Jika Livya berharap Arnesh mengejarnya saat dia lari, maka itu salah. Rupanya Arnesh malam memperhatikan dalam diam dan masuk ke dalam ruangannya. Ia terlalu berharap, pada Arnesh yang memang tidak peduli.Livya tidak mendengarkan panggilan ibu mertua, dia buru-buru pergi meninggalkan Rumah Sakit usai mendengar pembicaraan ibu dan anak, sangat menyakitkan.Mau berjuang seperti apapun, di mata Arnesh tidak akan ada harganya. Sudah 4 tahun Livya berusaha, tetap saja tak bisa mendapat cinta sang suami. Bisa dibilang, ia hal mustahil."Aku harus gimana lagi supaya Mas Arnesh cinta sama aku? Arghh! Kenapa sesakit ini, Tuhan!" isak Livya merintih pilu.Ia bergegas masuk ke dalam mobil miliknya. Menjalankan kendaraan tanpa arah tujuan demi menenangkan hati dan pikiran.Benaknya jadi teringat pada Daniel. Hanya pria itu yang bisa menyembuhkan kegundahan yang Livya rasakan. Alhasil, dia menancap gas ke arah Hotel milik kekasih gelapnya.Kedatangan Livya disambut hangat oleh para pegawai, dia m
Memulai hidup baru di kediaman baru bukan hal yang mudah dijalankan. Sudah satu minggu lamanya Gladys tinggal disebuah kost-kostan, harganya lumayan murah meskipun tempatnya kecil.Di tempat tinggal barunya, Gladys berusaha beradaptasi setiap kali bertemu dengan tetangganya. Penyewa kost di sini kebanyakan para anak muda yang bekerja, wajar jika mereka akan terlihat pagi dan sore saja.Hanya Gladys yang belum bekerja. Dia menghabiskan waktu untuk berjualan, bermodalkan yang ada."Glad, dagang apa kamu?" sapa tetangga sebelah kiri Gladys yang menghampiri saat Gladys baru keluar."Biasa, Pril. Gorengan sama kue," balas Gladys.Gladys berhenti, menunjukkan dagangannya pada April. Wanita muda yang seumuran dengan Gladys, dia bekerja di sebuah restoran bintang lima.April juga baik, selalu mengajak Gladys untuk menemani. Dengan begitu, mereka tidak akan kesepian.April sibuk memilih barang dagangan untuk dibeli dan dibawa ke tempat kerja. "Gorengan sama kuenya enak, apalagi masih hangat. N
Waktu bergulir menuju senja, Gladys pulang berdagang pada sore harinya. Dengan memikul beban dan rasa lelah, Galdys ingin segera sampai di kediaman untuk beristirahat. Kost di sini hampir terisi penuh oleh penyewa kamar, karena mungkin kost ini dekat dengan tempat kerja. Saat Gladys berjalan menaiki tangga, ia dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang sangat familiar sedang bergelayut mesra dengan seorang pria. "Bibi Kemala?" gumam Gladys, segera bersembunyi dibalik tembok. Melihat Bibi Kemala bersama seorang pria paruh baya memasuki kamar kost. Gladys tidak tahu siapa, keduanya tampak sangat dekat. Sebenarnya ada hubungan apa mereka berdua? "Bibi sedang bersama siapa? Mungkinkah pria itu kekasihnya?" Rasanya tidak etis saja. Bagi pria dan wanita yang belum menikah memasuki ruangan tertutup, apalagi Gladys sempat melihat kedekatan keduanya begitu intim. Sebelum kehadirannya diketahui, gegas Gladys masuk ke dalam kamar kost. Takut Bibi Kemala tahu dan merampas uang hasil j
Sembari menemani ayahnya yang sudah bisa dibawa pulang. Arnesh gelisah dengan pikiran gamang. Dia sangat gundah, karena belum mendapatkan kabar dari anak buahnya yang ia perintah untuk mencari Gladys. Kedua orang tuanya akan tinggal di sini, agar Arnesh bisa memeriksa keadaan ayahnya jika ada sesuatu. Mama Linda malah khawatir, Livya tidak pulang ke rumah. "Arnesh, kamu itu gimana sih jadi suami. Istri nggak pulang, bukannya dicari kamu malah santai di sini!" omel Mama Linda, melirik ke arah Arnesh yang langsung memutar bola mata malas. Dibanding dengan Livya, Arnesh lebih khawatir soal Gladys. Mungkin karena rasa tak menentu itu hadir di hatinya. "Ya terus harus ngapain? Udah aku hubungin ponselnya nggak aktif, Ma. Lagi shopping paling," timpal Arnesh, meredam kesal. Wajar Mama Linda sangat khawatir. Apalagi Livya pergi usai mendengar pembicaraannya dengan Arnesh, dia juga sedang hamil muda. Mama Linda hanya takut, terjadi sesuatu dengan sang menantu di luar sana. "Inisiatif do
Livya jadi beringas mendengar hal yang ditawarkan oleh sang suami. Setelah sekian lama menanti, akhirnya Arnesh menginginkan dengan sendirinya. Tentu Livya tak bisa menolak. "Mas yakin? Aku ... takut kalau Mas akan kasar padaku, takut terjadi sesuatu pada anak kita nantinya," ujar Livya. "Tenang, aku juga masih punya pikiran. Nggak mungkin melakukan seks kasar saat kehamilan, aku ingin menjenguk anakku," balas Arnesh. "Ba-baiklah, Mas. Aku akan melayanimu malam ini." "Aku mulai, ya." Dia mulai mengangguk malu-malu, karena Arnesh pertama kali menatap dengan begitu lekat. Arnesh menilik wajah Livya, wanita yang sudah menemani dan bakalan memberikan penerusnya. Mungkin, dia memang harus belajar menerima keberadaan Livya. Siapa tahu dengan cara ini, dia bisa sedikit lupa soal Gladys. Wanita yang belakangan ini berhasil membuat pikirannya terusik. "Papa akan menjengukmu, Sayang," bisik Arnesh, mengecup perut Livya yang hanya mengenakan dalaman saja setelah pakaiannya ditanggalkan.
Terkejut, reaksi Kemala ketika melihat seorang wanita sedang menenteng karanjang di genggaman berjalan ke arahnya. Ia sangat kaget, dengan kehadiran Gladys yang sudah mulai terlihat perutnya yang menonjol. "Wanita gila ini yang lebih dulu menggangguku! Mana mungkin aku berbuat kasar tanpa alasan!" sergah Bambang, murka pada Kemala yang sudah berlebihan dan bahkan merusak suasanya pagi. Wanita yang awalnya dicinta, malah semakin memuakkan di mata. Sebab, Kemala selalu banyak keinginan, yang mana keinginan tersebut harus segera dipenuhi. Berbeda dengan sang istri, selalu menerima uang pemberiannya tanpa protes sedikit pun. Maka dari itu, mengakhiri lebih baik. "Dibicarakan baik-baik 'kan bisa. Anda nggak harus berbuat kasar kepada wanita, apalagi ini Bibi saya," ujar Gladys. Tangan itu akan meraih Kemala, membantu untuk berdiri tapi malah keburu ditepis. Kemala enggan mengakui, jika Gladys adalah keluarga. Semenjak kehamilan itu, Kemala harus menanggung malu karena diolok-olok w
Melihat kedatangan anak dan menantunya ke lantai bawah, Mama Linda sontak menatap ke arah keduanya yang sedang berjalan beriringan menuruni tangga. Terlihat ada gurat kebahagiaan yang terlukis di wajah Livya pagi ini. Ia jadi lega, kerita Arnesh menggenggam tangan Livya menuju meja sarapan. "Pagi, Ma," sapa Livya, duduk di sebelah ibu mertuanya. "Cerah banget wajah kamu, Liv. Lagi senang nih pasti," goda Mama Linda, mengulum senyum di bibirnya. "Mama tahu aja." Livya merona dan melirik ke arah Arnesh yang fokus memakan sarapan yang sudah dihidangkan. Meski ada begitu banyak makanan enak tersaji, Arnesh kehilangan selera makan. Ia terus kepikiran, bagaimana dan di mana Gladys sekarang. Sungguh, dia sangat merindukan. Sudah satu bulan lamanya tidak bertemu, Arnesh jadi semakin rindu menggebu. Alasannya pun dia tak tahu, bingung dengan perasaan sendiri. "Mas ... kenapa bengong?" Livya mengajukan tanya. Ketika tahu Arnesh melamun dan mendiamkan menu sarapan. Arnesh membubarkan la
Keresehan dirasakan Gladys, ketika dirinya tahu bahwa Arnesh menyuruh orang untuk mencari dirinya. Berlebihan, Gladys merasa jengah dengan jalan pikir Arnesh. Wanita itu mondar-mandi di kamar, sembari menggigit kukunya. Memikirkan bagaimana cara agar orang suruhan Arnesh tidak menemukannya. "Mentang-mentang punya banyak uang, sehingga dengan mudahnya mengutus orang!" gerutunya. Jika seperti ini, Gladys jadi ragu untuk berjualan. Dipastikan dia tidak akan leluasa seperti biasa. Hingga terlintas, satu-satunya cara agar dia tidak diketahui ialah dengan menutup wajah. Yeah, dia harus pakai cara itu, memilih jalur aman. Berjaga-jaga, supaya Arnesh tidak bisa menemukan kebaradaannya. *** Akhir-akhir ini Arnesh jadi sangat bimbang. Benaknya terus terngiang-ngiang Gladys yang masih belum ada kabar. Akibatnya, pekerjaan ia jadi tidak fokus dan kehilangan semangat. Kepergian Gladys diibaratkan merenggut setengah jiwanya. Arnesh memijat pelipis, pusing menjalar lantaran terus memikirkan.