"Ya ampun! Kenapa, sih, nih idung pake mampet!"Sudah setumpuk tisu sudah menggunung di hadapan El saat ini. Bahkan, belum cukup sama sekali meredakan hidungnya yang terasa mengganjal untuk bernapas. Karena hal inilah, ia tak harus izin beberapa hari. Ya, kalau ini semacam liburan, El akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ini, huuuuh...Seseorang datang sambil memilin-milin kunci motor, terdengar suara siulan dari bibir pink itu. Mata cewek itu menatap sekilas El, lalu segera menghampiri cowok itu dari belakang. "Ceilah, hidung lo tambah lama kayak badut."El mendengus. "Senang lo, Bang, gue sakit bukannya di do'a-in cepet sembuh, malah ngeledek!" "Iya deh, gue do'a-in ... doa'in biar cepet mati." Kembali tawa Mona terdengar, hal itu kembali membuat El ingin segera menenggelamkan kakaknya itu sekarang juga. Padahal, kemarin ia begitu semangat Ralika mau satu mobil dengannya, walaupun sebentar.Mungkin benar kata orang-orang. Anak yang suka mendahulukan kepentingan sendiri dari p
Masih dalam posisi terdiam, Ralika sama sekali tak berkutik ketika ia dibopong keluar oleh Niken.Terlihat murid-murid yang sejak tadi bergerombol di depan ruangan perlahan membubarkan diri saat melihatnya, mereka kembali seperti biasa, seolah tak melihat apa-apa."Terima kasih Pak Bima, nanti saya akan berbicara dengan Ika soal masalah ini."Setelah berjabat tangan dan mengucapkan permisi. Niken dan Ralika langsung menuju area parkiran, demi kenyamanan satu sama lain, Bima memang menyuruh Ralika untuk pulang lebih cepat. Lagian juga ini bukan masalah sepele, ini menyangkut reputasi sekolah, apalagi yang berurusan merupakan salah satu murid terpenting.Ralika sama terdiamnya, meskipun mereka telah meninggalkan kawasan sekolah beberapa menit lalu, cewek itu sama sekali tak menunjukan tanda-tanda ingin bicara, seperti membela diri. Niken pun sama, ia juga tak bicara apa-apa, terlebih dia sangat tau sifat Ralika, keponakannya itu tak akan berbuat sembarangan dalam berbuat. Ralika akan me
"Loh duduk dulu, gue cuman mau ngobrol doang kok sama lo, siapa tau lo bisa tenang."Ralika sama sekali tak beranjak, cewek itu terus menatapi tangan El yang menepuk-nepuk ke samping. Dalam kondisi seperti ini Ralika masih tak mempercayai apapun. Tangannya terkepal seketika, pikirannya tertuju akan suatu hal, mungkin cowok ini ada di sini hanya ingin melihat sisi lemahnya. Kasihan? Ia tak butuh!"Saya nggak butuh, buat apa kamu ke sini, kamu tau 'kan saya ini anak narapidana, kenapa kamu terus-terusan ganggu saya?!"El sempat terdiam mendengarnya, ia cukup kaget akan perkataan Ralika yang langsung dengan nada tinggi. Tapi, El paham betul kondisi cewek itu. "Saya nggak butuh kasian kamu!"Ralika berbalik, seharusnya ia tak begitu saja terbawa emosi. Baru saja berjalan selangkah El berteriak, "tapi yang narapidana itu bokap lo bukan lo-nya!"Langkah Ralika terhenti, lalu seketika memejamkan mata berusaha meredam emosinya. Seperti yang selalu mamanya bilang, kalau emosi akan memperburuk
"Saya Ralika Caitlin Andara resmi mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Ketua OSIS SMA Dharma."Semua lantas tercengang mendengarnya, terlebih lagi Lea yang mendengar hal itu lewat jendela ruang OSIS. Ralika tadi memang tak berkata apa-apa saat keluar dari ruang kepala sekolah, hal itu yang membuat perasaan Lea jadi tak enak, dilihat dari wajah Ralika memang ia rasa ini bukan hal yang baik. Tapi Lea tak menyangka kalau ini yang akan terjadi.Semua terdengar ricuh, apalagi hal ini membuat sebagian anggota menggeleng tak percaya."Ka, kenapa lo keluar?" tanya Tika yang merupakan salah satu anggota."Iya, kenapa?" timpal yang lainnya.Ralika menatap dengan pandangan tegas. "Saya tak punya alasan untuk memberitahu kalian, tapi yang pasti saya harap kalian terima keputusan ini, ini merupakan keputusan yang saya ambil agar nama sekolah ini tidak tercoreng."Semuanya langsung terdiam, seolah mengerti dengan apa yang Ralika ucapkan. Apalagi masalah yang ditimpa Ralika, sudah mulai berd
El membuka pelan pintu putih sebelum akhirnya terbuka sempurna, di sana terlihat seorang wanita sedang membelakangi mereka dengan baju berwarna putih, wanita itu tampak sedang memegang sebuah benda mengkilat berwarna hitam."Tante," panggil El sebelum akhirnya mendekat terlebih dahulu, tepat di belakangnya ada Ardan, lalu Afdi yang sejak tadi terus menggelantungkan tangannya di lengan Ilham.Nadya berbalik setelah El bersuara. "El, kamu kok ke sini?"El menyengir lalu menarik 3 orang temannya yang sejak bertingkah konyol---memberi isyarat agar sedikit lebih sopan. "Iya nih Tante, ada yang mau El tanya."Nadya menautkan alisnya lalu meletakan benda yang sejak tadi dipegangnya di atas meja. "Kenapa? Apa ini masalah Mona? Dia bikin masalah di rumah kamu?"El menggeleng cepat, selama Mona menginap di rumahnya cewek itu bukan hanya membuat masalah, tapi, lebih tepatnya kekacauan. Hanya saja El tak akan memberitahu itu, yang ada Mona akan menggantungnya di atas pohon kalau berani menjelek-j
"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Kayak ngeliat setan."El masih setia mengikuti gerakan cowok itu sampai akhirnya ia terduduk di bangku semen yang tepat di atas kepalanya lalu menjulurkan kaki dengan rasa tak bersalah. El mengerjap beberapa kali, ia menatap Ardan yang kini sedang memejamkan mata dengan menjadikan tangan sebagai bantalan."Eh? Kok lo di sini?" Pertanyaan ini muncul saja dari mulut El. Ardan membuka matanya. "Eh, lo kira ini tempat pribadi lo, ya gue juga mau ikutan bolos lah, lagian lo sendiri yang kasih tau kalau ada di sini."El memiringkan kepalanya lalu berdiri menatap Ardan dengan sorot menuntut penjelasan. "Terus maksud lo berusaha lagi, apaan dah gue nggak ngerti, ini masalah Rara 'kan?"Ardan tersenyum miring. "Penasaran lo ya?"El berdecak, malah bercanda. "Eak, Dan, lo kalau ngomong jangan setengah-setengah lah, gue kepo nih."Ardan tersenyum geli melihatnya, kalau membuat El penasaran itu sungguh suatu kesenangan. Asyik, setidaknya ia dapat traktiran,
Mungkin benar, permasalahan yang menimpah seseorang akan tetap membuat orang-orang terdekatnya terkena imbasnya. Ralika merasakan itu, semua orang terlihat menepi sesaat melihat cewek itu masuk ke area panggung. Beberapa ada yang meliriknya secara terang-terangan, tapi kebanyakan dari mereka lebih mencoba tak peduli."Masih punya muka lo?" Suara itu berasal dari Neta yang berjalan menghampiri Ralika sambil membawa papan yang sepertinya merupakan daftar, dari acara yang akan dilaksanakan.Ralika dapat melihat samar-samar daftar lomba yang akan di selenggarakan. Meskipun ia tak terlibat secara langsung lagi, tapi sepertinya idenya sewaktu itu tak berubah."Saya hanya ingin melihat persiapan acara ini?" Neta tertawa mengejek."Acara ini nggak butuh anak narapidana, mendingan lo urusin aja tuh bokap lo yang sekarang jadi gila itu."Ralika mengepalkan tangannya. Berulang kali Neta selalu menyinggung soal itu, apa yang cewek itu pikirkan? Ralika pun juga tak mau dilahirkan dengan posisi sem
Mungkin benar, permasalahan yang menimpah seseorang akan tetap membuat orang-orang terdekatnya terkena imbasnya. Ralika merasakan itu, semua orang terlihat menepi sesaat melihat cewek itu masuk ke area panggung. Beberapa ada yang meliriknya secara terang-terangan, tapi kebanyakan dari mereka lebih mencoba tak peduli."Masih punya muka lo?" Suara itu berasal dari Neta yang berjalan menghampiri Ralika sambil membawa papan yang sepertinya merupakan daftar, dari acara yang akan dilaksanakan.Ralika dapat melihat samar-samar daftar lomba yang akan di selenggarakan. Meskipun ia tak terlibat secara langsung lagi, tapi sepertinya idenya sewaktu itu tak berubah."Saya hanya ingin melihat persiapan acara ini?" Neta tertawa mengejek."Acara ini nggak butuh anak narapidana, mendingan lo urusin aja tuh bokap lo yang sekarang jadi gila itu."Ralika mengepalkan tangannya. Berulang kali Neta selalu menyinggung soal itu, apa yang cewek itu pikirkan? Ralika pun juga tak mau dilahirkan dengan posisi sem