Hari yang paling dihindari oleh Azwa akhirnya tiba. Hari dimana statusnya akan berubah menjadi istri orang. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya akan menikah secepat ini apalagi dengan anak rentenir.
Citra buruk rentenir di masyarakat umum membuat dia harus menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan rentenir. Namun kini, dia harus terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya.
Di dalam sebuah kamar, Azwa sudah siap dengan kebaya warna putih serta kerudung menutupi dada. Dia tengah duduk sendirian di tepi ranjang menanti ijab-qabul terucap.
Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Kecantikan make up yang pengantin menghiasi wajah tak mampu menutupi raut kesedihannya.
Gadis itu tak tahu apa yang tengah dirasakannya saat ini, terlalu abstrak untuk digambarkan. Yang jelas tak ada rasa bahagia yang tertanam dalam hatinya.
Entahlah, rasanya campur aduk hingga membuat dadanya seakan-akan terhimpit oleh sesuatu yang besar dan berat. Sungguh Azwa tak sanggup, sesak sekali rasanya.
Dia berharap semua ini hanyalah bunga tidur yang kesekian kali hadir menemani tidurnya, dan ketika terbangun semuanya masih baik-baik saja seperti sedia kala.
Namun, suara ramainya orang di luar sana yang mengatakan acara sedang dimulai menyadarkan bahwa ini nyata. Bukan mimpi!
Di tempat lain, Aufal duduk di hadapan Ayah Abyaz dan penghulu bersiap melakukan ijab-qobul. Dia dilanda kegugupan yang luar biasa. Berkali-kali laki-laki itu menarik napas dan menghembuskan guna menetralisir rasa kegugupannya.
"Nak Aufal siap?" tanya Ayah Abyaz.
"Bismillah, Aufal siap, Om," jawab Aufal mantap.
Ayah Abyaz menjabat tangan Aufal. "Bismillahirrahmanirrahim, saudara Aufal Abrisam Ar-Rasyid Bin Wirya Nugraha Ar-Rasyid, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Azwa Aila Putri Adiba dengan mas kawin uang senilai dua puluh juta sembilan puluh dua ribu rupiah dan emas perhiasan sebesar enam belas gram dibayar tunai.”
"Saya terima nikah dan kawinnya Azwa Aila Putri Adiba binti Abyaz Putra Adib dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai." Aufal melafalkan dengan satu tarikan napas dan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikitpun.
"Sah!" ucap saksi dan semua orang yang hadir di sini.
Kini, Aufal dan Azwa sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Saat berdoa Aufal beberapa kali menghembuskan napas lega, menyingkirkan rasa gugup yang senantiasa menyelimutinya.
Sementara itu di dalam kamar, Azwa meneteskan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi. Gadis itu terisak pelan tanpa mempedulikan riasannya yang akan rusak. “Ya Allah….” rintihnya yang tak mampu diungkapkan lewat kata.
Tak lama, Diaz yang ditugaskan untuk menjemput adiknya datang. Dia sangat terkejut melihat Azwa yang menangis tersedu-sedu. Laki-laki itu pun langsung membawa sang adik dalam dekapannya, sangat mengerti apa yang dirasakan Azwa sekarang ini.
“Adek… nggak bisa, Mas. A-adek nggak mau….” ujar Azwa dengan terbata-bata seraya membalas pelukan kakaknya sangat erat. “Adek nggak mau. Adek nggak mau.”
Diaz beralih menangkup wajah Azwa dan menatapnya. Kedua jempolnya mengusap lembut air mata yang senantiasa berjatuhan itu. “Adek, dengerin Mas.”
Azwa menggelengkan kepalanya. “Adek nggak mau, Mas. Tolong, jangan paksa Adek. Adek nggak siap bertemu mereka.”
“Adek nggak boleh gitu. Mas ngerti perasaan Adek. Mas tau, Adek belum siap. Tapi mau nggak mau Adek harus menerima semua ini. Adek udah jadi seorang istri sekarang dan itu udah jadi ketetapan Allah.”
“Apapun yang terjadi hari ini, itu atas seizin Allah. Kita sebagai manusia harus ikhlas menerimanya. Adek paham?” jelas Diaz panjang lebar yang dibalas anggukan pelan oleh Azwa.
Dia mengambil air minum dalam kemasan yang sudah tersedia di sana, lalu diberikan kepada adiknya. “Adek tenangin diri dulu. Mas mau memanggil tim make up. Tuh, riasan Adek jadi berantakan gara-gara nangis.”
“Biarin! Biar dia syok lihat Adek kayak gini. Kalau perlu biar batal sekalian acaranya,” balas Azwa ketus.
“Heh!” Diaz menjitak pelan kepala Azwa dan tak menanggapi lebih jauh ucapan melantur itu. Dia beranjak keluar kamar untuk memanggil tim make up.
Hanya sebentar karena mereka sudah standby di sekitar kamar Azwa. Laki-laki itu pun mempersilahkan tim melakukan tugasnya dengan baik.
Setelah selesai, dia membawa tangan Azwa ke lipatan lengannya yang ditekuk dan membawa adiknya keluar kamar.
Azwa menatap sekeliling rumah, kemudian mendekatkan wajahnya ke samping telinga Diaz. “Mas, bawa Adek kabur, yuk. Belakang rumah lagi sepi tuh. Bilang aja mau ke kamar mandi,” bisiknya sambil menunjuk ke arah belakang dengan kepalanya.
“Hust! Aneh-aneh aja kamu ini. Jangan bikin masalah yang membuat semuanya semakin runyam.” Diaz menggenggam erat tangan Azwa di lengannya mencegah agar tidak kabur.
“Ayolah, Mas, biar batal nikahnya.”
“Batal dari mananya? Wong udah sah kok. Kalau mau kabur itu tadi sebelum akad. Sekarang udah terlambat. Mau lari kemana pun, tetep aja statusmu istri Aufal. Udah, nurut aja,” balas Diaz dengan suara tertahan.
Dia menampilkan senyumnya ketika tiba di teras dimana semua orang memandang ke arah mereka. “Ayo, senyum. Pura-puralah bahagia,” bisiknya.
Suasana berubah menjadi haru. Aufal yang berdiri di halaman mushola tak jauh dari rumah mempelai wanita bersama orang tua dan mertuanya tak mampu lagi menahan tangisan haru begitu melihat Azwa berjalan pelan menghampirinya.
Dia tak menyangka gadis yang bertahun-tahun menetap di hati kini telah menjadi istrinya. Sungguh, rasanya seperti mimpi. Akhirnya penantianku terbayar dengan indah. Terima kasih, ya Allah, batinnya.
Azwa kembali menangis sembari menatap ayahnya yang berkali-kali mengusap mata. Saat hampir sampai, Ayah Abyaz mengambil alih peran Diaz dengan menggenggam tangannya. Dia lantas memeluk erat pria yang menjadi cinta pertamanya ini.
Ayah Abyaz mengurai pelukan dan mengusap kepala Azwa dengan penuh kasih sayang seraya tersenyum haru. “Ndak terasa putri kecil Ayah sekarang udah jadi seorang istri. Ayah minta maaf udah mengorbankan perasaan dan kebahagiaan Adek,” ucapnya pelan.
Pria paruh baya itu kemudian menggiring Azwa mendekati laki-laki yang berstatus sebagai suami putrinya. Beliau menyerahkan tangan Azwa kepada Aufal untuk digenggam. "Salim, Dek," katanya.
Tangan yang sudah dihias sedemikian rupa itu gemetar dalam genggaman tangan Aufal. Ini adalah kali pertama dia bersentuhan dengan laki-laki selain ayah dan kakaknya, jadi wajar kalau gemetar. Dia bahkan hampir menarik tangannya kembali bila tidak dicegah oleh sang ayah.
Aufal pun merasakan hal yang sama. Dia sedikit tersentak, seakan ada listrik yang menyengat tubuh saat tangannya bersentuhan dengan tangan lembut milik Azwa.
Azwa membungkuk, mencium punggung tangan Aufal dengan hikmat. Mulai sekarang, surganya terletak pada ridho Aufal dan semua tanggung jawab atas dirinya sudah berpindah di tangan Aufal. Ya, Aufal, laki-laki yang kini menjadi suami sahnya.
Bersamaan dengan itu, tangan Aufal yang bebas memegang ubun-ubun Azwa dan membaca doa setelah Akad.
“Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih.”
Mereka saling berpandangan, menatap lekat satu sama lain. Perlahan tapi pasti, Aufal mendekatkan kepalanya. Laki-laki itu mencium kening Azwa dengan penuh perasaan. Menyalurkan semua rasa cinta yang mendekam lama di hatinya lewat ciuman itu.
Azwa memejamkan mata menerima ciuman hangat Aufal di keningnya.
"Assalamualaikum, istriku," ucap Aufal pelan menyerupai bisikan sambil memegang pipi sang istri.
"Wa-wa'alaikumsalam," jawab Azwa tak kalah pelan.
Aufal menggandeng tangan Azwa masuk ke dalam mushola, tempat akad dilangsungkan, untuk menandatangani buku nikah. Setelah itu, dilanjutkan dengan serah terima mahar dan tukar cincin.
Aufal menyematkan cincin emas putih dengan bentuk simpel namun indah nan elegan di jari manis Azwa, begitu pula sebaliknya. Sekarang cincin indah itu tersemat di jari manis mereka yang menandakan sebuah lambang atas janji pernikahan.
Pukul dua siang walimatul 'ursy digelar. Acara ini dilaksanakan di kediaman Aufal sekaligus melaksanakan prosesi ngunduh mantu. Tamu undangan yang hadir pun tidak banyak. Kerabat dan keluarga besar, tetangga terdekat, serta beberapa teman-teman Aufal dan Azwa saja yang diundang.
Azwa tampak sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun biru muda disertai hiasan mahkota di atas kerudungnya. Aufal pun tak kalah tampannya, dengan mengenakan setelan jas warna abu-abu dan kemeja warna senada dengan gaun Azwa.
Keduanya menyalami tamu undangan yang datang dengan senyum ramah menyembunyikan masalah dibalik hari bahagia ini.
"Temen kamu yang dari Surabaya belum datang, Dek?" tanya Aufal ketika para tamu sebagian besar sudah pulang.
"Nggak datang, Mas. Rumah mereka jauh, jadi nggak bisa dateng," jawab Azwar datar. Gimana mau dateng, wong nggak tak undang kok, lanjutnya dalam hati.
Di dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang gadis menatap sendu pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian pandangannya beralih pada pakaian yang dikenakannya saat kumpul keluarga malam ini. Gamis berwarna putih dipadukan dengan pashmina putih masih melekat apik di tubuhnya. Terlintas dalam benaknya kejadian beberapa jam yang lalu, dimana seseorang dengan gagah mengucap janji suci di hadapan sang ayah, penghulu serta seluruh tamu undangan yang hadir. Mengingat itu, membuat dia semakin sesak entah karena apa. Air matanya pun menetes tanpa diminta, mengalir deras membasahi kedua pipi. Tok tok tok Suara ketukan pintu dari luar membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. Tak lama, muncullah seseorang yang menjadi pemeran utama dalam perubahan hidupnya mulai sekarang. Aufal Abrisam Ar-Rasyid. Nama lengkap seseorang yang kini menjadi suaminya. Suami? Rasanya sangat aneh menyebut Aufal sebagai suami. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Azwa hanya mengenal sekila
“Mas sebenarnya juga nggak pengen kita nikah cepat-cepat kayak gini. Mas ingin mengenalmu lebih dalam sebelum menikah. Mas juga sanggup jika harus menunggumu sampai lulus, tapi Papa memaksa Mas untuk menikahimu secepatnya paling lambat satu bulan setelah lamaran.” “Kalau nggak, Papa akan menjodohkan Mas dengan anak sahabat Papa dan memberikan ancaman lain yang membuat Mas sama sekali nggak bisa berkutik.” “Papa nggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi, Mas memilih menikahimu secepatnya,” jelas Aufal panjang lebar dengan tenang tanpa ada kemarahan. “Kenapa Mas nggak pilih dijodohkan aja? Kan biar sama-sama sepadan, dibandingkan dengan Azwa yang nggak punya apa-apa.” “Karena yang Mas inginkan itu kamu. Mas sangat ingin menjadikanmu istri dan ibu dari anak-anak Mas. Bukan yang lain.” Jeda sejenak sebelum Aufal kembali melanjutkan perkataannya. “Mas menolak perjodohan itu karena Mas takut nggak bisa bahagiakan dia dan ujung-ujungnya malah saling menyakiti karena Mas sama sekali ng
Aufal Abrisam Ar-Rasyid, laki-laki berusia 24 tahun itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Razan yang bekerja sebagai ASN yang ditugaskan di luar pulau dan menetap di sana. Sementara itu, adiknya bernama Syamil saat ini tengah menempuh pendidikan SMA kelas 12 di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Aufal sendiri sebelumnya bekerja di Jakarta tepatnya di perusahaan milik keluarga Kahfi, sahabat waktu kuliah, dengan jabatan terakhir sebagai kepala divisi IT. Karirnya akan semakin cemerlang ketika dia menjadi salah satu kandidat dalam promosi jabatan di level manajer, jika saja tidak menuruti perintah sang ayah untuk resign dan kembali ke perusahaan keluarganya. Kurang lebih seperti itu sedikit gambaran tentang Aufal. Kini, Azwa sedang membantu ibu mertua, kakak ipar, dan bibi membereskan meja makan usai sarapan. “Ada di rumah mertua itu harus tau diri. Bukannya malah enak-enakan di kamar. Mentang-mentang pengantin baru,” sindir Reana, istri Razan,
Azwa senantiasa menatap lantai sambil memainkan jemarinya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Dia menahan rasa takut berhadapan langsung dengan ayah mertuanya. “Kamu takut sama Papa, Azwa?” tanya Papa Wirya tiba-tiba membuat Azwa tersentak kaget. Beliau terkekeh kecil melihat menantunya yang sangat gugup. “Tanpa kamu menjawab pun Papa udah tau jawabannya.” Pria yang usianya memasuki setengah abad itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “nggak banyak yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Papa cuma mau bilang, tolong terima Aufal sebagai suamimu, ya. Dia sangat mencintaimu dengan tulus.” “Papa nggak pernah melihat Aufal jatuh cinta sedalam ini kecuali denganmu. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aufal sangat protektif terhadapmu bahkan sama ayahnya sendiri. Padahal kan Papa niatnya cuma bicara berdua sama kamu,” jelasnya. Azwa diam berusaha mencerna ucapan Papa Wirya. Jadi, Aufal beneran mencintainya? Bukan hanya obsesi semata? Sudah dua orang
“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal. “Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar. “Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.” “Diaz tetep nggak setuju!” Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya. “Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya. “Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?” “Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal
Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama. Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri. Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya. Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu. “Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal. “Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.” Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada
Azwa tampak serius memainkan ponselnya untuk membalas pesan dari ibu dan kakaknya. Kemudian berlanjut membuka grup kelas. Ada lebih dari seratus pesan yang membahas tentang keluarnya nilai di semester ini, kalender akademik, surat edaran dari kampus, dan sisanya obrolan random mereka. Dia berdoa semoga nilainya naik atau paling tidak sama seperti semester kemarin. Yang terpenting lebih dari tiga agar beasiswanya tidak dicabut.Keluar dari room chat grup kelas, gadis itu lantas membuka grup bersama ketiga teman dekatnya yang diberi nama ‘Cecan Sukses Aamiin😍’. Wow! Cukup banyak, hampir menandingi pesan di grup kelas. Entah apa saja yang mereka bahas. Azwa pun membaca satu-persatu obrolan random dan absurd mereka sambil terkekeh kecil karena lucu. Hingga tibalah pada pesan yang dikirim dua hari lalu.Almeyra : [Breaking News! Azwa Aila Putri Adiba dikabarkan telah menikah dengan seorang laki-laki misterius pada tanggal 16 Januari kemarin. Tampaknya acara tersebut digelar di kediaman sa
“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan