Sebenarnya, dulu aku tinggalnya di apartemen karena ingin mandiri.
Hingga suatu hari terjadi tragedy yang membuatku kritis, karena aku menjadi sasaran dari lawan bisnis ayah.
Semenjak itu, aku tidak dibolehkan lagi untuk tinggal di apartemen, karena ayah khawatir dengan keadaan dan keselamatanku jika tanpa pengawasan darinya.
Ayah memintaku kembali tinggal dirumah untuk menghindari hal-hal yang mengancam keselamatanku diluar sana.
“Iya, Ayah,” jawabku dengan nada memohon sambil memandang Ayah penuh harapan.
“Baiklah kalau itu pilihanmu. Ayah akan kabulkan semua permintaanmu, dengan syarat, jaga diri baik-baik. Hati-hati bertindak diluar sana, jangan gampang percaya sama orang yang baru dikenal, bisa jadi dia adalah musuh kita, dan hal yang paling penting adalah jaga nama baik keluarga. Ingat satu hal, sekarang sudah punya calon suami, yang artinya jangan memiliki hubungan dengan ”pria” manapun. Setelah satu tahun, akan kembali tinggal dirumah. Perjodohan itu akan dilaksanakan tahun depan sesuai dengan permintaanmu!” ucap Ayah panjang lebar menjelaskan semua aturan yang harus aku patuhi nantinya.
“Terima kasih, Yah,” jawabku riang sambil memeluk Ayah. Tanpa terasa air mata menetes di pipiku yang membasahi baju Ayah saking bahagianya.
“Kenapa menangis?” Ayah merasa heran melihat wajahku yang sudah bersimbah air mata
“Tangis bahagia Yah. Pengen melukis lagi,” jawabku jujur
“Satu lagi, tidak boleh tinggal di apartemen sendirian, ajak Carista tinggal di apartemen karena Ayah khawatir kalau sendirian disana,” Ayah menambahkan.
“Tanya Carista dulu, Ayah,” kata Ara.
“Bilang sama Carista, ini permintaan Ayah!” ucap Ayah tegas.
“Baik, Ayah,” jawabku semangat.
“Ara kekamar dulu, Yah,” kataku sambil berjalan meninggalkan Ayah dengan hati yang sangat gembira.
Bagaimana tidak bahagia, Ayah menerima semua permintaanku.
“Bagaimana dengan Bunda, Yah?” tanyaku lagi berbalik melihat ke arah Ayah
“Nanti akan Ayah sampaikan sama Bunda. Bunda oke-oke saja selagi kamu bisa menjaga diri dengan baik,” jawab Ayah sambil tersenyum.
“Terima kasih Ayah sayang,” ucapku dengan senyuman lebar
“Sama-sama sayang,” bisik Ayah.
Setelah keluar dari ruangan ayah, aku berjalan menuju kamar. Di ruang keluarga hampir saja menabrak bunda saking bahagianya.
Terdengar suara bunda yang menggodaku “Belum ketemu orangnya saja, sudah sebahagia ini. Dari tadi Bunda perhatikan, tersenyum melulu.”
“Bahagianya bukan karena itu, Bunda,” sangkal Ara.
“Trus, kenapa happy banget kayaknya? Bunda saja hampir ditabrak tadi,” pertanyaan Bunda meluncur bebas dengan rasa penasaran memandang kearahku.
“Tanya sama Ayah saja, Bun. Ara kekamar dulu,” jawabku sambil mengecup sayang kedua pipi Bunda
Aku harus cepat sampai dikamar untuk menyampaikan berita bahagia ini kepada Carista.
Chat via pesan w******p dengan Carista
“Where are you, Car?” ketikku pada aplikasi pesan w******p. Centang satu, centang dua. Aku menunggu cukup lama baru centang biru.
Setelah menunggu limabelas menit pesanku baru centang biru, tanda pesan sudah dibaca.
“at home dear!” balas Carista
“Are you busy now?” tanya Ara.
“Tidak. Ada apa?” jawab Carista.
“Keluar yuk, Car. Ada cerita seru nih!” ketikku penuh semangat
“Baiklah. Kabar bahagia sepertinya,” balas Carista
Aku bersiap untuk keluar dengan Carista.
Mengemasi barang-barang yang akan kubawa ke apartemen nanti malam saja.
Rencananya besok aku akan segera pindah ke apartemen.
Akhirnya setelah sekian lama, aku akan kembali pada kebebasan yang selama ini aku impikan, meskipun hanya dalam waktu satu tahun saja.
Satu tahun itu sudah sangat lama untuk menikmati kebebasan.
Selesai berkemas, aku turun kebawah. Dibawah, terlihat ayah dan bunda yang sedang bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton berita saham.
“Mau kemana, Kak?” terdengar suara Bunda karena melihatku yang sudah rapi
“Jalan-jalan keluar, Bunda,” jawabku.
“Sendirian?” tanya Ayah.
“Sama Carista, Yah!” jawab Ara.
“Ciee, yang mau bebas. Kelihatan happy banget” ledek Bunda. Pastinya sudah mengetahui semuanya dari Ayah.
“Heheheh. Iya dong, Bunda. Semangat,” ucapku sambil mengacungkan ibu jari ke arah Bunda
Bunda menambahkan “Kemaren cemberut terus, mata saja sampai bengkak karena nangis. Nah, sekarang malah kelewat bahagia. Drastis banget perubahannya!”
“Lho, Bunda kok tau?” tanyaku heran karena Bunda kan nggak dirumah kemaren
“Pastilah Bunda tau, kan CCTV Bunda tinggal disini! Laporannya sudah tentu lengkap”
“Mana kelihatan di CCTV Bun, yang ada pasti laporan dari Ayah nih,” jawabku sambil tertawa melihat ke arah Ayah. Yang dilihat cuma geleng-geleng kepala melihat interaksi Bunda dan anak yang lagi meributkan hal nggak jelas.
“Ara berangkat dulu Ayah, Bunda. Assalamu’alaikum,” ucapku meminta izin
“Be careful!” ucap mereka bersamaan, yang aku jawab dengan anggukan kepala.
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagiku. Kebebasan yang aku impi-impikan sudah berada di depan mata.
Tinggal selangkah lagi aku akan menikmati kebebasan. Aku menjemput Carista yang ternyata sudah ready dari tadi.
“Kita kemana?” tanya Carista
“Cari makan dulu, Car,” jawabku sambil tersenyum manis.
“Kayaknya lagi happy!” ucap Carista penuh selidik menatap wajahku, berusaha untuk mencari jawaban
“Iya dong!” jawabku semangat
“Berarti sekarang aku makan gratis dong. Kamu yang traktir!” tegas Carista dengan tawa khasnya.
“Baiklah. Untuk kamu apa yang nggak sih, Car,” bisik Ara.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya kami sampai di restoran yang biasa dikunjungi.
“Kamu yang pesan ya, Car. Pesan sepuasnya tanpa batas. Nanti bungkus untuk semua anggota keluargamu yang ada dirumah. Aku yang bayar,” ucapku panjang lebar.
“Kamu aman kan, Ra?” tanya Carista dengan kening berkerut heran melihat kearahku.
“Ya aman lah, Car. Orang sehat gini, kok dibilang nggak aman,” jawabku polos seolah tidak terjadi apa-apa.
“Nggak biasanya,” jawab Carista.
“Sekali-sekali nggak apa-apa kan Car, itung-itung ibadah!” jawabku seadanya.
“Thank you Ara,” ucap Carista dengan senyum lebarnya.
Setelah menikmati makan siang ini, aku akan menyampaikan pesan ayah untuk mengajak Carista tinggal di apartemen.
“Gimana dengan perjodohannya, Ra. Kan sudah tiga hari sekarang. Apa sudah ada jawaban?” tanya Carista duluan, sebelum aku memulai mengatakan semuanya.
“Sudah. Sesuai dengan saranmu, aku menerima perjodohan itu dengan beberapa syarat tentunya.”
“Apa syaratnya?” tanya Carista dengan kening berkerut.
“Pertama, aku meminta perjodohannya tahun depan. Kasih waktu satu tahun untuk aku bisa berbenah dan mempersiapkan diri. Kedua, dalam satu tahun kedepan aku maunya tinggal di apartemen. Ketiga, aku ingin melukis kembali. Keempat, aku tidak ingin diawasi oleh orang kepercayaan ayah.”
“Wow. Brilliant idea. Ini syarat atau proposal sich, Ra. Sebanyak itu syaratnya?” antusias Carista
“Kan nggak ada salahnya, Car. Daripada ntar perasaan aku yang nggak tenang,” jelas Ara.
“Trus bagaimana, apakah ayah setuju dengan permintaanmu?” lanjutnya dengan wajah penasaran tingkat dewa.
“of course, dear,” jawabku dengan senyum lebar, mungkin selebar jalanan yang ada di depan restoran ini.
“Congratulation Ara, akhirnya kamu bebas lagi,” sorak Carista.
“Eittss, jangan senang dulu Car, semuanya berkat kamu juga,” potong Ara.
“Maksudnya?” tanya Carista dengan kening yang berkerut dan alis yang terangkat meminta penjelasan. Aku langsung tertawa melihat ekspresi Carista yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.
“Ayah mengizinkanku kembali ke apartemen, dengan syarat tinggal bersamamu di apartemen. So, you must join with me, Car. Let’s join us!”jawab Ara sambil tersenyum.“Wow, ada saham aku ternyata,” ucapnya dengan mata yang berbinar bahagia.“Pastinya. Kalau nggak mana mungkin Ayah akan setuju,” kata Ara.“Kenapa syaratnya nggak dipertemukan dulu sama orangnya, Ra?” usul Carista.“Aku nggak mikirin orangnya Car. Secara, kalau sudah pilihan orang tua nggak mungkin salah kan?” bela Ara.“Sangat betul. Kalau begitu kamu harus membayarku dengan gaji yang besar,” canda Carista“Ok. Satu saja cukup kan?” yakin Ara.Aku sudah tau “gaji” yang dimaksud Carista. Apalagi kalau bukan tas branded incarannya untuk menambah koleksinya.”it’s ok Ra. Ayo cepat makan, aku sudah nggak sabar dengan tasnya. Nanti kusampaikan d
Begitulah Carista, semuanya tidak akan terlepas dari uang.Carista sangat pelit kalau sudah berurusan dengan yang namanya uang, dia tidak akan mau dirugikan sedikitpun.Tapi meskipun Carista begitu, aku sangat menyayanginya karena Carista adalah sahabat terbaik sekaligus orang kepercayaan bagiku.Dia selalu ada setiap kali aku membutuhkan. Carista yang selalu menemaniku dalam suka dan duka.Bahkan saat aku dalam keadaan sangat terpuruk sekalipun, Carista selalu hadir menemani.Suara bel menghentikan obrolan kami. Carista beranjak menuju pintu untuk menerima makanan yang dipesan melalui kurir.“Bayarnya, Ra!” interupsinya dari pintu.“Pakai uangmu dulu kan bisa, Car!” pekik Ara.“Nggak bisa Ara. Ntar aku lupa!” teriak Carista tak mau kalah.“Ya Tuhan, ini anak pelitnya minta ampun!” jeritku dari dapur.“Biarin. Kan tadi sudah ada kesepakatan!” timpalnya.
Gilang mengingat kembali pertemuannya dengan gadis yang menabraknya di Gramedia beberapa hari yang lalu.Pertemuan itu merupakan pertemuan yang kedua kalinya oleh Gilang, setelah sebelumnya juga bertemu di Restoran saat makan siang.Gilang penasaran dengan sosok gadis tersebut.Gadis dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam bersinar, seakan menambah nilai plus pada dirinya.Kulitnya tidak putih seperti perempuan pada umumnya yang pernah dekat dengan Gilang.Akan tetapi lebih mengarah ke arah sawo matang dan jangan lupakan sebuah lesung pipi disebelah kanan pipinya yang menambah daya tarik kuat dimata para pria tak terkecuali dengan Gilang yang juga terbius pesona gadis tersebut.Melihat dari penampilannya dia bukanlah cewek yang feminim, tapi lebih kearah tomboy.Gilang tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan gadis tersebut.Dia larut dengan pemikirannya sambil tersenyum-senyum sendiri sampai Gilang tidak m
“Terserah kamu saja, Car!” Aku mulai malas meladeni Carista kalau penyakit musimannya ini sudah keluar.“Sampai disana jangan lupa kasih kabar, Ra!” sela Carista.“Pastinya, Car,” jawabku.“Jangan lupa oleh-olehnya juga!” ucapnya menambahkan.“Kamu mau oleh-oleh apa?” tanya Ara.“Apa aja deh, Ra. Yang penting enak,” cetis Carista.“It’s ok, Car!” ucap Ara.Pagi ini, halaman kampus sudah dipenuhi oleh mahasiswa yang akan ikut studi banding ke Universitas Negeri Padang yang berada di Provinsi Sumatera Barat.Mereka sudah lengkap dengan bawaannya masing-masing.Diparkiran kampus sudah berjejer tiga buah bus kampus, yang akan membawa semua mahasiswa peserta Studi Banding dan Dosen yang mendampingi menuju Bandara.Peserta studi banding kali ini terdiri dari seratus orang mahasiswa/mahasiswi, dan ada sepuluh orang dosen pembimbing
“Morning too, Gilang!” senyumku.Aku terpaku menatap senyuman Gilang yang sangat menawan dengan dua lesung pipi di pipinya.“Jangan terlalu lama menatapku, Kia! Ntar kamu jatuh hati. Aku tahu kok kalau aku keren!” canda Gilang yang disusul dengan suara tawanya.“Hahahah. Nggak segitunya kali Lang!” kekehku.“Kia, kita kesana yuk!” ajak Gilang sambil menunjuk sebuah tempat yang ada diseberang lautan.Tempat tersebut merupakan sebuah pulau kecil. Kesana bisa ditempuh dengan perahu yang disewakan disekitaran pantai.Kami pun berjalan menyusuri pantai, dengan menggunakan perahu yang disewakan nelayan, yang berkapasitas 20 orang sekali jalan.Perjalanan sangat menyenangkan, karena aku penyuka tantangan.Akan tetapi, perjalanan cukup menegangkan bagi yang belum biasa naik perahu.Diiringi deburan ombak, sekitar 30 menit sampailah kami di tempat tujuan karena lokasi yang menyebera
Kiara gadis yang baik, ramah, dan supel menurutku.Wawasannya juga lumayan tinggi. Sepertinya latar belakang pendidikannya juga oke, terbukti dari cara dia menjelaskan segalanya kepadaku.Ya, disinilah aku sekarang didepan penginapan Kiara, untuk keluar bersama mencari makanan yang bisa dinikmati dengan menu khas Padang.Kiara menyuruhku menunggu diluar saja, karena menurutnya nggak enak dipandang jika laki-laki dan perempuan didalam rumah berduaan.Untuk yang kesekian kalinya, Gilang terpana dengan Kiara. Sebuah alasan yang masuk akal menurutku.Aku berasumsi bahwa Kiara gadis yang baik, yang tidak sembarangan dengan laki-laki.Gadis yang masih memegang tradisi dan sopan santun yang masih kental.Sekitar 20 menit menunggu, akhirnya yang kutunggu pun keluar dengan blouse lengan panjang selutut berwarna putih, dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam.Flat shoes putih, dan sebuah sling bag Louis Vuitton berwarna putih dengan
Finally, setelah menikmati makanan dan minuman yang telah mereka pesan selama lebih dari dua jam lamanya, merekapun berdiri untuk membayar semua tagihan yang telah mereka nikmati tadi.“Aku yang bayar, Kia!” tegas Gilang saat Kiara akan mengeluarkan uang untuk membayarnya.“Nggak usah, Lang. Biar aku saja yang bayar,” tolak Kiara.“Aku saja. Nggak baik juga kalau cewek yang bayar. Sekalian aku yang traktir,” balas Gilang.“Yakin, nich?” tanya Kiara.“Sure!” angguk Gilang penuh keyakinan.“Terima kasih, Lang,” ucap Kiara.“Sama-sama, Kia," jawab Gilang sambil tersenyum.Mereka berjalan menuju kasir untuk membayar semua tagihan selanjutnya berjalan menuju mobil yang berada di parkiran restoran.“Kita kemana lagi?” tanya Gilang sambil memasangkan seat belt pada Kiara.Yang langsung membuat Kiara membeku untuk sepersekian d
Setelah menunaikan kegiatan melukisnya selama dua jam, akhirnya Ara selesai juga dengan lukisannya.“Finish!” senyum Ara mengembang sambil memandang hasil lukisannya sore ini, dan menoleh ke arah Gilang yang tidak berkedip.“Selesai, Lang. Balik sekarang, atau bentar lagi?” tanyanya melihat Gilang yang tetap bungkam tanpa suara.“Bentar lagi, Kia! Lukisannya sangat bagus,” puji Gilang yang berhasil membuat rona kemerahan di wajah Kiara.“Terima kasih, Lang,” ujar Kiara.“Sama-sama, Kiara,” jawab Gilang.“Lukisannya sudah selesai semuanya?” tanya Gilang.“Poin yang penting-pentingnya sudah, Lang. Nanti tinggal finishing saja di penginapan atau ntar kalau sudah kembali ke Jakarta!” jelas Kiara.“Aku mau lukisannya!” pinta Gilang.“Boleh. Tapi di selesaikan dulu,Lang,” jawab Kiara.“Baiklah,” senyum