Citra
Tidak terasa hari ini sudah jadwalku kontrol rutin ke dokter kandungan, aku membuat jadwal kontrol kandunganku sebulan sekali saja. Itu sudah cukup, karena aku harus menghemat dana sehingga tidak bisa tiap minggu mengecek kondisi si kecil ke klinik.
Aku juga sudah bertanya-tanya berapa biaya melahirkan di sana, setelah kuhitung-hitung ternyata uang yang kumiliki masih cukup sehingga tak terlalu membebani pikiranku. Untuk biaya kehidupan kami berdua di masa yang akan datang, dengan gajiku di cafe ini sudah cukup.
Aku akan mengajak anakku hidup sederhana, lebih baik dari hidupku dahulu tetapi tidak perlu memaksakan diri bermewah-mewah karena memang aku belum mampu untuk seperti itu.
Andai saja Raka tidak egois, mungkin anak kami akan merasakan fasilitas yang premium saat lahir nanti.
Tapi sudahlah, aku tidak akan menyesali keputusanku pergi dan menyepi di tempat ini. Sebab jika aku di sana pun belum tentu anakku ini
CitraAku berangkat ke klinik sekitar 15 menit kemudian, setelah menyapu bersih dan membuang pecahan piring dari lantai dapur. Tak lupa kufoto dulu keadaannya sebelum bebenah, mungkin foto itu bisa membantuku suatu saat nanti, kalau-kalau Lola menuduhku yang tak becus mencuci piring sampai menyebabkan hal itu terjadi.Pintu dapur dan pintu mess sudah kukunci, dan anak kunci kubawa di dalam tas. Sudah kuberitahu Dadan dan Jalu bahwa kunci aku yang bawa, sehingga nanti mereka bisa bilang padaku jika sudah pulang.Menurut hematku, waktu pengobatan Lola dengan jadwal kontrolku lebih lama. Sehingga ada kemungkinan aku yang akan lebih dulu kembali ke cafe, dan bisa membukakan pintu untuk mereka.Seperti biasa, klinik kehamilan yang kukunjungi tidak terlalu ramai. Ada beberapa ibu hamil yang duduk di ruang tunggu, ada juga yang menggendong anaknya bolak-balik keluar masuk karena anaknya rewel.“Silahkan dipegang nomor urutnya ya bu, na
RakaSehari setelah kembali dari rumah om Samuel, pikiranku terasa lebih berisi. Aku masih dipenuhi oleh rasa penasaran dan ingin segera memecahkan masalah keluarga ini. Tetapi setidaknya sekarang aku sudah punya petunjuk dan rencana apa yang akan kulakukan setelahnya.Berbekal selembar foto yang kuminta dari janda om Samuel, aku akan menemukan istri pertama ayahku dan membuktikan apakah benar Jonas kakak lelakiku yang tak pernah kuketahui atau bukan.“Gimana Ndre, ketemu orangnya?”Tanyaku pada Andre, dia adalah informanku yang bekerja sebagai staff HRD di Cemara Group. Sudah sejak dua tahun yang lalu ia rutin memberitahuku perkembangan Cemara Group, memberi berbagai informasi penting mengenai perusahaan mana yang mendapatkan bantuan dana, bagaimana cara goals tender di Cemara Group dan banyak lagi.Salah satunya ia bisa membantuku untuk menemukan orang-orang yang sedang kucari. Termasuk dua orang lela
RakaBerbekal sebaris alamat yang kudapatkan dari foto yang Andre dapatkan, aku mendatangi kampung ini. Sebuah tempat yang terbilang jauh dari perusahaan batubara miliki Cemara Group. Sepertinya orang itu merantau, dan setelah keluar dari perusahaan ia kembali ke kampungnya.Mungkin, sebab aku juga tak yakin ia masih ada di tempat tinggalnya yang lama.Lokasi kampung ini cukup terpencil, di sekelilingnya masih banyak pohon besar yang usianya kutaksir lebih dari puluhan tahun. Baru kuinjakkan kaki ke gerbang masuk kampungnya saja sudah terasa aneh, rasanya seperti masuk ke kampung mati.Begitu sepi, membosankan.Bangunannya tua, catnya kusam, bentuknya pun terlihat sangat sederhana. Bahkan jika dibandingkan dengan rumahku saat kecil, bangunan-bangunan ini terlihat lebih tua lagi. Mungkin mereka dibangun dari zaman penjajahan Belanda, bahannya saja hampir semuanya dari kayu, sedikit saja yang dibangun permanen menggunakan batu bata.
Citra***Ini adalah hari kedua setelah Lola pergi ke rumah sakit untuk mengobati tangannya, dan sejak saat itu ia benar-benar manja. Ia bahkan tidak mau melakukan pekerjaannya dengan maksimal, dengan alasan takut tangannya berdarah lagi.“Citra, itu kan mejanya masih berantakan. Gimana sih? Kamu enggak liat? Beresin cepet. Nih aku bantuin…manja banget mentang-mentang lagi hamil!” celetuknya.Ia lalu menumpuk piring dan gelas di tengah meja, gerakannya sangat kasar sampai-sampai bunyi denting piring dan gelas yang beradu bisa terdengar dari jarak yang agak jauh. Aku yang sedang membereskan meja lain cuma bisa menghela napas.“Sebentar, kamu enggak liat aku lagi beresin meja ini?”“Iya tau, dan kamu itu kelamaan kerjanya! Makanya aku tegur! Kamu enggak liat lagi banyak tamu gini?!”Lagi-lagi aku menghela napas, Lola sangat keterlaluan. Ia bicara dengan nada tinggi,
Citra***“Citra…Citra. Hey!”Kurasakan tepukan halus di pipiku, tetapi rasanya berat untuk membuka mata. Sekarang aku bisa merasakan tubuhku lagi, jari-jari tangan, punggungku yang sedang berbaring di atas ranjang, angin sepoi-sepoi yang mengusap wajah.Tetapi sungguh, berat sekali kedua mataku ini untuk kubuka.“Citra, kamu enggak apa-apa? Citra!”Aku mengenali suara itu, sepertinya itu suara Jalu dan ia sedang berusaha untuk membuatku sadar. Apa mungkin tadi aku jatuh pingsan di café? Aduh, pasti sangat memalukan, juga sangat merepotkan.Perlahan, akhirnya aku mampu membuka mataku dan melihat langit-langit putih di atas kepala. Bukan langit-langit kamarku di mess. Ini di mana?“Citra? Hey, beneran udah bangun? Citra!”“Iya..” suaraku serak, seperti kodok dan rasanya malu karena Jalu mendengar suara aneh itu.Tetapi sepertinya ia baik-ba
Raka***“Terakhir bapak bertemu dengan Wine, saat dia mengandung anaknya. Waktu itu ayahmu…menikah lagi. Bapak enggak tau siapa istrinya yang baru, tapi yang jelas karena pernikahan itu Wine benar-benar sengsara.”“Dia bahkan bersumpah enggak akan biarkan Atra mengenal anak pertamanya, sampai kapanpun.”Ucapan pak Kahar terus terngiang di telingaku, meninggalkan rasa aneh yang tidak kusukai. Rasa bersalah, untuk sesuatu yang sebenarnya bukan salahku. Penyesalan dan rasa tidak enak yang harusnya ayah yang rasakan, bukan aku, bukan mama. Juga bukan Wine dan anaknya.“Kabar terakhir yang bapak dengar, Wine menikah dengan salah satu pimpinan Cemara Group dan saat itu pula bapak diPHK dari sana. Bapak enggak tau ada hubungannya dengan Wine atau tidak, tetapi saat itu hanya kami berdua yang diPHK. Yang jadi saksi pernikahannya dulu.”“Kenapa bapak yang jadi korbannya? Ka
Raka***Apa yang aku khawatirkan ternyata menjadi kenyataan, rapat mendadak bersama para pemegang saham sangat mengerikan. Aku seperti dikuliti hidup-hidup di depan semua orang, tak diberi kesempatan untuk membela diri, dan pikiranku juga benar-benar tumpul saat itu.Semua sendiku melemah, telingaku juga mendadak tuli saat para pemilik saham mulai mencecarku dengan kata-kata kasar. Iya, hal itu sangat wajar mengingat mereka juga dirugikan dengan anjloknya saham perusahaanku.Gara-gara gagal merilis produk baru, perusahaanku kehilangan momen yang bagus untuk mendapatkan keuntungan besar di momen pergantian tahun. Tak tahu siapa yang memainkan trik murahan, hingga akhirnya sahamku juga jadi anjlok habs-habisan.Perusahaanku bahkan sudah dua bulan belum membayar cicilan kredit ke bank dan jika di bulan ketiga aku tetap tak sanggup membayar. Perusahaanku resmi bangkrut dan aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkan perusahaanku ke b
RakaAyah terkena serangan jantung ringan, dan syukurlah aku tepat waktu membawanya ke rumah sakit. Jika terlambat barang 5 menit saja, nyawa ayah tidak akan bisa tertolong lagi. Sekarang ayah sedang berada di ruang perawatan intensif.Perasaanku campuraduk, tak tahu apa yang paling kurasakan saat ini.Apakah lega karena nyawa ayah berhasil diselamatkan. Atau merasa menyesal karena buru-buru membawa ayah ke rumah sakit hingga ia lolos dari kematian?Tak bisa kupungkiri, jika aku sangat membenci lelaki itu. Namun sekaligus juga menyayangi dia. Bagaimana pun dia adalah ayahku.Claudia baru datang ke rumah sakit setelah hampir seharian ayah ada di ruang perawatan, wajahnya yang kaku dan tak pernah tersenyum itu membuatku sangat kesal. Istri muda yang tidak berguna sama sekali.“Kenapa baru datang?” tanyaku ketus.Wanita itu melirikku dengan ujung matanya, lalu melengos tanpa menjawab. Ia menenteng tas mahal di t