"Palmer mulai menyerang perusahaan lagi, aku dan timku sudah mengetahui identitas mereka," balas Peter. "Siapa dia sebenarnya? Apakah ada orang hebat dibelakangnya?" tanya Austin memburu. Wajahnya sudah mulai terlihat serius, ia mengambil langkah maju dan menjauh dari ruang rawat Nyonya Thomson. Tak ada kelembutan diwajahnya saat mendengar kabar tentang Palmer yang sudah mengacaukan kehidupan keluarganya. "Ya, kau benar. Ada orang hebat di belakangnya, bahkan orang hebat itu adalah ayahnya sendiri. Nick Perneco Palmer, orang itulah ayah palmer, dan aku dengar dari mata-mataku jika ia baru saja membakar habis sebuah desa," balas Peter menjelaskan. "Berengsek! Ternyata benar apa yang Tuan Aldrik katakan, Perneco akan kembali dan membalaskan dendamnya pada kami. Sekarang aku mohon jaga Kakek Jacob di mansion, aku akan mengurus urusanku di sini lebih dulu," pinta Austin dengan nada tegasnya. "Baiklah, semoga Tuan dan Nyonya Thomson lekas pulih," balas Peter. Austin langsung menutup
"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau memukulinya?" tanya Austin tanpa melepas maskernya. Pria yang tak lain direktur keuangan itu menatap Austin dengan tatapan tidak suka. Ia berkacak pinggang dan memberikan tatapan tajam padanya. "Jangan ikut campur urusanku? Tahu apa kau tentang pekerjaan? Siapa yang mengizinkanmu masuk dengan pakaian seperti ini?" balas direktur keuangan dengan kesombongannya. Saat ini Austin hanya mengenakan kaos biasa juga celana pendek miliknya. Ia menyeringai di balik masker yang digunakannya. Bahkan kini Austin bersedekap dada menatap kesombongan pria di hadapannya. "Siapa aku? Itu tidak penting, lepaskan pria itu," perintah Austin. Direktur keuangan semakin marah dengan pengaturan yang Austin berikan, ia masih menginjak tangan bawahannya dengan kuat. "Argh, ampun Tuan. Ampun," rintih pria di bawahnya. Tanpa menunggu lama Austin menendang tubuh pria angkuh itu, hingga tubuhnya terhantuk dinding lift. "Berengsek! Berani kau menyentuhku?!" marahnya sambil
"Kita akan penjarakan dia, aku pun tak menyukai pria itu," balas Austin. Hery yang masih berada di ruangan yang sama dengan mereka hanya terdiam. Menunduk dan menunggu perintah selanjutnya dari sang atasan. Tak berselang lama para direktur tiba dengan map di masing-masing tangannya. Sebagian direktur berwajah masam dan juga ketakutan, sebagian lagi berwajah tenang dan masuk dengan percaya diri. "Tuan, ini laporan kami semua selama satu tahun ini," ucap salah satu direktur. "Aku mau kalian persentasikan semua itu di hadapanku saat ini juga," pinta Austin. "Tapi bagaimana mungkin Tuan? Pasti akan memakan waktu yang lama, sebentar lagi klien baru perusahaan kita akan tiba. Dan aku harus menemuinya," balas salah satu direktur dengan wajah tegang. 'Berengsek! Untuk apa anak muda ini kembali mengurusi perusahaan ini? Kalau begini bagaimana dengan rencanaku?' batin salah satu direktur. 'Syukurlah dia sudah kembali, aku sudah muak melihat sikap angkuh mereka. Aku harap dia bisa mengemb
"Dia ibumu, Julie," balas Tuan Edward. "Mommy? Apakah luka bakar yang disebabkan Kakek Arthur tidak bisa dipulihkan?" tanya Austin. "Banyak dokter yang belum bisa menyanggupi. Jika ingin wajahnya kembali seperti semula ibumu harus melakukan operasi plastik, tapi sampai sekarang dia tidak menginginkannya," balas Tuan Edward. "Semenjak kepergianmu dan Kenny ibumu selalu mengurung diri di rumahnya. Bahkan untuk keluar pun dia tidak mau. Baru kali ini dia berani keluar untuk melihat orangtuanya," sambung Tuan Edward. Austin mengembuskan napas tanpa melepaskan tatapannya pada sang Ibu mertua. Ia menatap kasihan pada Julie yang memiliki wajah buruk. Perlahan ia mendekat dan menyapa Julie layaknya seorang anak. Tapi Julie seolah takut saat menatap Austin dan terus menundukkan wajahnya. "Mom, ini aku anakmu? Apakah kau tidak ingin menganggapku sebagai anakmu?" sapa Austin. Julie masih terdiam, ia meremas tangannya cemas, kejadian saat Tuan Arthur membakar wajahnya terus menghantuinya. Hi
"Bukannya begitu, aku hanya tidak ingin dia tertular penyakitku. Aku akan menggendongnya setelah aku sembuh," balas Tuan Thomson. Nyonya Thomson bernapas lega, ia pikir sang suami memang menolak kehadiran Max di tengah keluarga. Ternyata sang suami memiliki sisi berlebihan dalam menyikapi penyakit yang dideritanya. "Tuan, penganyakit yang anda derita tidak akan mempengaruhi kesehatannya. Gendonglah, pasti cicit anda juga ingin digendong oleh Kakek buyutnya," timpal Nyonya Aldrik yang mengetahui penyakit Tuan Thomson. Tuan Thomson menoleh ke arah Nyonya Aldrik, ia mengerutkan kening karena tidak memahami siapa wanita tua di hadapannya. "Kau siapa? Apakah kau dokter yang menanganiku saat ini?" tanya Tuan Thomson. Nyonya Aldrik tersenyum, tapi bukan dia yang membalas keingin tahuannya, melainkan Tuan Arthur. "Dia istri mendiang sahabatku, dia juga yang membantu para dokter untuk mengobatimu juga istrimu," timpal Tuan Arthur saat memasuki ruangan.Tuan Thomson kembali menoleh menata
"Benarkah mereka mengikuti kita sampai ke sini?" tanya Kenny cemas ambil membekap Max yang masih menatap ke arah jendela. Austin mengangguk, tak menutupi apa yang baru saja ia lihat. Pria itu langsung keluar melompati jendela dan melihat penyusup yang baru saja meregang nyawa. Austin melihat pergelangan tangan mereka, dan benar saja, inisial P ada di sana. "Perneco tidak main-main dengan dendamnya," gumam Austin. "Pengawal!" teriak Austin memanggil pengawalnya yang berjaga. Paraengawal berlarian ke arahnya, lalu tercengang melihat dua musuh yang sudah tak memiliki nyawa. Mereka menunduk, meminta maaf pada sang Tuan karena kelalaian yang mereka lakukan. "Maafkan kami Tuan, kami sangat ceroboh," ucapnya memohon ampunan. Mereka masih menundukkan wajah sebelum Austin memberikan pengampunanya. "Berjagalah, Perneco pasti akan datang lagi, bereskan mayat ini. Beruntung anakku menyadari kedatangannya," balas Austin lalu pergi dari hadapan mereka. "Baik, Tuan," balas mereka bersamaan.
"Tunggulah kehancuranmu," gumam Austin saat mengendarai mobilnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri, melesat dengan para mengawalnya di belakang. Bahkan tak ada satu kendaraan pun yang bisa menghalau perjalanannya menuju kediaman Dora. Perumahan mewah dengan pengaman ketat bahkan tak mampu menghentikan rombongan Austin. Mereka tunduk saat tahu siapa yang memasuki kawasannya. "Bodoh sekali, bersembunyi di tempat seperti ini," maki Austin begitu melihat banyak penjagaan di depan rumah Dora. "Lumpuhkan mereka semua dalam diam," perintah Austin karena tak ingin membuat kegaduhan di lingukungan itu. Tapi sayang, kedatangan rombongannya sudah terendus oleh pengawal Palmer. Mereka sudah bersiaga di depan rumah dengan senjata di tangannya. Berbeda dengan Palmer yang saat ini sedang bermain gila dengan Dora. Mereka masih memacu kenikmatan sampai suara tembakan mengalihkan kegiatan mereka. "Berengsek! Apa yang terjadi?" maki Plamer tanpa menghentikan kenikmatannya. Gerakanny
"Dad, kau punya markas?" tanya Kenny terkejut. Tuan Edward menganggukkan kepalanya pada Kenny. Ia tak ingin menutupi apa pun dari sang putri. "Benar, Daddy punya pasukan sendiri di sini yang dikhususkan untuk menjaga kekuarga kita. Semua itu Daddy buat untuk melindungi kalian. Tak bisa dipungkiri jika perusahaan Thomson mengundang banyak orang untuk melakukan kejahatan. Bahkan dulu ada banyak orang yang mengincarmu," balas Tuan Edward. Julie yang berada di sana pun tercengang, ia tak menyangka jika suami yang selama ini ia hinakan juga memiliki kekuatan di belakangnya. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya, Julie tertunduk malu dengan sikap yang ia berikan dulu pada suaminya. "Aku masih tak menyangka, kalian para pria terlalu banyak rahasia," gumam Kenny sambil menggelengkan kepalanya. "Semua itu untuk melindungi keluarga yang dikasihi. Sekarang kalian masuklah ke dalam, kami ingin ke markas daddymu," perintah Tuan Arthur pada Kenny dan Julie. Keduanya mengangagguk, Kenny membaw