Share

6. Menjadi Pasangan Halal

Hari yang paling dihindari oleh Azwa akhirnya tiba. Hari dimana statusnya akan berubah menjadi istri orang. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya akan menikah secepat ini apalagi dengan anak rentenir. 

Citra buruk rentenir di masyarakat umum membuat dia harus menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan rentenir. Namun kini, dia harus terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya.

Di dalam sebuah kamar, Azwa sudah siap dengan kebaya warna putih serta kerudung menutupi dada. Dia tengah duduk sendirian di tepi ranjang menanti ijab-qabul terucap. 

Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Kecantikan make up yang pengantin menghiasi wajah tak mampu menutupi raut kesedihannya.

Gadis itu tak tahu apa yang tengah dirasakannya saat ini, terlalu abstrak untuk digambarkan. Yang jelas tak ada rasa bahagia yang tertanam dalam hatinya. 

Entahlah, rasanya campur aduk hingga membuat dadanya seakan-akan terhimpit oleh sesuatu yang besar dan berat. Sungguh Azwa tak sanggup, sesak sekali rasanya. 

Dia berharap semua ini hanyalah bunga tidur yang kesekian kali hadir menemani tidurnya, dan ketika terbangun semuanya masih baik-baik saja seperti sedia kala. 

Namun, suara ramainya orang di luar sana yang mengatakan acara sedang dimulai menyadarkan bahwa ini nyata. Bukan mimpi!

Di tempat lain, Aufal duduk di hadapan Ayah Abyaz dan penghulu bersiap melakukan ijab-qobul. Dia dilanda kegugupan yang luar biasa. Berkali-kali laki-laki itu menarik napas dan menghembuskan guna menetralisir rasa kegugupannya.

"Nak Aufal siap?" tanya Ayah Abyaz.

"Bismillah, Aufal siap, Om," jawab Aufal mantap.

Ayah Abyaz menjabat tangan Aufal. "Bismillahirrahmanirrahim, saudara Aufal Abrisam Ar-Rasyid Bin Wirya Nugraha Ar-Rasyid, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Azwa Aila Putri Adiba dengan mas kawin uang senilai dua puluh juta sembilan puluh dua ribu rupiah dan emas perhiasan sebesar enam belas gram dibayar tunai.”

"Saya terima nikah dan kawinnya Azwa Aila Putri Adiba binti Abyaz Putra Adib dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai." Aufal melafalkan dengan satu tarikan napas dan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikitpun.

"Sah!" ucap saksi dan semua orang yang hadir di sini.

Kini, Aufal dan Azwa sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Saat berdoa Aufal beberapa kali menghembuskan napas lega, menyingkirkan rasa gugup yang senantiasa menyelimutinya. 

Sementara itu di dalam kamar, Azwa meneteskan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi. Gadis itu terisak pelan tanpa mempedulikan riasannya yang akan rusak. “Ya Allah….” rintihnya yang tak mampu diungkapkan lewat kata.

Tak lama, Diaz yang ditugaskan untuk menjemput adiknya datang. Dia sangat terkejut melihat Azwa yang menangis tersedu-sedu. Laki-laki itu pun langsung membawa sang adik dalam dekapannya, sangat mengerti apa yang dirasakan Azwa sekarang ini.

“Adek… nggak bisa, Mas. A-adek nggak mau….” ujar Azwa dengan terbata-bata seraya membalas pelukan kakaknya sangat erat. “Adek nggak mau. Adek nggak mau.”

Diaz beralih menangkup wajah Azwa dan menatapnya. Kedua jempolnya mengusap lembut air mata yang senantiasa berjatuhan itu. “Adek, dengerin Mas.”

Azwa menggelengkan kepalanya. “Adek nggak mau, Mas. Tolong, jangan paksa Adek. Adek nggak siap bertemu mereka.”

“Adek nggak boleh gitu. Mas ngerti perasaan Adek. Mas tau, Adek belum siap. Tapi mau nggak mau Adek harus menerima semua ini. Adek udah jadi seorang istri sekarang dan itu udah jadi ketetapan Allah.”

“Apapun yang terjadi hari ini, itu atas seizin Allah. Kita sebagai manusia harus ikhlas menerimanya. Adek paham?” jelas Diaz panjang lebar yang dibalas anggukan pelan oleh Azwa. 

Dia mengambil air minum dalam kemasan yang sudah tersedia di sana, lalu diberikan kepada adiknya. “Adek tenangin diri dulu. Mas mau memanggil tim make up. Tuh, riasan Adek jadi berantakan gara-gara nangis.”

“Biarin! Biar dia syok lihat Adek kayak gini. Kalau perlu biar batal sekalian acaranya,” balas Azwa ketus.

“Heh!” Diaz menjitak pelan kepala Azwa dan tak menanggapi lebih jauh ucapan melantur itu. Dia beranjak keluar kamar untuk memanggil tim make up

Hanya sebentar karena mereka sudah standby di sekitar kamar Azwa. Laki-laki itu pun mempersilahkan tim melakukan tugasnya dengan baik. 

Setelah selesai, dia membawa tangan Azwa ke lipatan lengannya yang ditekuk dan membawa adiknya keluar kamar.

Azwa menatap sekeliling rumah, kemudian mendekatkan wajahnya ke samping telinga Diaz. “Mas, bawa Adek kabur, yuk. Belakang rumah lagi sepi tuh. Bilang aja mau ke kamar mandi,” bisiknya sambil menunjuk ke arah belakang dengan kepalanya.

“Hust! Aneh-aneh aja kamu ini. Jangan bikin masalah yang membuat semuanya semakin runyam.” Diaz menggenggam erat tangan Azwa di lengannya mencegah  agar tidak kabur.

“Ayolah, Mas, biar batal nikahnya.”

“Batal dari mananya? Wong udah sah kok. Kalau mau kabur itu tadi sebelum akad. Sekarang udah terlambat. Mau lari kemana pun, tetep aja statusmu istri Aufal. Udah, nurut aja,” balas Diaz dengan suara tertahan. 

Dia menampilkan senyumnya ketika tiba di teras dimana semua orang memandang ke arah mereka. “Ayo, senyum. Pura-puralah bahagia,” bisiknya.

Suasana berubah menjadi haru. Aufal yang berdiri di halaman mushola tak jauh dari rumah mempelai wanita bersama orang tua dan mertuanya tak mampu lagi menahan tangisan haru begitu melihat Azwa berjalan pelan menghampirinya. 

Dia tak menyangka gadis yang bertahun-tahun menetap di hati kini telah menjadi istrinya. Sungguh, rasanya seperti mimpi. Akhirnya penantianku terbayar dengan indah. Terima kasih, ya Allah, batinnya.

Azwa kembali menangis sembari menatap ayahnya yang berkali-kali mengusap mata. Saat hampir sampai, Ayah Abyaz mengambil alih peran Diaz dengan menggenggam tangannya. Dia lantas memeluk erat pria yang menjadi cinta pertamanya ini.

Ayah Abyaz mengurai pelukan dan mengusap kepala Azwa dengan penuh kasih sayang seraya tersenyum haru. “Ndak terasa putri kecil Ayah sekarang udah jadi seorang istri. Ayah minta maaf udah mengorbankan perasaan dan kebahagiaan Adek,” ucapnya pelan. 

Pria paruh baya itu kemudian menggiring Azwa mendekati laki-laki yang berstatus sebagai suami putrinya. Beliau menyerahkan tangan Azwa kepada Aufal untuk digenggam. "Salim, Dek," katanya.

Tangan yang sudah dihias sedemikian rupa itu gemetar dalam genggaman tangan Aufal. Ini adalah kali pertama dia bersentuhan dengan laki-laki selain ayah dan kakaknya, jadi wajar kalau gemetar. Dia bahkan hampir menarik tangannya kembali bila tidak dicegah oleh sang ayah.

Aufal pun merasakan hal yang sama. Dia sedikit tersentak, seakan ada listrik yang menyengat tubuh saat tangannya bersentuhan dengan tangan lembut milik Azwa.

Azwa membungkuk, mencium punggung tangan Aufal dengan hikmat. Mulai sekarang, surganya terletak pada ridho Aufal dan semua tanggung jawab atas dirinya sudah berpindah di tangan Aufal. Ya, Aufal, laki-laki yang kini menjadi suami sahnya.

Bersamaan dengan itu, tangan Aufal yang bebas memegang ubun-ubun Azwa dan membaca doa setelah Akad.

“Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih.”

Mereka saling berpandangan, menatap lekat satu sama lain. Perlahan tapi pasti, Aufal mendekatkan kepalanya. Laki-laki itu mencium kening Azwa dengan penuh perasaan. Menyalurkan semua rasa cinta yang mendekam lama di hatinya lewat ciuman itu. 

Azwa memejamkan mata menerima ciuman hangat Aufal di keningnya.

"Assalamualaikum, istriku," ucap Aufal pelan menyerupai bisikan sambil memegang pipi sang istri.

"Wa-wa'alaikumsalam," jawab Azwa tak kalah pelan.

Aufal menggandeng tangan Azwa masuk ke dalam mushola, tempat akad dilangsungkan, untuk menandatangani buku nikah.  Setelah itu, dilanjutkan dengan serah terima mahar dan tukar cincin. 

Aufal menyematkan cincin emas putih dengan bentuk simpel namun indah nan elegan di jari manis Azwa, begitu pula sebaliknya. Sekarang cincin indah itu tersemat di jari manis mereka yang menandakan sebuah lambang atas janji pernikahan.

Pukul dua siang walimatul 'ursy digelar. Acara ini dilaksanakan di kediaman Aufal sekaligus melaksanakan prosesi ngunduh mantu. Tamu undangan yang hadir pun tidak banyak. Kerabat dan keluarga besar, tetangga terdekat, serta beberapa teman-teman Aufal dan Azwa saja yang diundang.

Azwa tampak sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun biru muda disertai hiasan mahkota di atas kerudungnya. Aufal pun tak kalah tampannya, dengan mengenakan setelan jas warna abu-abu dan kemeja warna senada dengan gaun Azwa. 

Keduanya menyalami tamu undangan yang datang dengan senyum ramah menyembunyikan masalah dibalik hari bahagia ini.

"Temen kamu yang dari Surabaya belum datang, Dek?" tanya Aufal ketika para tamu sebagian besar sudah pulang.

"Nggak datang, Mas. Rumah mereka jauh, jadi nggak bisa dateng," jawab Azwar datar. Gimana mau dateng, wong nggak tak undang kok, lanjutnya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status