Bab 19Arif berlari ke arah Risma dan bersembunyi di belakangnya.**Aku tertawa terbahak-bahak melihat kondisi Ibu yang memprihatinkan. Gimana tidak? Air yang dipakai menyiram sepertinya adalah air bekas buangan makanan saat cuci piring, jadi ada mie yang nyangkut, ada sayuran yang nyangkut bahkan ada secuil daging yang nyasar di rambut Ibu yang disasak tinggi.Tidak hanya aku, tetapi yang lain yang masih ada di situ pun ikut menertawai Ibu mertuaku. Arif sudah kusuruh masuk ke kamar agar tidak menjadi sasaran kemarahan Ibu mertuaku.“Mana anak sial*n itu? Akan kubun*h dia karena mempermalukanku.” Bu Nining benar-benar emosi karena ulah anakku.“Sembarangan kalau ngomong! Anak yang kau umpat itu adalah cucumu sendiri. Tega bener Ibu mau membunuh cucumu sendiri! Sudah nggak usah nyari Arif, Ibu sebaiknya pulang sekarang! Badan ibu bau banget!” aku pura-pura menutup hidungku.“Mana bisa aku pulang dalam keadaan seperti ini! Pokoknya aku mau menginap di sini. Titik.” Ibu mertua malah d
Bab 20POV RidoAku terbangun karena perutku keroncongan. Semalam gara-gara ada kejadian itu, aku tak jadi menikmati makanan di sana. Kupikir sampai di rumah, Mala akan membuatkan sesuatu untukku, tapi ternyata tidak. Dia hanya berdiam diri di kamar. Entah apa yang dipikirkannya aku tak tahu, kuajak bicara pun dia diam saja. Kulirik jam, ternyata baru pukul 6 pagi.Aku segera ke dapur dan membuka tudung saji. Hanya ada nasi sepiring sisa kemarin. Akhirnya aku berniat membangunkan Mala untuk memasak sesuatu.“Sayang, bangun. Aku lapar. Masakin sesuatu gih!” aku menggoyangkan badan Mala agar terbangun. Tapi dia hanya menggeliat. Sekali lagi aku membangunkannya akhirnya ia terbangun juga.“Ada apa sih, Mas? Ganggu tidurku aja!” Mala menggerutu.“Masakin sesuatu sana! Aku lapar!” pintaku sambil memegang perutku.Mala menatapku. “Sejak kapan aku masak, Mas? Selama ini kan kita selalu beli!” sungutnya.“Iya, tapi kan itu dulu saat Risma masih mengirim uang, sekarang kita tak ada pemasukan,
“Mas, kamu dimana?”**“Aku menjemput Ibu di rumah Risma, ada apa?” “Kamu pulanglah dan lihat sendiri.” Entah apa maksud Mala, Rido tidak mengerti. Dia dan Ibunya segera mencari taksi online dan pulang ke rumah.“Ibu sebenarnya apa yang terjadi semalam? Aku kira Ibu menginap di rumah Risma, tapi kenapa bilang di teras?” tanya Rido.“Risma sial*n itu tidak mengizinkanku tidur di rumahnya, setelah diusir keluar, Ibu hendak mencari taksi tapi teringat Ibu tak punya uang, jadi Ibu masuk ke pagar rumah Risma yang tidak dikunci mengetuk pintu mereka tapi tidak dibuka akhirnya tidur di teras mereka. Kamu juga kenapa tidak menjemput Ibu, Sih!” sungut Ibunya.“Aku kan sudah bilang, kemarin sudah kuajak pulang bareng tapi tak digubris jadi ya sudah terima akibatnya!”Kedua orang itu masih terus berdebat di dalam taksi online tersebut. Setelah sampai di rumah Mala, terlihat beberapa orang berkerumun di depan pintu.Seorang Ibu-Ibu akhirnya sadar atas kedatangan mereka.“Nah, itu dia!” ucapnya
Pagi ini Risma, Aida dan Rey berencana untuk memilih sekolah untuk Arif dan Ririn. Sebenarnya Rey hanya ingin mengajak Risma, tapi Risma tidak mau kalau hanya berdua, takut timbul fitnah. Jadilah mereka pergi bertiga walaupun awalnya Aida menolak, males menjadi obat nyamuk katanya, tapi setelah dibujuk akhirnya mau juga.Risma selesei mandi, seorang ART mengetuk pintu kamarnya.“Nyonya, ada Ibu mertua Nyonya di depan,” ucapnya dibalik pintu.“Iya, tunggu sebentar.” Risma segera membuka pintu kamarnya. Dalam hati ia heran kenapa pagi-pagi Ibu mertua sudah datang ke sini.Risma menemui Bi Inah, ART yang tadi mengetuk pintu kamarnya.“Bi, kan sudah kubilang, jangan panggil aku nyonya, nggak pantas, ah. Aku ini dulunya juga ART lho, sama seperti Bi Inah ini.”“Tapi sekarang kan Nyonya menjadi majikan saya, tidak pantas kalau manggil nama, bagaimana kalau saya panggil Mbak Risma saja?” Bi Inah memberikan usul.“Boleh kalau itu, Bi.” Risma tersenyum. Risma mendengar suara langkah menuruni
“Bangun! Dasar suami pemalas! Bisanya nyusahin aja!” sungut Mala.Semakin hari Mala semakin jengkel dengan kelakuan Rido yang pemalas dan tak mau bekerja. Mereka berdua terbiasa hidup enak menggunakan uang Risma, sehingga saat Risma tak lagi memberi uang, mereka kelabakan.“Aku lapar, mana uang buat beli makanan?! Mala meminta uang kepada Rido. Rido yang baru bangun masih setengah sadar Cuma menoleh ke arah Mala.“Aku kan nggak kerja, Sayang, darimana bisa dapat uang? Kamu masih punya simpanan di Bank kan?” ucap Rido.“Nggak ada! Sudah kubelikan perhiasan, tapi diambil sama Si Risma Sial*n itu! Kamu juga jadi cowok lembek banget sih! Harusnya kamu tu bisa tegas! Mana uang dari jual motor diambil semua sama Ibumu!” kamu beneran nggak ada simpanan juga, Mas?” cerca Mala.“Nggak ada, Mala. Kamu tau sendiri tiap Risma kirim uang sudah kubagi kamu dan Ibu, jadi mana ada uang!” “Kalau begitu cepat keluar dari rumah ini dan cari uang! Jangan pulang kalau tak bawa uang!” Mala mendorong t
Bab 24“Apa?! Memangnya apa yang terjadi?”**Mala terdiam.“Jawab Mala!” bentak Rido.“Se—Sebenarnya ini bukan rumahku. Rumah ini dulu diberi oleh pacarku, sekarang istrinya minta dikembalikan.”“Apa?! Jadi benar kamu ini seorang pelak*r?!” Rido tak sadar diri kalau dia juga terpikat dengan pelak*r ini.“Kamu pikir aku dapat uang darimana selama ini kalau bukan uang dari pria-pria itu?! Aku pun mau menikah denganmu karena kupikir kamu ini orang kaya, tapi ternyata malah zonk. Uang itu punya istrimu! Nyesel aku nikah sama kamu!” Mala mulai marah.“Aku yang harusnya nyesel! Kalau tak nikah sama kamu, aku pasti sudah tinggal di rumah mewah milik Risma itu!” Rido tak mau kalah.“Mas, aku heran, kenapa keluarga Sasongko bisa memberikan rumah itu? Jangan-jangan dia pake pelet? Kan nggak mungkin bisa gitu aja ngasih rumah kalo nggak pake apa-apa?” Mala berasumsi.“Mungkin juga, itu sebabnya juga aku dari kemarin memikirkan Risma dan ingin kembali padanya. Si*l licik juga dia pakai dukun! Ki
Pagi hari Risma bersiap-siap untuk menyambut Ustadz Soleh, memang setelah tinggal di rumah ini, Risma memutuskan untuk memanggil ustadz setiap hari untuk mengajari kedua anaknya mengaji dan ilmu agama. Setelah mengikuti beberapa kali mengaji bareng, Risma melihat ada peningkatan Arif dalam mengatur Emosinya, sedangkan Ririn sudah mulai ceria dan banyak berceloteh seperti dulu.“Syaikh Ali al-Shabuni dalam Rawa'iul Bayan menjelaskan bahwa orang tua dianjurkan untuk mendidik anaknya agar menutup aurat, khususnya perempuan, pada saat mereka berumur sepuluh tahun. Ketika umur anak sudah sepuluh tahun mintalah mereka untuk berhijab dan menutup auratnya.” Ustadz Soleh memberikan tausiahnya. Risma pun merasa tertampar, selama ini memang dia tak pernah menutup auratnya, apalagi mengajari anak perempuannya.“Maaf, Bu Risma. Sepertinya hari ini terakhir saya bisa mengajar mengaji, karena besok saya dipanggil pondok untuk mengajar disana. Semoga Ilmu yang selama ini saya berikan bisa berguna bag
Bab 26Bugh! Bugh! Bugh!Terdengar suara orang dipukul“Akhirnya kita ketemu juga!”**Rian memukuli Rido sekuat tenaga. Ia melampiaskan semua emosinya. Dia sungguh tak terima keponakannya mengalami semua kejadian itu.“Kamu lelaki bangs*t, brengs*k, menjij*kkan, pengecut beraninya sama anak kecil. Ayo lawan aku seperti kau memukul Arif!” Rian berkacak pinggang di depan Mas Rido yang tersungkur. Kekuatan Rian memang tak main-main karena ia seorang pelatih beladiri.“A—aku tak sengaja,” jawab Rido terbata.Bugh!“Sori, tak sengaja juga!” Rian sengaja mengejek Rido.Ia menghentikan pukulannya setelah melihat Rido terkapar tak berdaya, wajahnya sudah bengkak dan berdarah. Karena seorang pelatih, Rian pun tahu titik mana yang bukan daerah vital.“Apa maumu datang ke sini!” Rian bertanya kepada Rido saat melihatnya sudah sadar“Aku ingin minta maaf dan meminta Risma agar mengizinkan kami tinggal di sini.” Rido menjawab dengan terbata-bata.“Kami?” ulang Rian memperjelas.Rido mengangguk. “