?" tanya Jaya dengan santai. Namun, istrinya itu tidak langsung menjawab. Hal ini membuat ruang di antara alis Jaya berkerut samar. Gelagat seperti ini selalu mendatangkan firasat buruk baginya. Dia paling benci disuruh memilih antara ibu atau istrinya. "Tidak bisakah kalian akur barang sehari aja sama ibu?" keluh Jaya sambil
Hari demi hari telah berganti. Satu bulan hampir berlalu sejak insiden perampokan mobil, lalu tertipu arisan, dan yang terbaru adalah tentang masalah pembantu itu. Meski sekarang hubungan Zoya dan sang suami sudah kembali akur, dan mesra lagi. Namun, dia tetap tidak berani meminta uang sebanyak 50 juta yang diminta pamannya pada Mas Jaya. Zoya merasa sekarang ini dia ada di Zona serba salah. Jika dia tidak memberikan uang 50 juta pada pamannya, maka para debt collector itu akan datang ke rumahnya. Namun, dia juga tidak berani meminta uang dalam jumlah sebesar itu pada Mas Jaya. Lagipula, harus dia jawab apa jika Mas Jaya bertanya untuk apa uang sebanyak itu, bukan? Dia juga tidak mungkin mengatakan bahwa dia akan menggunakan uang itu untuk membayar hutang judi pamannya. Siapa yang akan sudi melakukan hal ini untuknya? "Aarrrghh!" Zoya mengerang di sofa ruang keluarga sembari mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Sudah beberapa hari ini Zoya dilanda kerisauan. Dia tidak perna
Pagi menjelang, Hari ketika ancaman Paman Rusdi akhirnya tiba. Sepanjang malam Zoya tidak bisa tidur dengan nyenyak, sampai-sampai dia harus mendapat teguran dari Mas Jaya karena terus berbolak-balik di atas ranjang. Lingkaran hitam yang menggantung di bawah matanya pun tidak bisa disembunyikan. "Kamu kenapa? Belakangan ini gelagat kamu aneh!" tegur Mas Jaya yang kali ini melihat Zoya terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Seperti ada yang ingin dia ucapkan, tapi terlalu takut untuk disampaikan. "Anu ... " Zoya menggigit bibirnya dengan ragu. Jantung di balik dadanya sudah menghentak dengan keras. Berapa kalipun dia berpikir, Mas Jaya tidak mungkin akan memeberikan uang sebanyak itu padanya secara cuma-cuma. Jangan katakan cinta, bahkan dihadapan uang, terkadang cinta menjadi tidak begitu berarti. Belum lagi persoalan mobil yang dirampok bulan kemarin masih meninggalkan beban psikologis untuknya. Ditambah lagi mengingat sikap pamannya yang tak tau tata krama ketika datang b
Fiona sedang menghabiskan jam makan siang di ruangan Igor sambil menonton proses seisi rumahnya diangkut keluar. Video ini dikirimkan oleh salah seorang tetangga depan rumah yang cukup akrab dengannya. Melihat wajah frustrasi Mbak Zoya yang tertangkap kamera membuat Fiona ingin tertawa. "Sorry, Mbak. Aku harus melakukan ini," ucap Fiona tanpa perasaan. "Lalu apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Igor sambil menyantap makan siang yang sengaja dibuat Fiona untuknya. "Ssstt. Kamu diam. Jangan bernafas!" ucap Fiona dengan sedikit nada bercanda pada Igor sambil menempelkan telunjuknya pada bibir. Dengan patuh, Igor hanya menuruti keinginan Fiona, dan terus menyantap makan siangnya dengan nikmat. Sementara itu, Fiona mulai berdehem pelan sebelum menekan nomor telepon Mas Jaya. "Mas!" teriak Fiona begitu sambungan telepon terhubung. "Kamu kenapa sih pake teriak-teriak?" balas Mas Jaya sewot. "Istri kamu itu apa-apaan sih?!" ujar Fiona mengeluarkan nada marah. Dari tempat yang tidak
Jaya membawa mobilnya menembus jalan raya seperti orang yang sedang kesetanan. Dia tidak mempedulikan sang istri tercinta yang sudah mengkerut semakin ketakutan di kursi penumpang depan. Namun, bahkan jika dia ketakutan setengah mati, Zoya hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Dia tidak berani mengeluh. Hingga mereka sampai di rumah yang telah dibelikan Mas Agung untuk ibunya, mobil yang mereka kendarai akhirnya berhenti. Zoya keluar dari mobil dengan tubuh gemetar hebat. Akan tetapi, Lagi-lagi, dia hanya bisa berusaha untuk tetap tampil kuat. Dengan langkah tertatih, Zoya menyeret kakinya mengikuti Mas Jaya yang berjalan cepat di depan. "Assalamu'alaikum!" sapa Mas Jaya sambil mengetuk pintu rumah yang terlihat sepi. " ... ""Assalamu'alaikum!" teriaknya dengan keras disertai gedoran pintu yang semakin kencang. " ... "Tidak mendapat balasan dari sang pemilik rumah, Jaya lantas menoleh ke arah Zoya dengan alis terjalin rumit. "Kemana ibumu?" tanyanya tak sabar ketika melihat Z