Begitu keluar dari kamar mandi, Amber tertegun. Adam kembali menyambutnya di depan pintu. Pria itu tidak lagi menunjukkan punggung, melainkan kotak merah yang sempat membuatnya menangis selama bermenit-menit dalam pelukan Sebastian. “Aku tahu ini terlambat. Tapi, selamat ulang tahun, Amber,” ucap Adam sembari memaksakan senyum. Mendapat kejutan yang tak lagi diharapkan, helaan napas berembus cepat dari mulut sang wanita. “Inikah usaha terbaikmu?” tanyanya dengan nada meremehkan. “Kau sungguh menyedihkan, Adam.” Sebelum Amber berjalan pergi, sang pria bergeser menghalangi langkahnya. “Dengarkan aku! Ini adalah bukti kalau aku sungguh peduli padamu. Aku tahu, belakangan ini, aku kembali bersikap dingin kepadamu. Tapi ketahuilah, aku bersikap begitu demi mengingkari rasa cintaku padamu. Aku mengira itu palsu. Aku takut kau tersakiti kalau kujadikan pelarian.” “Aku memang pelarian. Itulah faktanya,” sela Amber dengan anggukan tegas. Alisnya terangkat tinggi menyangga kekesalan. “Tida
“Tidak,” desah Adam sembari bangkit dan berlari mengejar. “Amber! Kumohon ... beri aku kesempatan! Amber!” Malangnya, sang sopir terus mengemudikan mobil. Ketika memasuki jalan beraspal, lajunya malah semakin kencang. “Amber!” Adam mempercepat langkah. Namun, saat ia tiba di bahu jalan, mobil sudah bermeter-meter di depan, terlalu jauh untuk dikejar. “Amber, kembalilah!” pekiknya dengan sekuat tenaga. Mendengar suara keputusasaan itu, sang wanita pun menggigit bibir. Dengan segenap kesungguhan, ia mencengkeram map di pangkuan. Kepalanya pusing, dadanya sesak, dan hatinya sakit. Namun, ia tidak berani menoleh. “Amber, kau baik-baik saja?” tanya Sebastian, khawatir dengan gemetar di sekujur tubuh wanita itu. Amber tidak mampu menjawab. Ia hanya tertunduk, memperhatikan map yang bertuliskan nama Adam. Perlahan-lahan, kenangan mulai bermunculan. Laki-laki itu pernah menjadi kekasihnya. Laki-laki itu masih bersarang di hatinya. Menyadari kebenaran, ia spontan menoleh ke belakang. Be
“Selamat datang kembali di rumah kita, Amber,” bisik Adam saat mereka baru memasuki ruang tamu. Tanpa ragu, ia mengecup pipi wanita yang mendongak menatapnya itu. “Ini rumah kita?” tanya Amber seraya menaikkan sebelah alis. “Tentu saja. Semua yang kumiliki adalah milikmu juga,” timpal sang pria sembari mengelus pundak yang dirangkulnya itu. Alih-alih mengembangkan senyuman, sang wanita malah menjauh dan menyipitkan mata. “Tapi aku belum resmi menjadi istrimu. Aku belum menjadi Nyonya Smith ataupun nyonya rumah ini.” Sambil tertawa samar, Adam meraih kedua pundak kekasihnya. “Kau akan segera menjadi istriku, Amber, nyonya rumah ini. Apa lagi yang kau ragukan?” “Kesungguhanmu?” celetuk Sebastian sembari menyelinap masuk dari celah di antara pintu dan punggung Adam. “Jangan lupa kalau kestabilan jiwamu masih dipertanyakan.” “Kau pikir aku gila?” balas si tuan rumah dengan nada tak senang. Sejak tadi, ia memang sudah kesal karena laki-laki itu tidak langsung pergi. “Kau belum mempe
“Kenapa kau mengajukan pertanyaan konyol semacam itu, Adam?” bisik wanita yang duduk tegak di atas sofa. Ia bingung harus beranjak atau tetap pada posisinya. “Itu bukan pertanyaan konyol, Amber. Sejak awal, aku sudah curiga kalau laki-laki ini juga menyimpan perasaan terhadapmu,” terang Adam, membuat rahang Sebastian berdenyut-denyut geram. Sementara itu, Amber berusaha mencairkan ketegangan lewat tawa datarnya. “Itu musta—” “Kalau aku memang mencintainya, lalu kenapa?” sela Sebastian sembari menaikkan kedua alis. Ia tidak peduli lagi jika Amber menatapnya dengan penuh keheranan. “Oh, sekarang kau mengaku kalau dirimu mencintai perempuan yang kau sebut sahabat itu?” “Ya. Lalu apa? Kau takut aku menyaingimu? Merebut perhatiannya darimu?” Tiba-tiba saja, Adam membunyikan tawa yang mencekam. Sembari mengembalikan pandangan kepada Amber, ia meruncingkan telunjuk ke arah Sebastian. “Kau dengar? Inilah alasan mengapa aku tidak tenang jika ada dirinya di sampingmu. Laki-laki ini mencin
“Hei ...” desah Adam sembari ikut duduk di sofa. Setelah menyerahkan secangkir teh hangat kepada Amber, ia merangkul pundak wanita itu dengan sebelah lengan. “Apa yang sedang kau lamunkan?” tanyanya seraya melirik ke arah buku yang terbuka di atas meja. Sebuah bros cantik dan penjepit dasi keren tergambar di sana. Keduanya sama-sama memiliki hiasan yang berbentuk huruf A. “Aku tidak melamun,” timpal Amber seraya memalsukan senyuman. “Hanya memikirkan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkanmu.” Lengkung bibir Adam seketika terkulum. Sambil memiringkan kepala, ia berbisik, “Kau yakin? Kukira kau sedang menerka-nerka harga cincin barumu itu.” Tawa Amber sontak menggetarkan udara. Kekakuan di wajahnya pun sedikit mengendur. “Aku sudah bukan perempuan semacam itu lagi, Tuan Dingin,” gerutunya seraya menyikut dada Adam. “Aku tahu. Kau adalah calon istriku yang bijak sekarang.” Usai membenamkan kecupan di pelipis, ia membiarkan wanita itu menyeruput teh pinusnya. “Apakah ada kabar te
Sambil menurunkan sweater yang bergulung di perutnya, Adam melangkah keluar kamar. Ia seperti mendengar suara ketukan pintu tadi. Begitu menemukan sang kekasih sedang berdiri di dekat jendela dengan kepala tertunduk dan tangan mencengkeram tirai, kerut alisnya bertambah dalam. “Ada apa, Amber? Siapa yang datang?” Dengan mata bulat yang memancarkan kebingungan, Amber berbalik. Telunjuknya terangkat ragu ke arah pintu. “Orang tuaku datang,” sahutnya setengah berbisik. “Orang tuamu?” Adam tidak yakin dengan pendengarannya. Selang satu kedipan lambat, wanita berekspresi datar itu meraih gagang pintu. Sambil menelan ludah, ia mengumpulkan nyali untuk berhadapan dengan kedua orang tuanya. “Papa? Mama?” sapanya datar. “Amber,” balas wanita bermantel cokelat yang menyunggingkan senyum elegan. “Bagaimana kabarmu?” Masih dengan tangan menggenggam tuas pintu, Amber mengangguk. “Baik. Ada kepentingan apa Papa dan Mama datang kemari?” “Bukankah wajar jika orang tua mengunjungi putri tungga
"Amber?" desah Nyonya Lim dengan nada tak percaya. "Ya, aku mencintai Adam dan kami akan menikah dalam waktu dekat. Kami bahkan sudah menyerahkan semua berkas yang dibutuhkan," tegas Amber tanpa melepas dekapan. Tuan Lim sontak mendengus kesal. Matanya mulai bergurat merah menahan kemarahan. "Ternyata ini kelakuanmu selama ini? Kau bukan belajar mendesain perhiasan, tapi bermesraan dengan suami wanita lain?" "Tunggu dulu, Tuan Lim," sela Adam sembari mengangkat sebelah tangan. "Ini perlu diluruskan. Media memang belum pernah memberitakannya, tapi saya sesungguhnya sudah bercerai." "Jadi kau lebih memilih seorang duda dibandingkan laki-laki pilihan orang tuamu?" tanya Tuan Lim kepada sang putri dengan nada bicara yang semakin tinggi. Melihat rahang si pria muda mulai berdenyut-denyut, Nyonya Lim bergegas memegangi lengan suaminya. Ia sadar, mulut yang terkatup rapat itu sedang berusaha mencegah keributan yang lebih besar. "Maaf, Tuan Smith. Suami saya tidak bermaksud merendahka
Alih-alih membantah, Adam malah membalikkan halaman. Sedetik kemudian, ia mengangkat buku itu ke hadapan Tuan Lim. “Jika saya memberikan pengaruh buruk kepada Amber, apa mungkin dia bisa menggambar ini?” Langkah pria tua itu sontak terhenti. Dari bawah kernyitan dahi, ia memeriksa apa yang dimaksud oleh Adam. Ternyata, sebuah bros dan penjepit dasi berinisial A tergambar di sana. “Apa kau sedang memamerkan besarnya cinta Amber terhadapmu?” tanya Tuan Lim seraya menaikkan alis. Sebelum sang duda sempat menjawab, ia mendengus remeh. “Aku tidak peduli tentang hal itu, Tuan Smith. Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah mendapat restu dari kami.” “Apakah Anda mengira bros dan penjepit dasi ini untuk kami?” sela Adam dengan nada mengejek. Sambil mengulum senyum, ia menggeleng. “Maaf mengecewakan Anda, Tuan Lim. Tapi saya tidak pernah mengenakan penjepit dasi dan Amber pun tidak pernah menceritakan tentang koleksi brosnya. Dia pasti menggambar ini karena teringat tentang kalian.” Selang