Share

3. Perkenalan dalam Kelompok

Beberapa waktu pun berlalu. Pengarahan dari dosen koordinator sudah selesai. Beberapa pemuda kemudian berdiri dan saling mengeluarkan suara lantang.

“Kelompok Pahawang bisa berkumpul di sini!”

ucap Ridwan.

“Kelompok Mesuji.. mana yang kelompok Mesuji?”

“Liwa sini Liwa!”

“Maringgai? Ada yang Maringgai?”

suara para pemuda yang diperkirakan sebagai ketua kelompok itu terdengar meriuh memecah suasana hening semasa pengarahan dari dosen tadi.

Suasana ruangan itu kemudian riuh dengan suara-suara pertanyaan para mahasiswa dan seretan kursi lipat di lantai.

Ridwan, Ronco, Lili, Riris, Rianti, Wandi, dan Emmy pun berkumpul duduk membentuk lingkaran. Mereka saling memandang satu sama lain, mencoba mengenali wajah teman-teman sekelompoknya.

Emmy dan Rianti saling melempar senyum. Ronco dan Riris memperhatikan Ridwan bicara memberi informasi. Sedangkan, Wandi hanya sibuk pada ponsel yang ia pegang sedari tadi. Lili memandangi Wandi dengan sedikit kesal.

Setelah itu mereka saling berkoordinasi dalam satu grup W******p. Ada yang saling bertukar nomor WA antar pribadi, dan ada pula yang mengobrol akrab perihal pendapat mereka mengikuti program mahasiswa yang langsung terjun ke masyarakat pelosok itu.

Lili hanya bicara secukupnya. Yang terpenting adalah ia sudah dimasukkan ke dalam grup WA untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

Lili adalah mahasiswi yang paling detil memperhatikan dokumen. Ia sudah hafal isi buku panduan yang dibagikan karena sebelum acara pembekalan tadi dimulai, ia menyempatkan diri untuk membacanya sambil menunggu acara dimulai.

“Aduh, gimana ya kalau saat di lokasi sewaktu-waktu ada di antara kita yang punya keperluan pribadi urgent banget jadi harus pulang?”

tanya Rianti.

“Kalau seperti itu, maka semua anggota kelompok harus mengetahui salah seorang yang akan ijin pulang itu. Nanti di sana kan akan ada semacam induk semang. Nah, orang yang akan ijin pulang bersama ketua kelompok wajib berdiskusi dulu dengan induk semang,”

jelas Lili dengan nada yang mantap.

“By the way, Mbak. Kok elu tahu banget sih? emang Mbak sudah pernah ikut KKN sebelumnya ya?”

tanya Emmy kepada Lili.

“Enggak. Ini KKN pertama saya juga. Saya tadi sempat baca buku ini. Di sini dijelaskan kok,”

ucap Lili sambil mengangkat buku panduan KKN.

“Hemh.. Rajin,”

ucap Wandi sambil tersenyum miring seolah sedang mengolok Lili.

“Ya memang benar sih. Buku ini kan memang untuk dibaca. Kayaknya kita semua memang seharusnya baca buku ini sampai khatam sebelum berangkat,”

ucap Ronco.

“Yup, bener banget. Tapi teman-teman yang lain juga jangan ragu untuk membantu anggota yang kebingungan atau butuh bantuan. Ingat, kita ada dalam satu tim,”

ucap Ridwan.

“Dan bagi yang butuh bantuan.... juga jangan gengsi bilang ke teman-teman lain kalau sedang butuh bantuan! Jangan gengsi apalagi sok jago!”

ucap Riris sambil melirik tajam ke arah Wandi.

“Hah?”

Wandi tertawa kecil sambil menunjuk ke wajahnya sendiri. Ia lalu memalingkan wajah dengan mimik sombong dari arah Riris.

Proses saling mengenal pada pertemuan pertama antara mahasiswa itu berlangsung tidak begitu mulus. Masing-masing masih saling mempertahankan ego mereka.

“Aduh.. Tipe-tipe mahasiswa yang begini ni yang akan jadi beban kelompok! Kenapa aku harus satu kelompok dengan orang ini sih?”

keluh Lili membatin sambil memandangi Wandi.

“Gayanya sombong sekali. Ih, caranya memegang ponsel pun seperti itu. Biar apa sih? Biar semua orang tahu kalau ponsel itu ada logo apelnya? Memangnya dia siapa sih? Anak sultan?”

ucap Lili membatin.

“Lihat saja nanti. Menurut pengalamanku, orang yang sombong seperti ini akan susah menyesuaikan diri di pelosok. Ya, ampun.. Sepertinya benar, dia adalah beban dalam kelompok ini,”

ucap Lili membatin lalu memejam dan menepuk keningnya dengan telapak tangannya.

“Lu kenapa, Mbak Li?”

tanya Riris yang memperhatikan Lili.

“Enggak.. Enggak apa-apa. Kurang minum aja kayaknya. Jadi agak pusing sedikit gitu,”

jawab Lili kepada Riris lalu melirik Wandi.

******

Di halaman gedung usai keluar dari ruangan pada acara pembekalan KKN tadi.

“Syiiiiiiiiiiiiit...” (suara rem sepeda mountain-bike Lili)

“Ya ampun! Matanya kemana sih Mas?”

ucap Lili kesal kepada Wandi yang berjalan sambil memandangi ponsel yang ia pegang.

Wandi terus saja berjalan tanpa memberikan respon apapun kepada Lili. Lili masih berhenti dan memandangi Wandi.

Wandi berjalan menuju tempat parkir mobil. Ia merogoh sakunya kemudian menekan remot yang membuat lampu mobil double gardan-nya berkedip dan berdecit.

“Oh, jadi benar. Ternyata dia anak sultan! Awas saja nanti kalau sampai merepotkanku di lapangan!”

ucap Lili kesal.

“Wey.. Asik benar gaya Lo, Li. Pakai MTB ke kampus. Lo cewek loh padahal,”

ucap Ridwan yang tiba-tiba hadir mengejutkan Lili yang sedang memandangi Wandi dari kejauhan.

“Eh, Pak Ketua. Biasa aja sih, saya memang suka pakai ini di kampus,”

ucap Lili.

“Eh, tunggu! Tadi kamu bilang ‘aku cewek’. Memangnya kenapa kalau cewek? Apakah aneh kalau cewek pakai MTB?”

tanya Lili.

“Hehe.. Sekarang elo ada di mana, coba elo perhatikan! Lihat tuh, cewek-cewek sini tunggangannya roda empat. Takut kulitnya terbakar matahari,”

ucap Ridwan yang melemparkan pandangan mereka ke sekeliling.

“Hehe.. Iya.. Kalau begitu saya akan kembali ke habitat dulu. Saya duluan ya Pak Ketua..”

ucap Lili pamit. Ia kemudian langsung mengayuh sepedanya pergi.

“Lain kali jangan panggil gua ‘Pak Ketua’ lagi ya!”

teriak Ridwan kepada Lili yang sudah beranjak pergi.

Lili lalu merentangkan tangan kanannya dan menunjukkan jempolnya sambil memunggungi Ridwan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status