“Aku tidak hamil, Ma. Kebetulan beberapa hari lalu aku sudah mengeceknya dan hasilnya negatif. Mungkin memang belum waktunya,” sahut Melody dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Menutupi kekecewaan yang masih terasa. “Benarkah?” Senyum sumringah yang tadinya tersungging di bibir Melisa sedikit surut. “Tapi, apa kamu sudah memeriksakannya ke dokter kandungan? Kalau hanya alat tes kehamilan, mungkin saja ada kekeliruan. Atau kehamilan itu belum terdeteksi saat kamu mengeceknya.” Melody spontan melirik Khaysan yang ternyata menatap ke arahnya juga. Khaysan mengangkat bahu, sama-sama tak yakin apakah Melody hamil atau tidak. Walaupun kehamilan itu sangat mereka harapkan, tetapi beberapa hari lalu keduanya baru menelan kekecewaan. “Kalian juga bingung, ‘kan? Berarti sekarang Melody harus periksa ke dokter kandungan. Apa pun hasilnya, itu tidak masalah. Yang penting kalian cek dulu supaya ada kejelasan. Biar Mama dan Papa yang menemani Nathan,” tutur Melisa sembari mengelus lengan
Melody menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Tidak ada satu pun orang yang berkeliaran di sana, termasuk petugas rumah sakit. “Mungkin hanya perasaanku saja. Lebih baik aku segera kembali ke ruangan Nathan.” Melody bergerak cepat. Ia sangat menyayangkan lokasi pembuangan sampah yang cukup jauh dengan ruang perawatan Nathan. Tahu begini, ia tidak akan membuang sampah ke sana. Atau lebih baik dibiarkan saja di kamar rawat Nathan. Tadinya Melody ingin sedikit membantu meringankan pekerjaan petugas kebersihan dan dirinya pun ingin berjalan-jalan. Namun, bukannya dapat menghirup udara segar, dirinya malah panik sendiri seperti ini. Lagi, Melody merasa ada orang yang mengikutinya. Kali ini ia tak berani menoleh ke belakang lagi. Gerak langkahnya kontan semakin cepat. Berharap dapat sampai di ruangan putranya secepatnya. Rumah sakit ini masih sangat sepi, dan dirinya pun tidak membawa ponselnya. “Ya ampun! Aku malah salah belok!” rutuk Melody sembari menepuk keningnya. Karena pani
“Kami tidak pernah menjodohkan dengan siapapun lagi setelah perceraian kalian. Mama yakin Khaysan pasti bersikap buruk sampai istri cantiknya kabur,” jawab Melisa dengan senyum tipis. “Setahun yang lalu, Khaysan mengenalkan Rosetta sebagai kekasihnya. Mama tidak tahu bagaimana awal hubungan mereka.” Melody mengangguk paham. Berarti hubungan Khaysan dan Rosetta memang murni karena keinginan mereka sendiri. Wajar jika Rosetta tak terima Khaysan tiba-tiba memutuskan hubungan sepihak. Dirinya pun akan melakukan tindakan yang sama jika berada di posisi Rosetta. “Tapi, kamu jangan sedih. Mama yakin Khaysan tidak akan macam-macam lagi sekarang. Hubungan mereka sudah selesai sebelum kamu datang. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kalau sampai Khaysan berani menyakitimu lagi, dia akan berhadapan dengan Mama!” sahut Melisa menggebu-gebu. Melody hanya tersenyum tanpa memberi tanggapan. Melisa tidak tahu saja kalau sebenarnya yang meminta Khaysan memutuskan hubungan dengan Rosetta adalah dirinya
Melody buru-buru menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi wajahnya. Khaysan yang mengiranya menangis karena kesakitan sudah nyaris menggendongnya beranjak dari tempat tidur. “Tunggu dulu! Aku baik-baik saja. Kita tidak perlu menemui dokter.”“Jangan menyepelekan masalah kecil. Lebih baik kita periksa kandunganmu dulu supaya jelas. Kamu sampai menangis, pasti sangat sakit. Apa aku terlalu keras menekan perutmu?” Khaysan menyingkap kasar selimut yang menggulung di kaki Melody dan bersiap menggendong wanita itu, namun Melody kembali menghalanginya. “Tidak ada yang sakit. Aku baik-baik saja. Tadi aku hanya kelilipan, aku tidak berbohong,” alibi Melody cepat. Tak ingin kepanikan Khaysan akhirnya membuat mereka menjadi tontonan di lorong rumah sakit. Melody tak mungkin mengatakan dengan gamblang jika dirinya terharu karena tindakan Khaysan barusan. Lelaki itu akan menertawakannya dan besar kepala. Ia sendiri tak sadar mengapa dirinya sampai menangis hanya karena perlakuan se
“Jangan sembarangan memanggil orang dengan sebutan seperti itu, Nathan lupa kata-kata Daddy?” Sembari mengeratkan genggaman pada sang putra yang akan berlari ke arah David. Sedangkan matanya menyorot tajam nan membunuh ke arah tamu tak diundang itu. “Maaf, Daddy,” gumam Nathan dengan bibir mengerucut. Sebenarnya bocah itu tak setuju dengan larangan daddy-nya, namun tidak berani melontarkan protes. Melody meringis pelan di tempatnya berdiri. Walaupun tak bisa melihat ekspresi sang suami yang berdiri di depannya. Ia tahu lelaki itu marah besar. Melody tak tahu kalau David akan datang, lelaki itu tidak memberi kabar sama sekali. Melody juga tidak memberitahu David jika Nathan masuk rumah sakit lagi. Sudah lama mereka tidak saling berkomunikasi. Terakhir kali Melody dan David bertukar pesan adalah ketika David mengatakan tak jadi menemui Nathan saat di villa waktu itu karena harus pulang lebih awal. “Jadi, begitu caramu mengajari anak, dengan mengancamnya agar menuruti perintahmu?” sin
“Maksudnya kamu punya utang pada David? Bagaimana bisa? Kapan kalian pernah berkomunikasi dengan benar sampai kamu berutang padanya?” Pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di dadanya langsung Melody keluarkan begitu mobil yang dikendarai suaminya berhenti. Sejak Khaysan mengatakan akan membayar utang, Melody sudah ragu. Tak percaya suaminya memiliki utang. Kalaupun ada kaitannya dengan perusahaan, pasti tidak langsung diurus oleh lelaki itu sendiri. Apalagi sampai mengajaknya ikut serta juga. Melody semakin dibuat terkejut ketika mengetahui jika tempat yang dituju suaminya adalah kantor di mana David berada. Dibanding ingin membayar utang, sepertinya lebih masuk akal jika Khaysan ingin melabrak David. Kalau tahu Khaysan akan mengajaknya ke kantor David, Melody tidak akan ikut. Terserah jika keduanya akan bertengkar atau apa pun, yang terpenting dirinya tidak ikut campur. Namun, Khaysan malah memaksanya ikut juga. “Aku memilikinya dan akan aku bayar sekarang juga. Turun, kamu juga
Kekhawatiran kembali menyergap dada Melody. Bahkan, lebih besar dibanding sebelumnya. “Antar aku padanya sekarang!” ucapnya dengan nada khawatir. Ia sampai lupa menanyakan apa yang menyebabkan suaminya masuk rumah sakit. Melody langsung mengambil dompet dan tasnya dengan tergesa. Di saat yang sama, Nathan keluar dari toilet. Wanita itu spontan berusaha menetralkan kekhawatirannya agar tidak tertangkap oleh sang putra. “Mommy mau ke mana? Mommy mau pergi lagi? Nathan boleh ikut?” berondong Nathan dengan beberapa pertanyaan sekaligus. “Mommy memang harus pergi ke suatu tempat. Tapi, Nathan di rumah saja ya? Nathan baru sembuh dan sebentar lagi juga harus minum obat. Mommy janji tidak akan lama. Lain kali, Mommy pasti mengajak Nathan. Mommy tinggal dulu tidak apa-apa ya?” jawab Melody sembari menyentuh wajah putranya. Nathan pasti khawatir dan memaksa ingin ikut jika tahu Khaysan berada di rumah sakit. Bocah itu masih dalam masa pemulihan, Melody tak mau putranya drop lagi karena kele
Ekspresi Melody menjadi tertekuk setelah Khaysan memilih pulang bersama Rosetta. Dirinya yang menemani lelaki itu nyaris 24 jam di rumah sakit. Namun, Rosetta yang baru datang langsung menghancurkan segalanya. Kalau bukan karena ada ayah dari wanita itu juga, Melody tak peduli sekalipun Rosetta akan memohon dengan cara apa pun. Ia hanya ingin menghargai ayah wanita itu yang sudah menyempatkan datang dan katanya ingin membahas urusan bisnis dengan Khaysan. Melody menatap mobil yang membawa Khaysan, Rosetta, juga ayah wanita itu dengan sorot kesal. Wanita itu melipat kedua tangan di depan dada dengan kening berkerut. Setelah mobil itu benar-benar pergi barulah Melody beranjak dan menghampiri mobil jemputannya. “Mommy, kenapa Daddy malah pergi bersama Tante yang waktu itu? Kenapa Mommy tidak ikut bersama Daddy?” Nathan yang sedari tadi turut memperhatikan dari mobil langsung memberondong Melody dengan berbagai pertanyaan. Melody terlonjak. Ia hampir lupa kalau Nathan akan ikut menjemp