Share

Pemuda Masa Lalu Renata

🏵️🏵️🏵️

Mas Arfan adalah cucu salah satu tetanggaku yang tinggal di luar kota Tanjungpinang. Aku masih sangat ingat kalau keluarganya menetap di Palembang. Dulu, ia berkunjung ke kota ini hanya saat liburan sekolah. Ia mengunjungi rumah kakek dan neneknya. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dirinya lagi setelah kami dewasa.

Mas Arfan pernah mempermalukanku saat dirinya liburan kelulusan SMP. Ia memgirimiku surat, tetapi justru Tiara—temanku yang membacakannya. Di dalam surat itu, Mas Arfan mengutarakan isi hatinya. Ia mengaku suka dan jatuh cinta kepadaku. Aku benar-benar kesal dan sangat malu jika mengingat kejadian tersebut. Nama panggilannya kala itu bukan Arfan, tetapi Fandy.

“Surat apa ini, Bang?” tanya Tiara kepada Mas Arfan. Kami pun akhirnya menghentikan permainan kasti yang sedang kami gemari waktu itu.

Mas Arfan tidak memberikan respons, ia hanya tertunduk. Ketika Tiara membacakan isi surat pemuda yang kini berada di sampingku, di depan teman-teman lain, hati ini benar-benar sakit karena menahan rasa malu. Aku tidak menyangka akan mendengar pengakuan Mas Arfan melalui surat itu.

[Maafin aku, Ren, karena mungkin belum waktunya mengutarakan perasaan ini padamu. Namun, makin aku memendam rasa ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Kamu harus tahu kalau aku sudah lama tertarik padamu. Aku ingin tetap mengagumimu sampai selamanya. Aku berharap jika kita udah dewasa nanti, kamu yang akan mendampingi hidupku. Aku pasti melamarmu. Aku yakin, kita akan menjadi pasangan yang bahagia. Aku mencintaimu, Renata Cantika Ardian.]

Aku tidak mampu untuk tidak mengeluarkan air mata setelah Tiara selesai membaca surat Mas Arfan. Itu terjadi bukan karena aku terharu dengan ungkapan yang tertulis di kertas putih itu, tetapi lebih tepatnya diriku malu dan kecewa atas sikap pemuda tersebut.

“Aku nggak nyangka kalau Bang Fandy memiliki rasa cinta pada Rena. Padahal, kita masih kecil.” Tiara menyampaikan apa yang seharusnya keluar dari mulutku untuk Mas Arfan.

“Maaf, tapi aku benar-benar tertarik dan suka pada Rena.” Mas Arfan meminta maaf, tetapi ia tetap menunduk.

“Coba Abang lihat Rena. Sekarang dia nangis karena perbuatan Abang.” Tiara menunjuk ke arahku yang saat itu sedang berlinang air mata.

Mas Arfan akhirnya mengangkat wajah lalu melihat ke arahku. Saat itu, aku sangat ingin mendaratkan tamparan di pipinya, tetapi aku tidak kuasa. Ia pun meminta maaf sebelum kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Namun, aku berusaha menghindar dan tidak memberikan respons sama sekali.

“Maafin aku, Ren. Aku hanya berusaha mengungkapkan apa yang kurasakan.” Mas Arfan meraih tanganku yang langsung aku tepiskan. Aku makin muak apalagi setelah mendengar pengakuan pemuda tersebut kala itu.

Aku tetap diam dan tidak ingin memberikan balasan atas apa yang Mas Arfan ucapkan. Semenjak saat itu, aku tidak ingin dekat lagi dengannya. Ia telah membuatku malu di depan Tiara dan teman-teman lain.

Ternyata usaha untuk menghindari dirinya di masa lalu, seolah-olah tidak berpengaruh sama sekali. Saat ini, Mas Arfan justru berada di dekatku dan kembali membuatku kesal dengan sikap yang ia tunjukkan. Kenapa dirinya harus muncul lagi sekarang?

🏵️🏵️🏵️

“Kenapa kamu harus muncul lagi?” Aku langsung melontarkan pertanyaan kepada Mas Arfan setelah mengingat siapa pemuda itu sebenarnya.

“Apa kamu udah ingat semuanya tentang kita?” Wajahnya menunjukkan perubahan.

“Kita? Aku dan kamu itu tidak akan pernah menjadi kita.” Entah kenapa, aku merasa makin membencinya.

“Apa kamu lupa dengan apa yang aku inginkan dulu?” Ia menatapku sekilas lalu kembali fokus mengemudikan mobilnya.

“Aku nggak peduli. Kenapa kamu harus kembali hadir dalam hidupku?” Aku tetap bersikap tidak ingin tahu dengan apa yang akan ia sampaikan.

“Aku datang untuk menepati janjiku.” Entah kenapa nada suaranya menurun.

“Aku nggak mau tahu dengan janjimu.” Aku tetap memberikan balasan dengan sikap tidak peduli.

“Tapi janjiku berkaitan denganmu.” Aku tidak mengerti apa maksud ucapannya.

“Kamu benar-benar nyebelin. Kamu selalu mengusik kehidupanku. Apa kamu nggak puas dengan keusilanmu dulu? Kamu bahkan mempermalukan aku di depan teman-temanku.” Aku pun mengungkapkan apa yang aku kesalkan.

“Aku tidak ada niat sedikit pun untuk menyakitimu. Bagaimana mungkin aku menyakiti gadis yang aku cintai?” Dasar pemuda menyebalkan. Aku tidak tahu harus marah atau bahagia setelah mendengar penuturannya.

“Kamu tetap aja nggak berubah. Bikin kesel.”

“Yang bener?” Tiba-tiba, sikapnya mengingatkanku saat kami masih kecil dulu.

“Iya,” jawabku singkat.

“Tapi suka. Iya, ‘kan?” What? Ternyata keusilan Mas Arfan tidak berubah.

“Nggak.”

“Aku nggak percaya.” Ia benar-benar ingin membangkitkan amarahku.

“Terserah. Dasar nyebelin. Mandala.”

“Cie, udah berani lagi sebut nama calon papa mertuanya sendiri.” Mas Arfan sangat membuatku geram.

“Ih, jangan ngarang!”

“Tapi itu kenyataan.”

“Emang aku mau sama kamu? Ya, nggaklah.” Aku dengan yakin melontarkan kalimat itu.

“Mungkin sekarang nggak mau, tapi setelah lulus kuliah harus mau. Aku tinggal menunggu beberapa bulan lagi. Janjiku akan terpenuhi.” Rasa percaya diri Mas Arfan sepertinya telah berada di puncak paling tinggi.

Aku sangat ingat kalau Mas Arfan dulu sering membuatku kesal sejak kami saling kenal. Namun, sikap itu makin aneh saat dirinya akan kembali ke Palembang. Ia tidak hanya sekadar membuatku kesal, tetapi juga malu karena surat yang ia tuliskan.

Jika mengingat keusilan yang Mas Arfan lakukan belasan tahun yang lalu, rasanya aku ingin mengacak-acak rambutnya. Namun, entah kenapa aku tidak melakukannya sekarang, padahal sangat jelas dirinya kini ada di sampingku.

Walaupun Mas Arfan sering membuatku kesal dulu, tetapi aku turut bangga dengan prestasi yang ia raih. Aku mendengar pembicaraan Ayah dan Bunda tadi malam, ternyata Mas Arfan telah beberapa tahun menyelesaikan pendidikannya, ia kini menjabat sebagai direktur di perusahaan papanya. Mas Arfan dan keluarganya sekarang telah menetap di kota ini.

“Kenapa kamu bawa aku ke sini? Ini rumah siapa? Aku mau langsung pulang.” Mas Arfan menghentikan mobilnya di sebuah rumah mewah.

“Ini akan menjadi rumahmu sebentar lagi. Ada seseorang yang ingin ketemu kamu.” Aku makin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Mas Arfan.

“Aku nggak mau.” Aku berusaha menolaknya.

“Kenapa? Apa kamu takut Om Ardian marah? Oke, aku akan telepon beliau.” Mas Arfan meraih ponselnya dari saku kemeja yang ia kenakan.

Mas Arfan mengaktifkan pengeras suara, mungkin tujuannya agar aku juga mendengar pembicaraannya dengan Ayah. “Ada apa, Fan?” Ayah menjawab telepon dari seberang. Kenapa laki-laki paruh baya itu terdengar sangat dekat dengan pemuda menyebalkan yang ada di sampingku?

“Saya culik anak Om sebentar, ya.” Mas Arfan memberikan balasan.

“Kok, hanya sebentar? Selamanya juga nggak apa-apa.” What? Ayah benar-benar keterlaluan. Aku tidak menyangka kalau Ayah memberikan jawaban seperti itu.

“Terima kasih, Om.” Sebelum Mas Arfan mengakhiri panggilan, aku berteriak. “Ayaaah!” Namun, Ayah tidak memberikan respons. Ternyata beliau telah mematikan telepon.

Aku memajukan bibir beberapa senti karena sangat kesal terhadap laki-laki yang berstatus sebagai ayahku tersebut. Alhasil, aku benar-benar tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Mas Arfan. Pemuda itu mengembangkan senyumnya lalu membukakan pintu untukku.

==========

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status