Share

7. Apakah Mencintai Harus Sesakit Ini?

Langkah Aiko terasa sangat ringan. Ia berjalan masuk ke dalam mansion milik Gilbert Hugo, sang kekasih. Beberapa pelayan tampak berdiri di depan mansion untuk menyambutnya dan membawakan barang yang dibawa olehnya.

"Silahkan masuk, Nona. Tuan sudah menunggu," ucap salah satu pelayan yang ikut dalam barisan penyambutan Aiko.

Aiko tersenyum. "Terimakasih."

Baru beberapa langkah Aiko teringat sesuatu dan ia berhenti lalu menoleh pada para pelayan yang mengikutinya. "Bisakah tolong antarkan aku terlebih dahulu ke kamarku? Aku ingin membersihkan diri sebelum bertemu dengan majikan kalian."

Para pelayan pun mengangguk secara bersamaan. "Tentu saja, Nona. Silahkan ikuti kami," jawab salah satu pelayan.

Salah seorang pelayan yang nampak paling senior, berjalan paling depan karena dia yang akan menunjukkan kamar yang telah disiapkan untuk tamu dari majikannya tersebut. Sementara Aiko dan beberapa pelayan lainnya mengikuti dari belakang.

"Ini kamar Anda, Nona. Kami akan membantu Anda untuk mempersiapkan diri sebelum makan malam bersama Tuan Gilbert," ujar pelayan yang memimpin jalan tadi.

Aiko menggeleng dengan tetap menampilkan wajah ramahnya. "Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri, kalian kembali bekerja saja. Terimakasih banyak untuk semuanya."

"Baiklah Nona, kami permisi dulu." Pelayan yang sedari tadi berinteraksi dengan Aiko pun pamit mewakili pelayan yang lain.

Aiko memandangi kamar yang sangat luas yang telah dipersiapkan untuknya. Kamar mewah dengan segala perabot yang terlihat mahal dan berkelas. Selama ini dia belum pernah diajak ke mansion milik kekasihnya, dia hanya akan diajak ke apartemen pria tersebut jika akan bertemu. Kali ini dia sangat yakin jika Gilbert sangat mencintainya dan akan melindungi dirinya sebaik mungkin.

Koper yang tadi dibawa masuk oleh para pelayan ke dalam kamar pun diangkat oleh Aiko dan diletakkan di atas kasur. Dia membuka koper tersebut untuk mengambil handuk serta pakaian terbaiknya yang dia miliki untuk bertemu dengan Gilbert. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, Aiko pun memoles wajah agar terlihat cantik saat bertemu dengan kekasihnya nanti. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu, tentu hatinya sangat merindukan pria tampan bernetra biru itu.

Sekali lagi, Aiko mematut dirinya di depan cermin sambil tersenyum puas melihat penampilanya yang mengenakan dress hitam selutut tanpa lengan dan terlihat sangat pas di tubuhnya. "Kurasa aku sudah cantik."

Aiko terkikik geli karena merasa dirinya terlalu narsis. Saat akan berjalan keluar dari kamar, seseorang mengetuk pintu kamar. Buru-buru dia membuka pintu tersebut dan nampak salah satu pengawal Gilbert berdiri di depan kamarnya.

"Ada apa?" tanya Naomi singkat.

"Tuan menunggu Anda di ruang makan, Nona. Anda di minta untuk ke sana sekarang juga," jawab pengawal tersebut menyampaikan apa yang di perintahkan oleh majikannya.

"Baiklah. Ayo!" Aiko pun mengikuti pengawal tersebut setelah menutup pintu kamarnya.

Mereka berdua berjalan melalui banyak ruangan hingga berakhir di ruang makan, tempat Gilbert telah menunggunya. Saat kekasihnya melihat dia datang, pria itu segera berdiri dan memeluk Aiko dengan erat. Juga tak segan untuk mencium bibirnya sekilas di depan para pelayan dan pengawal yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Aku sangat merindukanmu, Aiko. Maaf aku baru menjemputmu sekarang," sesal Gilbert yang membuat Aiko segera memaafkan pria itu.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Justru aku yang seharusnya minta maaf karena telah mengacaukan rencana kita."

Tangan Gilbert terangkat untuk merapikan anak rambut Aiko dan menyisipkannya ke belakang telinga sambil tersenyum lembut. "Asal kau baik-baik saja, Sayang. Ayo! Lebih baik kita segera makan."

Gilbert menggenggam tangan Aiko dan menuntun gadis itu untuk duduk di kursi tepat di sebelah kursi yang tadi dia duduki. Tatapannya tak pernah lepas memandangi wajah kekasihnya yang terlihat sangat cantik malam ini.

Ditatap secara intens oleh Gilbert membuat dada Aiko berdebar dan wajahnya bersemu merah. "Kenapa menatapku seperti itu?"

"Kau sangat cantik malam ini."

Aiko tersenyum bahagia mendapat pujian dari sang kekasih. "Terimakasih atas pujianmu."

Mereka berdua melewati makan malam penuh cinta. Gilbert menunjukkan rasa cinta dan perhatiannya yang begitu besar kepada Aiko hingga gadis itu terbuai dan tidak waspada karena sudah terlanjur percaya sepenuhnya kepada pria itu. Tepat setelah mereka menghabiskan dessert yaitu creme brulee, tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing yang tak tertahankan.

"Ada apa?" tanya Gilbert yang khawatir karena Aiko terlihat tidak sehat.

Aiko memegangi kepalanya yang berdenyut, tubuhnya pun terasa sangat lemas. "Sepertinya ada yang salah dengan tubuhku," jawabnya dengan sangat lirih.

Gilbert segera menggeser kursi yang ia duduki hingga menempel pada kursi di mana Aiko duduk. Tepat pada saat itu, tubuh gadis itu ambruk tak sadarkan diri yang segera ditangkap olehnya. Dia tersenyum miring melihat sang kekasih yang bersandar di dadanya dalam kondisi pingsan.

Tangan Gilbert menyusuri setiap detail wajah kekasihnya. "Kau itu sebenarnya sangat cantik, Aiko. Namun, sayangnya kau sangat bodoh karena kau tidak bisa membedakan mana orang yang sebenarnya mencintaimu dengan yang hanya memanfaatkanmu."

Gilbert mencium pucuk kepala Aiko. "Aku membencimu karena kau gagal menyingkirkan Aslan dan itu bisa membuatku terseret dalam masalah besar jika sampai mereka menemukanmu. Ck... Tubuhmu memang sangat indah tapi sayangnya kau gadis yang sok suci, tidak pernah mau tidur denganku. Jadi sekarang, bawalah kesucianmu itu ke neraka bersamamu."

Gilbert pun tergelak. Para pelayan dan pengawalnya hanya bisa diam melihat apa yang di lakukan oleh tuannya. Diam-diam ada seorang gadis yang menjadi salah satu pengawal di mansion tersebut bergidik ngeri, dia tidak menyangka dengan apa yang kini majikannya perbuat pada kekasihnya sendiri yang telah banyak berkorban untuknya.

Beberapa pengawal membawa tubuh Aiko yang tak sadarkan diri menuju penjara bawah tanah yang ada di bawah mansion tersebut setelah diperintahkan oleh Gilbert. Di sana tubuh gadis itu diikat pada sisi kanan dan kiri dikedua tangan dan kakinya. Dua orang penjaga pun di tempatkan di depan pintu sel ruangan dan salah satunya adalah pengawal yang bernama Ellen Maria.

Aiko bangun tergagap karena ada seseorang menyiram tubuhnya menggunakan air es. Belum sepenuhnya pulih dari kesadarannya, dia sangat terkejut saat tidak bisa menggerakan tangannya dengan bebas. Ternyata bukan hanya itu saja, tapi suara seseorang yang kini memanggil namanya yang membuatnya makin terperangah.

"Aiko... Aiko... Dasar gadis bodoh!"

Mendengar suara dari orang yang dia cintai membuat Aiko mengangkat kepala sampai pandangannya bertemu dengan Gilbert. Matanya membulat dengan sempurna melihat kekasih yang duduk di sebuah kursi tepat di hadapannya sedang memangku seorang gadis berpakain minim. Bahkan tak segan pria yang begitu dia cintai mencumbu dan menggerayangi tubuh gadis asing tersebut di depan matanya.

"Ada apa ini sebenarnya?" Walaupun Aiko belum mengetahui situasi yang terjadi secara pasti tapi melihat kekasihnya tengah bermesraan bersama wanita lain tentu membuat hatinya sangat sakit.

Gilbert menghentikan kegiatannya yang tengah bermesraan dengan seorang wanita, kemudian dia menatap Aiko dengan tatapan sinis. "Kau masih belum sadar juga rupanya. Baiklah, akan aku beritahu semuanya sebelum aku membunuhmu secara perlahan."

Gadis yang ada di pangkuan Gilbert segera menyingkir sesuai instruksi darinya. Dia berdiri dan berjalan mendekat ke arah Aiko yang duduk di lantai yang dingin dengan kondisi kaki dan tangan yang terikat. Setelah cukup dekat, dia berlutut dengan menekuk satu kakinya di hadapan gadis itu.

"Kau itu hanya kujadikan sebagai alat untuk menyingkirkan para musuhku, Aiko!" cemooh Gilbert dengan mencengkram kuat rahang Aiko.

Aiko menggeleng dengan air mata yang akhirnya tumpah membasahi pipi. "Tidak mungkin! Kau bohong! Kau bilang mencintaiku dan aku telah melakukan semua yang ku bisa untukmu!"

"Cih! Semua? Apa kau lupa jika kau tidak pernah mau memberikan tubuhmu untuk kunikmati?" sanggah Gilbert yang membuat Aiko diam seribu bahasa.

Gilbert menyeringai. "Seandainya kau bisa memuaskanku di atas ranjang pasti aku akan mempertimbangkan untuk mengurungmu saja di kamar dari pada harus menyingkirkanmu."

"Aku bukan jalang! Jadi kau ingin menyingkirkanku?" tanya Aiko dengan tatapan tak percaya.

Gilbert mendekatkan bibirnya pada telinga Aiko. "Aku ingin sekali menghabisimu secara perlahan, sampai kau menyesal karena pernah bertemu denganku dalam hidupmu."

Gilbert memerintahkan dua anak buahnya untuk menyiksa Aiko. Dengan kondisi tangan dan kaki terikat tentu membuat gadis itu tak berdaya. Namun, dia sama sekali tidak mengeluarkan suara jeritan kesakitan karena hatinyalah yang lebih sakit dari pada fisiknya.

Dalam keadaan disiksa, air matanya tak kunjung berhenti mengalir mengingat semua kenangan dan janji manis yang diucapkan Gilbert yang sesungguhnya hanyalah sebuah kebohongan. Dia benar-benar bodoh bisa mempercayai pria itu, bahkan dia rela melakukan semua yang di perintahkan kepadanya kecuali memberikan tubuhnya.

'Kenapa mencintai seseorang sesakit ini? Mungkinkah ini juga yang dirasakan Aslan saat tahu aku mengkhianati kepercayaannya?' batin Aiko dalam hati

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status