Share

Diajak Menginap

Imam memperhatikan Faisal dan Andri—suami Layla, mengangkat kayu-kayu ke atas mobil losbak. Dia pun bergegas menghampiri membantu. 

"Gak usah, Mam. Biar aja." Faisal tidak ingin mempekerjakan adik iparnya. Terlebih dia masih pengantin baru.

Imam tetap mengambil balok kayu yang sudah dihitung milik konsumen menaikkan ke mobil. "Masa cuma liatin doang. Gak apa-apa kan bantu biar cepet selesai."

"Udah, biarin, Mam." Andri berujar sambil menata kayu di mobil tersebut bersiap mengikatnya.

Imam tersenyum dan tetap melanjutkan mengangkut sampai benar-benar selesai. Faisal dan Andri masuk di depan mobil. Faisallah yang duduk di balik kemudi. Mereka mau mengantarkan pesanan pelanggan. 

"Mau ikut gak, Mam?" tanya Faisal.

"Biar Imam di sini aja sama Bapak." Ma'ruf menghampiri. 

"Yaudah, pergi dulu." Faisal dan Andri pergi dengan mobil berisi muatan kayu-kayu yang sudah dipotong rapi. 

Ma'ruf dan menantunya berjalan beriringan. Di dalam gudang banyak tumpukkan kayu-kayu kaso dan balok. Ada pun yang sudah dibentuk menjadi kusen pintu dan jendela, disandarkan. Itu semua Ma'ruf dan anak-anaknya yang mengerjakan. Sekarang Ma'ruf akan melicinkan bahan kusen dengan pernis. Imam memperhatikan bingung, dia tidak mengerti perkayuan. 

"Duduk aja, Mam." 

"Eh, iya." Imampun duduk di kursi panjang sedikit sungkan. Dia diajak bapak mertuanya ke sini. Tapi, tidak dapat membantu banyak. 

"Dulu, Bapak tukang kayu biasa, suka kerja bangunan. Kemudian merintis usaha jual beli kayu ini. Alhamdulillah sudah belasan tahun berjalan dan tetap bertahan. Kamu tau sendiri kan?"

"Iya, Pak." Sudah lama Imam tahu bisnis kayu milik orang tua Salsa. Hanya, dulu dia belum pernah sedekat ini dengan Ma'ruf. 

Di perhatikannya lagi area sekitar, sudah bukan lagi toko kayu kecil-kecilan. Lahannya luas membuat leluasa menaruh stok dan sudah banyak pelanggan. Di sini dilengkapi terima order kusen, tidak hanya jual aneka jenis kayu bangunan saja.

"Assalamualaikum, Pak Haji." 

"Waalaikumsalam." Tidak hanya Ma'ruf, Imam juga ikut menjawab salam bapak-bapak yang datang. 

"Wah, ditemani menantu baru sekarang."

"Iya, Mat." 

Imam menunjukkan senyum saat Mamat melihat padanya. Bapak itu juga. 

"Bagaimana, sudah jadi kusen jendela pesanan saya?"

"Sudah, Mat. Itu." Ma'ruf menunjuk kusen-kusen yang disandarkan pada kayu. Dia dan Mamat menghampirinya. Bapak itu tampak puas saat menyentuh kusen, kemudian merogoh saku baju untuk membayar. Terjadi negosiasi tapi tidak lama dan setuju. Imam diam memperhatikan. 

"Mau langsung dibawa sekarang?"

"Iya, Pak aji."

"Wah, tadinya mau dianterin Faisal, sekarang lagi nganter ke yang lain dulu."

"Gak apa-apa dibawa sendiri. Di motor bisa cuma dua kusen kecil doang mah. Lagian juga deket. Mau langsung dipake, udah ditungguin tukang di rumah mau dipasangin." 

"Oh, yasudah kalau begitu. Makasi, Mat."

"Terimakasih kembali Pak aji. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Mamat membawa pergi dua kusennya di motor. Satu orang pemuda memegang di belakang.

Ma'ruf kembali mendekati Imam yang diam mematung. Dia memasukkan beberapa lembar uang biru ke saku celana. 

"Ada aja, ya, Pak."

"Alhamdulillah, Mam. Cukup buat keluarga." 

Toko kayu sebesar ini sudah pasti omzetnya lumayan. Imam menebak dalam hati. 

"Setelah zuhur nanti, kita pulang dulu solat dan makan siang."

"Iya." 

"Bagaimana dengan bengkel kamu?"

"Besok Imam mau kembali ke sana, Pak."

"Oh, ya? Apa gak terlalu kecepetan?"

"Gak, Pak. Imam gak betah diam aja." 

Ma'ruf tertawa kecil. Orang seperti Imam pasti tidak betah diam. Dia melanjutkan memernis kayu sambil terus mengajak ngobrol menantunya itu. 

***

"Nanti Sore, ke rumah orang tuaku, ya?"

Salsa yang sedang membilas piring bekas makan siang di westafel menoleh pada Imam di belakangnya. 

"Mau ngapain, A?" Gadis itu berpaling lagi ke depan melanjutkan. 

"Yaa, silaturahmi. Kamu ditanyain Ibu sama Bapak Aa. Kapan kamu berkunjung ke sana?" 

"Belum juga seminggu di sini. Udah diajak pindah aja. Katanya senyamannya aku mau tinggal di mana." 

"Bukan diajak pindah. Cuma menginap, Sa."

Salsa menghentikan kegiatannya. Keran air dimatikan. Dia terdiam menimbang-nimbang. Dulu, dia tidak masalah diajak pergi ke kediaman Imam saat ada acara. Sekarang Salsa merasa aneh jika pergi ke tempat itu bersama Imam, yang statusnya sudah berganti jadi suami, bukan sekedar saudara sepupu lagi. 

"Gak harus lama kok, Sa. Mau sehari dua hari, yang penting kamu ke sana dulu. Setelah itu balik lagi ke sini juga gak apa-apa." Imam sangat berharap sekali Salsa mau. 

"Besok, Aa mau masuk bengkel, sudah tiga hari tutup. Mau berangkat dari sana." Imam juga kesal dan bosan diam di rumah Salsa hanya ongkang kaki saja. Mau beraktivitas lagi seperti biasa. Dia sudah kenyang libur dari sebelum resepsi. Sehari sebelum resepsi bengkel masih buka hanya ditunggui pekerjanya. Dan dia kewalahan sendiri kemudian tutup.

Orang tuanya menyarankan paling sedikit satu minggu cuti supaya ada waktu bersama Salsa. Bisa mengajaknya liburan dan fokus menikmati masa-masa pengantin mereka. Namun, baru beberapa hari Imam jenuh. Salsa tidak sejalan dengannya dan mereka tidak melakukan apa-apa. 

"Bagaimana, Sa? Rumah orang tuaku rumahmu juga."

Salsa berbalik menghadap Imam. Entahlah, dia hanya terlalu takut jika tidur berdua dengannya sementara jauh dari orang tua. 

"Iya, deh." Pada akhirnya gadis itu mengiyakan meski sebenarnya enggan. Suaminya tersenyum senang. 

Salsa memang mengiyakan, tapi wajahnya jadi kurang enak dipandang. Hal itu diketahui Masitah, dia melihatnya duduk melamun menopang dagu.

"Kenapa?" Masitah yang sedang menyetrika baju bertanya. Dia meliriknya sekilas.

Salsa mendesah pelan. "Aa Mpi mau ngajak Salsa nginap di rumah orang tuanya sore ini."

"Oh ... itu. Ya gak apa-apa kamu ke sana aja."

"Tapi, Salsa takut gak diijinin kembali ke sini nanti. Salsa gak mau tinggal di sana, Bu." Dia masih ragu apa yang dikatakan Imam. Bagaimana kalau laki-laki itu menahan?

"Ya gak mungkin. Sebelumnya suami kamu kan udah ngasih keringanan. Mau tinggal di mana aja, ya kan?" 

"Iya, sih. Yaudah deh, Salsa mau nginep sehari dua hari." 

"Lho, jangan sehari dua hari. Kayak namu aja sebentar." Masitah menunda sejenak strikaan dan melipat pakaian. 

"Ya terus harus berapa lama emangnya?"

"Minimal seminggu."

"Ah, lama."

"Sa ... Sa. Kayak gak pernah aja. Kamu kan juga sering ke rumahnya."

"Tapi itu kan dulu. Sekarang beda lagi." Salsa melipat dua tangannya pada lututnya yang dinaikkan di sofa, seperti anak-anak yang merajuk.

Masitah sedikit tersenyum tapi tidak menimpali lagi, mengambil baju kering habis dijemur dalam keranjang untuk di setrika. Putrinya itu hanya menonton. 

Sore hari tiba. Salsa memasukkan beberapa baju dalam tas juga barang keperluan lain. Dia sudah rapi dengan gamis dan hijabnya. 

"Sudah siap?" Imam masuk kamar begitu saja menghampiri istrinya.

"Sudah."

"Ayo, berangkat kalau begitu."

"Iya ...." Salsa menjawabnya tidak semangat. 

Imam lalu keluar lagi. Tidak membawa apapun selain mengambil jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan memakainya. Laki-laki itu pun sudah rapi dengan kaus dan celana levis panjang. Salsa mengikuti keluar membawa tas. 

"Mau berangkat sekarang?" Ma'ruf menghampiri keduanya di ruang tamu. Pun dengan Masitah ada di sampingnya. 

"Iya, Pak. Imam ngajak Salsa pergi dulu."

"Iya, gak apa-apa. Dia kan istrimu, kamu bebas mengajaknya pergi. Yaudah, kalian hati-hati di jalan, ya." 

"Iya, Pak." Imam cium tangan pada bapak mertua, diikuti Salsa. 

Ma'ruf menyadari putrinya itu enggan. Namun, dia tidak mengatakan apapun. 

Imam lalu cium tangan pada ibu mertua. Salsa juga menyalami ibunya. Imam keluar lebih dulu bersama Ma'ruf. Salsa dan Masitah di belakang mereka. 

"Di tempat suamimu jangan malas, ya, Sa. Jangan disamain dengan di sini." Pesan Masitah saat anak gadisnya mau melewati pintu. Salsa hanya mengangguk dalam diam. 

Mereka sudah di luar. Imam menghidupkan mesin motor dan memakai helem. Dia sudah ada di atas motor. Salsa melangkah pelan mendekatinya. 

"Ayo, naik." Gadis itu menurut naik di belakang Imam. Duduknya menyamping. "Tasnya mau ditaro di depan gak?"

"Gak."

"Yaudah. Bismillahirahmanirrahiim ...." Imam bersiap melajukan motor. Kemudian melirik pada orang tua Salsa yang berdiri di tepi teras melihat kepergiannya. 

"Assalamuakaikum!" Dia lupa belum mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam ...." Dua-duanya kompak menjawab. 

Imam menekan klakson satu kali dan menganggukkan kepala tanda pamit terakhir, kemudian melajukan motor. 

Posisi Salsa duduk membuat Imam kagok. Dia membawa pelan motor sedari rumah Salsa hingga di jalan raya. Itu membuat jarak tempuh jadi lebih lama dari biasanya. Dia sedikit kesal ingin segera sampai. 

Imam membuka ke atas kaca helem, menoleh sekilas ke belakang. "Sa, duduknya jangan gitu bisa?"

"Kenapa emang?" 

"Takut jatuh. Jalannya rame."

Salsa melihat kanan-kiri. Sore hari kendaraan memang ramai. "Yaudah."

Imam pun menepikan motor dan berhenti sementara. Salsa turun dan naik lagi berganti posisi menghadapnya. Suaminya lalu menjalankan motor kembali. 

Gadis itu tampak menjaga jarak, duduknya renggang. Imam menyadari. Dia kemudian mempercepat laju motor. 

Seketika Salsa takut dan memeluk punggung Imam. "Aaaaa! Jangan ngebut bawanyaaa!" 

Lelaki itu terkekeh di balik helem. Trik jitu untuk membuanya memangkas jarak dengan sendirinya. Reaksi Salsa membuatnya senang. Tak peduli terus melaju kencang.  

"Biar cepat sampai!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status