Menjalani kehidupan baru dengan laki-laki yang dicintai adalah impian setiap perempuan, tidak terkecuali aku. Takdir yang sebelumnya kuanggap tidak adil, kini seakan menjadi takdir paling sempurna. Apalagi, bisa menikah dengan Narendra, laki-laki yang mencintaiku apa adanya. Ketika diri mampu bersabar, akan ada kebahagiaan yang tersebar pada waktu yang tepat sembari memberi rasa pada hari-hari yang sebelumnya hambar. Bahkan, amarah yang sempat membakar, lebih baik disiram dengan air sebagai penawar. Hingga nantinya, hal baik yang akan menjadi kabar. Aku membuka mata saat azan Subuh berkumandang. Meskipun tidak terlalu keras terdengar dari apartemen ini, seruan itu tetap mampu membangunkanku. Satu pekan sudah aku terbangun dengan pemandangan paling indah--menurutku. Menatap Mas Narendra di saat dia masih tertidur membuat hati ini sangat bahagia. Mengingat setiap perlakuan lembutnya mampu menghapus jejak ketakutan saat berhadapan dengan Rasya. Ah, untuk apa mengingat nama itu lagi?
Setelah Mas Narendra pergi, tak lama kemudian, Hera datang berkunjung sendirian. Wajahnya sedikit kusut seperti pakaian yang belum disetrika. Katanya sedang marahan dengan Rendy.Hera tidak menangis, tapi dia uring-uringan karena Rendy tidak setuju dengan gaun pengantin pilihannya. Dan sekarang, dia ingin mengajakku untuk memesan ulang gaun pengantin yang akan digunakan bulan depan.Aku menghela napas kasar. Niat hati ingin rebahan, tapi calon adik ipar mood-nya sedang jelek. Bisa batal pernikahan adik kesayanganku kalau calon istrinya tidak kuturuti."Mbak nggak keberatan, 'kan? Soalnya, aku tadi ketemu Mas Narendra di lobi, katanya Mbak libur hari ini."Aku mencium bau persekongkolan di sini. Namun, mau bagaimana lagi? Lebih baik aku pergi dengan Hera, sekalian refreshing. Otak juga ngebul kalau dibuat bekerja terus-menerus."Kita ajak Ibu, ya, Mbak," ucap Hera saat kami baru akan beranjak pergi."Boleh. Ibu juga pasti ingin jalan-jalan."Akhirnya, kami pergi bertiga menggunakan tak
Kejutan ulang tahun kedua puluh delapan ini membuatku merasa sangat berharga. Cintanya sungguh luar biasa, tecermin dari lagu yang dia bawakan. Dan malam ini pula, aku ikhlas memberikan apa yang memang sudah menjadi haknya sejak dua bulan yang lalu. Dia begitu lembut memperlakukanku, hingga ketakutan saat Rasya menyentuhku dulu lenyap dan berganti kenyamanan. "Terima kasih, Sayang," bisiknya setelah selesai berlabuh. Ya, suasana malam yang syahdu ditemani gemuruh petir di luar, tidak sedikit pun mengganggu. Namun, itu justru menjadi teman saat kami akan terlelap bersama butiran air yang tampak memercik di kaca pintu balkon karena tirainya tidak tertutup sempurna. ***Tiga pekan terlewat. Pagi ini, aku sengaja meminta izin Mas Narendra untuk tidak bekerja selama beberapa hari ke depan. Alasannya hanya satu, aku ingin menjadi orang pertama yang paling sibuk mempersiapkan pernikahan Rendy yang tinggal menghitung hari. Dari mulai memastikan tempat akad nikah, tempat resepsi, katering
Aku masih bimbang antara masuk ke ruang poli kandungan atau tidak. Namun, melihat antusias Mas Narendra, hati ini tidak tega jika mengecewakannya. Aku benar-benar takut kali ini. Bukan karena tidak ingin hamil, tapi takut jika hasilnya negatif. Pun takut jika terjadi keguguran lagi nantinya. Beberapa saat kami menunggu, namaku akhirnya dipanggil. Namun, aku bergeming, enggan untuk beranjak dari duduk. Hingga Mas Narendra menarik tanganku dan membuat tersadar. Dia sudah berdiri di hadapan. "Ada apa?" tanyanya lembut. "Aku takut, Mas," jawabku pelan seraya menatapnya. Memang ada keraguan di hati ini. "Sebentar saja, ya. Kalaupun hasilnya negatif, nggak apa-apa. Sekalian konsultasi saja," bujukya seraya berjongkok di hadapan dan meremas kedua tanganku dengan lembut. Aku tidak bisa menolak lagi. Harapannya terlalu besar. Akhirnya, dengan langkah pelan, aku pun masuk ke ruangan dokter dengan hati yang gelisah. Sebuah alat digeser-geser pada perutku setelah mengikuti instruksi sang d
Dua pasang mata itu masih menatapku tanpa berkedip. Namun, sejurus kemudian, Mas Narendra menyunggingkan senyum dan mendekat kepadaku sambil membawa makanan yang sudah memenuhi piringnya. Aku melihat ada yang aneh di antara keduanya. Meskipun hanya beberapa kalimat kudengar, sepertinya mereka mempunyai masalah. "Ran, kenapa menyusul ke sini? Ayo, kita makan dulu," ajak Mas Narendra sembari menggandeng tanganku.Akan tetapi, baru selangkah kami meninggalkan tempat, seorang anak kecil sudah memeluk kaki suamiku sambil menyebutnya papa. Dia, Febi. Aku berjongkok, lalu mengelus kepalanya dengan lembut. "Sayang, ini bukan papa Febi. Kata mama Febi tadi, papa Febi nggak ikut.""Ini papa Pebi! Papa Nalen!" teriaknya tanpa melepas pelukan di kaki Mas Narendra. Dada ini tiba-tiba seperti berhenti berdetak mendengarnya. Sejak tadi, aku berusaha berpikir positif karena kemiripan mata Febi dengan suamiku. Namun, kini semua sudah jelas. Aku mendongak, lalu perlahan berdiri. Wajah Mas Narendra
Selepas sarapan, aku kembali ke kamar dan memilih kembali tidur. Suasana hati yang belum sepenuhnya membaik membuat sakit kepala sebelah yang cukup menyiksa sejak semalam. Hingga memejam adalah opsi terbaik untuk saat ini."Minum obat dan vitaminnya dulu, ya." Mas Narendra sudah membawa beberapa butir obat di tangan.Aku mendesah, paling sebal kalau disuruh minum obat. Rasanya membuat mual. Namun, demi bayi dalam kandungan ini, aku mengalah.Setelah semua obat kuminum, lantas merebahkan badan di tempat tidur. Dan ternyata, Mas Narendra ikut berbaring, bahkan memelukku dari samping. Berkali-kali kusingkirkan tangan yang melingkar di pinggang, tapi dia tidak menyerah. Padahal, aku sengaja membelakanginya untuk menghindar."Biarkan aku memelukmu, Ran. Aku ingin menikmati saat-saat terakh—" Laki-laki di belakang menghentikan ucapannya. "Aku ingin menikmati saat-saat sebelum anak kita lahir. Nanti, kalau Rania atau Narendra Junior sudah lahir, pasti aku akan tersisih."Butiran kristal hang
Mas Narendra sudah tampak seperti biasanya. Dia memang tidak terlihat jika sedang sakit. Pun, dia hanya satu hari dirawat karena suamiku itu sangat keras kepala ingin dirawat di rumah saja. Katanya tidak ingin membuatku kelelahan dengan menungguinya di rumah sakit.Dan pagi ini, dia kembali membuat emosiku hampir meluap. Dia sudah bersiap dengan jas kebanggaan saat keluar dari kamar. Aku yang masih menyiapkan sarapan, tentu terkejut melihatnya. Baru satu hari dia pulang dan sudah akan bekerja lagi."Mas mau ke mana? Aku nggak kasih izin kalah mau kerja. Mas harus istirahat. Apa Mas nggak mau sembuh? Ap—"Sepotong perkedel dimasukkan Mas Narendra ke mulutku. Dengan terpaksa, aku mengunyahnya dan berhenti bicara."Enak, kan, Sayang. Aku mau sarapan masakan kamu, bukan omelan kamu," tuturnya dengan wajah tanpa dosa, lalu segera duduk."Kalau Mas nekat kerja, aku ikut. Kalau nggak diizinkan, aku tetap akan ikut. Mulai sekarang, ke mana pun Mas pergi, aku ikut," ucapku seraya mengambilkan
Meskipun tidak diinginkan, masalah pasti akan menghampiri siapa pun. Bahkan, orang dengan harta paling berlimpah pun tidak akan lolos dari masalah. Pun orang tanpa harta, akan ada saja masalah yang mendekat. Semua memang tidak bisa diukur dengan uang. Dan aku merasakannya dulu, pun sekarang. Ini bukan disengaja, tapi hanya kebetulan. Pertemuan yang tidak kuinginkan, tapi Allah yang mempertemukan. Ayah Rasya dimakamkan hari ini setelah kepergiannya semalam. Dan tanpa sengaja, aku pun datang ke makam Ayah. Aku tidak ingin duduk berdua dengan laki-laki berkulit sawo matang itu, tapi keadaan memaksa ini terjadi. Aku hampir pingsan setelah cukup lama di bawah terik siang yang makin menyengat di depan makam Ayah. "Sudah enakan, Ran? Kalau sudah, aku antar pulang. Suamimu pasti mencari." Rasya berkata begitu sopan. Namun, aku masih belum bisa percaya dengan sikap barunya. "Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri," jawabku tanpa menoleh. Pandangan ini tertuju pada kedua tangan yang meremas