“Bapak lagi nggak bercanda, ‘kan?” Dian masih belum percaya kalau Fajar yang ditaksirnya adalah Fajar yang menyerempet mobil kantor dua hari yang lalu.
Bibir berisi pria itu tertarik ke samping, sehingga gigi berukuran besar tampak jelas. Tunggu, sepertinya ada gingsul di sebelah kiri. Sudah jelas menambah keelokan paras Fajar.
Bagaimana dengan ekspresi Dian ketika melihat makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna di matanya? Melongo pemirsa. Tampak binar cinta di matanya seiring dengan dada yang bergemuruh.
Sadar, Di. Jaga image. Apa-apaan sih lo? Cowok kayak gini belum tentu masih single, kali aja udah punya bini, batinnya menyadarkan diri.
Ah, kalau modelannya begini, gue rela jadi yang kedua kok, bisik hati satu lagi.
“Mbak mungkin lupa karena saya waktu itu pakai helm, tapi saya masih ingat dengan wajah Mbak.” Perkataan Fajar mampu menyeret Dian ke alam nyata.
Dia ingat wajah gue? Jangan-jangan cinta pada pandangan pertama kayak gue. Lagi-lagi kalimat itu hanya mampu diucapkan dalam hati.
“Eh, iya Mas, eh Pak. Saya nggak lihat wajahnya.” Dian mengarahkan telapak tangan ke wajah, kemudian menggerakkannya ke atas dan bawah. “Pakai helm full face kalau nggak salah.”
“Tapi maksud kedatangan saya bukan bahas masalah dua hari lalu, Mas, eh Pak,” sambung Dian lagi.
“Panggil Fajar saja, Mbak,” ujar pria itu kemudian.
“Nggak enak panggil nama, Pak.” Dian garuk-garuk kepala tidak gatal. “Jadi begini, Pak. Saya datang untuk keperluan pekerjaan.”
Gadis itu menyerahkan kartu nama sekalian modus memberitahukan nomor ponsel yang tertera di sana. “Saya dapat tugas untuk mewawancarai Bapak. Apakah Bapak ada waktu?”
Dian berusaha untuk mengontrol diri agar tidak terlihat konyol di depan Fajar. Bagaimanapun, ia harus menjaga wibawa sebagai wartawati senior yang sudah lama berkecimpung di bidang jurnalistik.
Fajar mengulurkan tangan ke arah pintu ruang masuk lobi gedung. “Sebaiknya kita berbincang di ruangan saya aja, Mbak,” anjurnya tanpa melihat ke arah Dian.
Pria itu menunggu Dian berjalan terlebih dahulu memasuki lobi. Setelah memutar balik tubuh, senyum kembali terukir di paras Dian. Gadis itu kagum dengan cara Fajar menghargai perempuan. Istilahnya penganut sistem lady’s first.
Tiba di dalam gedung pascasarjana, Dian memperlambat langkah sehingga berjalan beriringan dengan Fajar. Dia tidak tahu di mana letak ruangan pria itu. Langkah mereka berhenti ketika tiba di depan pintu berwarna hitam. Terlihat mencolok di antara dinding putih yang memagari. Dalam hitungan detik, pintu itu terbuka.
“Silakan masuk, Mbak.” Fajar kembali mengulurkan tangan dengan santun.
Lagi-lagi Dian dibuat terkesima dengan perlakukan gentle Fajar. Pria itu tampak begitu bersahaja. Pakaian yang dikenakan juga sederhana. Meski demikian sangat pas di tubuh tinggi dan bidangnya.
Poinnya jadi bertambah di mata gue. Beda dari cowok-cowok yang pernah gue temui, batin Dian terkagum-kagum.
“Duduk dulu, Mbak,” kata Fajar mempersilakan Dian duduk di sofa yang dekat dengan pintu.
Sebelum beranjak menuju meja kerja, pria itu merapatkan pintu ke dinding terlebih dahulu, agar tidak tertutup lagi. Hanya ada dirinya dan Dian di ruangan berukuran 3x3 meter tersebut. Setelahnya Fajar bergerak menuju meja meletakkan tas ransel di bawah meja.
“Bagaimana kondisi mobil Mbak? Sekali lagi saya minta maaf harus buru-buru waktu itu, karena ada urusan penting.” Fajar melangkah lagi ke sofa dan memilih duduk di sofa single, cukup jauh dari tempat Dian duduk.
“Mobilnya udah saya bawa ke bengkel, Pak. Lagi dibenerin. Hari Senin bisa dijemput lagi,” sahut Dian kikuk dengan jarak yang terlalu jauh menurutnya. Gadis itu bingung apakah harus mengeraskan suara ketika berbicara atau cukup dengan nada standar.
Fajar mengeluarkan ponsel, sebelum melihat lagi ke arah Dian sekilas. “Boleh minta nomor rekening, Mbak? Biar saya transfer uangnya.”
Dian langsung menggelengkan kepala seraya menggoyangkan kedua telapak tangan ke depan. “Nggak usah, Pak. Biayanya nggak banyak kok,” tolaknya sungkan.
Asem lo, Di. Nggak banyak kepala lo! Cukup buat biaya makan sebulan oi! rutuk hati kecilnya.
Jaga image dong di depan calon imam. Duit tiga juta nggak ada apa-apanya dibanding citra baik di depan ustaz ganteng kayak gini, bela hatinya yang sedang tergila-gila dengan Fajar.
“Jangan begitu, Mbak. Bagaimanapun kejadian itu sepenuhnya salah saya. Jadi biarkan saya bertanggung jawab,” balas Fajar kekeh ingin mengganti kerugian dari kecelakaan tersebut.
Hati Dian semakin menghangat mendengar perkataan Fajar barusan. Zaman sekarang pria seperti ini jarang ditemui. Tampan, berpendidikan, santun dan bertanggung jawab.
Gue nggak akan pernah lepasin cowok yang kayak gini. Barang langka di zaman now, batin Dian mantap.
“Boleh bahas nanti aja nggak, Pak? Lagian saya belum tahu berapa biayanya juga.”
Dian lagi-lagi berbohong. Tentu saja ia sudah tahu biaya perbaikan, karena bertanya terlebih dahulu ketika tiba di bengkel. Itu hanya modus, agar mereka bisa berkomunikasi melalui aplikasi chat.
“Kartu nama saya masih ada sama Mbak, ‘kan? Nanti bisa kirimkan saja tagihannya ke nomor itu.” Fajar berujar tanpa melihat kepada Dian.
Gadis itu nyengir kuda seraya menggaruk kepala tidak gatal. “Itu, Pak. Kartu namanya nggak sengaja tercuci, jadi udah nggak bisa dibaca lagi.”
“Boleh minta nomor handphone Mbak?”
Pertanyaan yang diajukan Fajar membuat Dian semakin kegeeran. Senyum lebar kembali menghiasi parasnya, sehingga membuat dua garis melengkung di dagu terlihat jelas. Gadis itu langsung memberikan nomor ponsel dengan penuh suka cita. Pikirannya sudah membayangkan yang aneh-aneh, mereka akan saling bertukar kabar dan berita nantinya melalui chat.
“Itu nomor saya. Silakan disimpan. Jika nanti mobil sudah selesai, kirimkan saja tagihannya biar saya yang bayar,” tutur Fajar setelah menghubungi nomor Dian.
Dian mengangguk singkat, kemudian mengeluarkan benda kecil memanjang untuk merekam. “Bisa bahas kerjaan sekarang, Pak?”
“Oh ya, tentu. Silakan. Ada yang bisa saya bantu?”
Dian kembali fokus dengan maksud dan tujuannya datang ke kampus ini. Kelopak mata terpejam sebentar ketika mengembalikan profesionalitas yang sempat terusik oleh perasaan tadi. Sekarang waktunya menunjukkan kepada Fajar, keahlian seorang Dian Ayudisha di bidang jurnalisme.
“Jadi begini. Saya dapat amanah dari redaktur untuk mewawancarai Bapak mengenai Islam dan Politik.” Dian menarik napas singkat seraya menegakkan tubuh. “Lebih tepatnya berkaitan dengan panasnya dunia politik dengan dakwah dari ustaz di masjid.”
“Apakah Bapak keberatan jika saya lakukan wawancara mengenai hal tersebut?” sambung Dian was-was. Dia khawatir jika Fajar menolak untuk diwawancarai, karena isu ini sangat sensitif.
Suasana hening sebentar ketika pria itu berpikir. Tangannya terangkat ke atas, lalu mengusap dagu. Kening juga berkerut saat menatap meja.
Dian menunggu jawaban Fajar dengan harap-harap cemas. Jika pria itu menolak diwawancarai, maka habislah ia. Nilai untuk naik jabatan akan berkurang. Karirnya akan mentok sebagai wartawan, alih-alih menjadi redaktur dan redaktur pelaksana.
Kedua alis Dian naik ke atas masih menanti jawaban. Namun tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Seorang perempuan mengenakan kerudung menutupi dada berdiri di selanya.
“Maaf, Mas. Apa aku ganggu?” tanya perempuan berparas ayu tersebut tersenyum ramah.
Sontak Dian memalingkan paras ke sumber suara. Tanpa diduga tarikan napas berat terdengar di sela hidung ketika melihat wanita itu.
“Oh, nggak Aafiyah. Kenapa?” jawab Fajar terdengar santai.
Dari cara mereka berinteraksi tidak terlihat seperti dosen dan mahasiswa, juga sesama rekan kerja. Radar detektif bercampur kewanitaan Dian langsung menyala. Dia mulai menerka apa hubungan perempuan ini dengan Fajar?
Mata sipit perempuan berkerudung tersebut melirik ke arah Dian. “Nanti aja deh. Aku mau sampaikan pesan Abi.”
Fajar mengangguk singkat kembali menundukkan pandangan. Setelahnya wanita bernama Aafiyah itu beranjak dari sela pintu.
Sementara Dian masih terpaku melihat Aafiyah yang tampak begitu ayu dengan busana muslimah. Berbeda jauh dengan dirinya yang jauh dari kesan feminin.
Siapa itu? Adeknya? Saudara yang kebetulan kuliah di sini? Atau istrinya? gusar hati Dian menduga-duga.
Bersambung....
Dian benar-benar dibuat terkesima oleh penjelasan Fajar mengenai politik dan Islam. Juga sejauh mana peran ulama dalam menyikapi isu politik yang sedang memanas. Menurutnya ulama berperan penting dalam mengawasi alur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak seharusnya dibatasi. Tentunya sejauh tidak memprovokasi umat.“Bayangkan jika ulama didiskriminasi dan dibatasi suaranya dalam berpolitik, kita tidak akan mengenal Buya Hamka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Beliau semua adalah tokoh Islam dan da’i.” Fajar menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Hal ini berbeda makna dengan para politisi yang membawa-bawa agama dalam mendapatkan suara dan simpati dari rakyat. Sangat disayangkan jika ada yang seperti itu,” papar Fajar menjelang wawancara berakhir.Dian manggut-manggut paham dengan apa yang disampaikan oleh Fajar. Gadis itu sangat setuju dengan pemaparan yang dis
Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya
Menjelang subuh, Dian sudah duduk termenung di pinggir tempat tidur. Mata hitam bulatnya mengecil ketika memikirkan bagaimana cara mencari informasi lebih banyak lagi tentang Fajar. Tangannya langsung bergerak meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mencari sosial media pria itu.Kepala terkulai lesu ketika tidak menemukan satupun sosial media atas nama Fajar Faizan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Islam. Foto profil yang mengacu kepada pria itu juga tidak ada.“Masa iya tanya ke Bu Jamilah?” Kepalanya menggeleng cepat. “Gengsi ah. Apalagi kalau dese tahu gue suka sama Fajar.”Dian menggigit bawah saat masih berpikir keras. Embusan napas lesu meluncur dari sela bibir tipisnya saat belum menemukan solusi. Pandangan netra bulat itu beranjak ke arah dinding, masih ada waktu dua puluh menit menjelang subuh. Alhasil gadis itu segera melangkah ke kamar mandi.Genap hari keempat melakukan rutinitas baru salat Subuh
Dian mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk depan Thamrin City, pusat perbelanjaan yang sebenarnya berdekatan dengan Tanah Abang. Gadis itu malas berbelanja ke Tanah Abang, karena sudah pasti dibuat bingung dengan beragam pilihan yang terlalu banyak. Menurutnya berbelanja di Thamrin City jauh lebih mudah, karena modelnya sudah pilihan terbaik.Senyum mengembang di paras ketika melihat seorang perempuan berkerudung yang sangat dikenal. Siapa lagi jika bukan teman satu kantor bernama Syukria. Hanya wanita itu yang bisa memberi saran model pakaian yang akan dikenakan nanti.“Duh gue nggak enak sama laki lo deh, Syuk,” ucap Dian dengan wajah bersalah setelah mereka berdekatan.Wajah Syukria mengernyit sedikit saat kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Santai aja, Kak. Aku udah jalan-jalan kok sama Abang kemarin.”Dian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Syukria. “Baik banget sih. Makasih ya.”“Sama-sama,
Dian mematut lama pantulan diri sendiri di cermin. Sebuah kerudung persegi empat yang dibentuk segi tiga warna abu-abu polos, kini telah membungkus rapi bagian kepala. Style sederhana yang dipelajarinya dari youtube. Tentunya masih menutupi bagian dada.“Kerudung yang benar itu menutupi dada ya, Kak.” Kalimat yang dilontarkan oleh Syukria kemarin menjadi acuan mencari style kerudung.Turun ke bawah blus berwarna abu-abu gelap dipadu dengan rok celana berwarna hitam, menutupi tubuh yang tidak tinggi dan tidak terlalu kurus.Terdengar tarikan napas dari sela hidung berukuran sedang milik Dian, ketika mempersiapkan diri menghadapi berbagai tanggapan yang akan diberikan oleh Royati dan Citra. Mereka berdua pasti syok melihat perubahan pertama dari gadis itu. Apalagi ia tidak pernah bercerita tentang keinginan mengenakan jilbab kepada mereka.“Lo udah biasa dengerin ledekan dari mereka, Di. Sekarang nggak perlu dihiraukan lagi.” Dian me
Entah berapa pasang mata yang menatap tak percaya ketika Dian menginjakkan kaki di gedung milik Yohwa Entertainment ini. Banyak yang tidak menyangka seorang perempuan tomboi dan berbicara sering tidak pakai filter, tiba-tiba berubah menjadi sosok wanita muslimah yang menutup aurat.Sebagian di antara mereka nyaris tidak mengenali Dian yang benar-benar tampak berbeda. Tidak tanggung-tanggung, ia mengenakan pakaian yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Kerudung bagian depan kanan juga terulur menutupi dada, meski bagian sisi kiri disematkan di bagian belakang kepala.“Ada yang bisa dibantu, Mbak?”“Mau cari siapa, Bu?”Beragam respons didapati oleh gadis itu sepanjang perjalanan menuju lantai lima, tempat Yohwa.com and Magazine berada. Hingga pada akhirnya Dian tiba di ruang kerja.“Hari ini ada anak baru ya?” tanya salah satu wartawan di bidang entertainment ketika melihat Dian memasuki area resepsionis lantai li
Dian duduk di ruang tunggu bengkel mobil di daerah Gunung Sahari. Gadis itu sedang menanti kedatangan Fajar yang akan membayar seluruh tagihan perbaikan. Untuk mengisi waktu, ia bermain ponsel mengirimkan pesan di ruang chat Remponger5.Me: @Rara Kambing Habis ini gue ke Gading ya. Masih kangen sama lo.Gadis itu ingin memberi kejutan kepada sahabatnya dengan penampilan sekarang. Dia butuh pendapat Raline tentang perubahannya, sekaligus mau berdiskusi juga dengan Daffa, kakak Raline.Keykey: Jam berapa tuh? Pas gue pulang kerja nggak? Mau ikut dong.Rara Kambing: Aman, gue hari ini nggak ke mana-mana kok, Di.Rara Kambing: Ayo, siapa lagi yang mau ke sini? Biar rame kita ngumpul-ngumpul. Minggu depan gue udah balik lagi ke London. :(Dian langsung antusias membalas pesan grup Remponger5.Me: Kira-kira satu jam lagi deh. Gue lagi di bengkel sekarang, t
“Jangan-jangan dia punya indera keenam,” duga Keysa sembari mengacungkan jari telunjuk ke atas.Raline menggeleng cepat tidak setuju dengan perkataan Keysa. “Nggak mungkin, Key. Kayaknya sih si Fajar udah rekam di pikiran gimana wajah Dian, jadi tahu walau dia pake kerudung.”“Maksud lo, Pak Fajar suka juga sama gue jadi wajah gue diingat terus?” tanggap Dian bingung dengan dugaan Raline.“Dih geer lo, Di. Maksud gue, gimana ya?” Raline bergumam sebentar seraya mengetuk dagu dengan ujung jari. “Sederhananya, wajah lo itu mungkin unik bagi dia jadinya langsung bisa kenali walau penampilan beda.”Dian melihat Raline dan Keysa bergantian saat memikirkan pendapat siapa yang lebih masuk akal. Sepertinya apa yang dikatakan si kambing bisa dianalisa dengan baik daripada memikirkan Fajar memiliki indera keenam.“Gitu ya? Bisa juga sih.” Dian mengedarkan pandangan mencari keberadaan Daf