“Baiklah kalau begitu. Saya terima tawaran itu,” ucapnya sembari mengambil cek di depannya.
Kevin mengangguk pelan. “Sore ini juga, kita ke rumah orang tua kamu. Tunggu saya di loby. Kita berangkat sama-sama.”
Jasmine menganggukkan kepalanya. “Baik, Pak.”
Kevin menatap dengan lekat wajah ayu perempuan itu kemudian menghela napasnya dengan pelan.
“Jika keberatan, tidak perlu diterima. Silakan keluar dari ruangan saya, dan jangan kembali ke sini lagi!”
Jasmine segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Nggak kok, Pak. Saya tidak keberatan. Malahan saya ingin mengucapkan terima kasih sama Bapak.
“Laki-laki tampan dan kaya seperti Bapak, siapa yang mau menolaknya. Hanya orang gila yang menolaknya,” ucapnya kemudian meringis pelan sambil menggaruk rambut yang tak gatal itu.
Ucapan Jasmine nyatanya berbanding terbalik dengan perasaannya kini. Tapi, ia sudah menyetujui permintaan Kevin, juga tidak ingin keluar dari kantor tersebut.
Mengingat betapa susahnya mencari pekerjaan di Jakarta, membuat Jasmine harus menerima lamaran dadakan itu.
"Semoga saya bisa menjadi istri yang baik untuk Bapak," ucap Jasmine tulus.
Kevin hanya mengangguk. Tak ada lagi yang dia ucapkan karena memang dia adalah laki-laki yang minim bicara. Semua keceriaan dalam dirinya hilang setelah istri yang dulu ia cintai mengkhianatinya.
**
Di rumah sederhana milik orang tua Jasmine. Kevin dan Andrian duduk di ruang tengah bersama kedua orang tua Jasmine yang sudah diberi tahu oleh Jasmine jika dirinya akan menikah dengan Kevin.
"Apa benar Pak Kevin mau melamar anak saya, Jasmine?" tanya Dedi—ayah Jasmine
Kevin mengangguk. "Sebelumnya saya minta maaf, karena mengajak Jasmine menikah secara mendadak. Karena orang tua saya terus mendesak saya agar segera menikahi Jasmine. Kebetulan, kami memang sudah menjalin hubungan hampir enam bulan lamanya."
Kevin berbohong agar orang tua Jasmine tidak curiga padanya. Juga, ia tak ingin orang tua Jasmine tahu tentang utang yang akan dilunasi olehnya. Karena akan memperlambat proses pernikahan mereka.
Sementara Jasmine hanya memainkan jarinya. Tidak mau berkomentar karena rencana Kevin itu sama sekali tidak pernah ia tahu. Hanya dirinya yang tahu dan Jasmine cukup mengikuti apa mau calon suaminya itu.
Dedi manggut-manggut. "Kalau begitu, kapan rencananya? Mungkin, sebaiknya orang tua Pak Kevin bisa dibawa ke sini. Agar kita bisa merundingkan pernikahan ini."
"Saya akan membawa orang tua saya, setelah Bapak dan Ibu menerima lamaran saya. Karena Bapak dan Ibu sudah menerimanya, besok pagi saya akan kembali ke sini melamar Jasmine bersama orang tua saya.
"Perlu Bapak dan Ibu ketahui. Saya seorang duda beranak satu. Usia saya sudah kepala tiga dan terpaut cukup jauh dengan Jasmine. Dia sudah tahu status saya. Saya hanya memberi tahu Ibu dan Bapak saja."
Dedi mengulas senyum. "Status tidak penting bagi saya, Pak Kevin. Yang terpenting adalah kebahagiaan anak saya."
Kevin terdiam sejenak. Kebahagiaan seperti apa yang akan Kevin berikan pada Jasmine. Sementara pria itu hanya menginginkan status dari perempuan itu—status jika dirinya bukan lagi seorang duda.
Lalu, pria itu mengembuskan napas kasar. "Tentu saja. Hanya akan kebahagiaan yang saya berikan untuk Jasmine karena memang fungsi dari pernikahan adalah kebahagiaan dari kedua pasangan," ucapnya dengan asal. Padahal, dia belum tahu bisa atau tidak, memberikan kebahagiaan untuk Jasmine.
"Baiklah kalau begitu. Kami menerima lamaran Pak Kevin. Karena usia Jasmine juga sudah matang. Sudah waktunya membina rumah tangga." Dedi menerima lamaran Kevin.
Andrian yang mendengarnya ikut bahagia. Karena akhirnya bos dinginnya itu memiliki istri walau harus dengan cara terpaksa menikah dengan perempuan yang sedang butuh banyak uang itu.
"Terima kasih. Kalau begitu, saya pamit pulang. Besok, jam sepuluh saya ke sini lagi. Membawa kedua orang tua saya." Kevin beranjak dari duduknya. Keluar dari rumah tersebut. Diikuti oleh Andrian di belakang.
"Andrian?" panggil Kevin setelah mereka masuk ke dalam mobil.
"Ya. Kenapa, Pak?"
"Saya akan menikahi gadis itu dua minggu yang akan datang. Siapkan acara yang paling meriah. Undang semua staff kantor, para pengusaha dan yang lainnya. Biarkan semua orang tahu, jika saya sudah menikah. Bila perlu, Desi juga tahu."
Andrian mengangguk mantap. Karena itu yang dia inginkan. "Baik, Pak. Saya akan menyiapkan semuanya dengan matang. Hotel mana yang akan Anda pakai untuk resepsi nanti?"
"Terserah!"
"Baik, Pak." Andrian mengulas senyum lebar. Yang akan menikah Kevin dan dia yang sangat bahagia. Walaupun sebenarnya Kevin tidak pernah berniat untuk menikah.
Tiba di rumah. Andrian memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi mobil. Kemudian kedua orang itu keluar dari mobil tersebut. Mengayunkan langkahnya menuju rumah.
Tiba-tiba, langkahnya berhenti kala melihat Desi dan anaknya tengah berdiri di ambang pintu masuk. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. Kembali melanjutkan langkahnya menghampiri Arshi—sang anak.
"Papa!" seru Arshi menghampiri sang papa. Lalu memeluknya dengan sangat erat. "Arshi kangen Papa."
Kevin mengusapi punggung anaknya itu. "Papa juga kangen sama Arshi. Baru pulang les ya, Sayang?"
Arshi melepaskan pelukan itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya, Papa. Mama ajak ke sini. Pengen ketemu sama Papa," jawabnya jujur.
Di belakang sana, Andrian memutar bola matanya dengan malas. 'Paling mau minta duit lagi. Emangnya enak ... punya suami pengangguran!' ucapnya dalam hati. Karena suami baru Desi tidak sekaya Kevin.
Perempuan itu hanya kesepian lantaran Kevin yang lebih banyak di luar karena banyaknya pertemuan dengan klien-klien. Kemudian setan masuk, merusak pikiran Desi. Akhirnya, perempuan itu mencari kesenangan dengan selingkuh di belakang Kevin.
"Ada apa?" tanya Kevin datar.
"Kamu belum transfer keperluan Arshi, Mas. Lupa?"
Kevin lantas menoleh ke arah Andrian. "Baru berapa hari ditransfer?" tanya Kevin kepada asissten pribadinya itu.
"Satu minggu yang lalu. Lima puluh juta," kata Andrian memberi tahu.
"Dan sudah habis lagi? Harus berapa banyak, uang yang aku berikan untuk Arshi? Harta yang aku kasih ke kamu, sudah habis juga?" Kevin tampak kesal pada mantan istrinya itu. Tidak bisa mengatur keuangan, alias boros.
"Itu untuk tabungan Arshi kelak, Mas. Aku simpan dan tidak pernah aku pakai," ucapnya bohong. Padahal, memang sudah habis untuk memenuhi kebutuhannya.
Kevin tersenyum miris mendengarnya. "Masa depan Arshi sudah aku siapkan. Kamu jangan takut. Setelah aku tua nanti, Arshi yang akan mengelola perusahaanku. Kamu tidak perlu nabung apa pun untuk anakku. Cukup rawat dia dengan benar."
Desi terhenyak. Tak bisa berkata apa-apa lagi. "Ya sudah kalau begitu. Aku akan memakainya."
Kevin mengangguk pelan. "Silakan pulang. Arshi menginap di rumahku malam ini. Aku mau membawanya besok, bertemu dengan calon mama barunya."
Desi membolakan matanya karena terkejut mendengar ucapan Kevin. "Mama baru? Ka—kamu mau menikah, Mas?” tanyanya seakan tak percaya.
Kevin mengangguk kembali. "Ya. Dua minggu lagi aku akan menikah. Jangan lupa datang ke acara pernikahanku."
Hingga tiba waktunya di mana Jasmine dan Kevin menikah. Di hotel mewah dengan dekorasi pernikahan yang luar biasa megahnya. Mengundang ribuan tamu baik dari kalangan menengah sampai kalangan atas.Semua diundang tanpa terkecuali. Jangan lupakan Desi dan suami barunya. Karena memang ia ingin memberi tahu jika dirinya akan menikah dengan seorang gadis yang sudah dia beli dengan melunasi utang orang tuanya.Tak ada satu pun yang tahu tentang kebenaran itu. Sebisa mungkin, Kevin akan menyembunyikannya. Sebab semua orang tahu jika dia dan Jasmine memang memiliki status hubungan sampai akhirnya menikah.Kini, waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Waktu akad nikah akan segera dimulai. Calon kedua mempelai juga sudah ada di tempat dan siap melaksanakan ijab kabu di jam yang sudah ditentukan."Saya terima nikah dan kawinnya, Jasmine Mariana binti Dedi Kurnia. Dengan seperangkat sholat dan mas kawin dibayar tunai!""Bagaimana saksi, sah?""Sah!" ucap kedua saksi tersebut.Jasmine sudah resm
Setelah Kevin sudah memasuki kamar mandi, Jasmine memilih untuk segera mengganti pakaiannya. Mencari pakaian yang layak untuk ia kenakan. Mengganti gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya."Aku belum siap. Aku belum siap. Aku harus mencari cara supaya malam ini Pak Kevin tidak menyentuhku. Kenapa harus menyiapkan diri? Bukankah dia hanya menginginkan pernikahan ini."Jasmine hampir putus asa. Ia yang kini tengah mencari cara itu terus memikirkan agar tubuhnya tidak dijamah oleh suaminya itu. Khawatir akan ucapan Andrian. Bisa kalap dan hilang kendali.Kemudian, perempuan itu memilih untuk pura-pura tidur. Sebab waktu pun sudah menunjuk angka sebelas malam. Sudah waktunya istirahat. Ditambah kondisi tubuhnya yang lelah akibat menerima tamu undang yang banyak itu.Ternyata, bukan karena pura-pura tidur. Justru Jasmine terlelap dalam beberapa menit setelah menutup matanya. Rupanya, lelah itu mengantarkan dirinya untuk membawanya ke alam mimpi.Lima belas menit kemudian. Kevin kelu
Ucapan Kevin selalu berhasil membuat jantung Jasmine berirama dengan cepat. Selalu memberikan kode pada perempuan itu. Seolah Kevin akan menyentuhnya kelak. Sampai kapan, ia pun tak tahu.'Kenapa harus menginginkan itu, jika tidak akan perasaan cinta untuk saya, Pak. Lebih baik kita bersandiwara saja. Saya lebih menyukai itu. Walau harus berakting setiap hari, seolah kita saling mencintai.' Jasmine berucap dalam hati.Rasanya tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya, bercinta tanpa ada rasa cinta di dalamnya. Ia masih gadis, butuh pengalaman yang bisa membuatnya tertarik untuk melakukannya lagi.Tapi, jika Kevin terus bersikap dingin padanya. Bahkan saat melakukan hubungan tersebut, sudah pasti Jasmine akan merasa sia-sia. Kesuciannya seperti direnggut dengan paksa oleh Kevin. Padahal, pria itu adalah suaminya.Begitulah yang dipikirkan Jasmine. Hingga kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Pergi ke rumah lama milik Desi dan Kevin. Sebelum akhirnya Kevin memutuskan untuk berpisah
Jasmine menelan saliva dengan susah payah. Ranti berhasil membuat Jasmine malu setengah mati. Sebab, saat Ranti berucap seperti itu, ia sembari memegang lehernya."Mama hanya bisa mendoakan agar kalian segera diberi momongan. Kasih adik untuk Arshi, cucu Mama satu-satunya."Karena Kevin memang anak tunggal. Menjadi pewaris tunggal perusahaan milik sang papa, Edward. Namun, banyaknya harta yang Kevin miliki, tidak bisa mengembalikan Kevin seperti dulu lagi.Menjadi dingin setelah perceraian dengan istri tercinta, tak ada satu pun orang yang bisa mencairkan hati Kevin yang sudah mengeras. Ranti hanya berharap kepada Jasmine, agar perempuan itu bisa mencairkan dinginnya sikap Kevin."Kalau begitu, kami pamit pulang. Sudah malam. Besok, sudah kembali kerja. Bulan madunya ditunda. Karena di kantor lagi banyak kerjaan," ucap Kevin. Padahal, dia memang tidak berniat pergi bulan madu dengan Jasmine.Setibanya di rumah. Waktu sudah menunjuk anga tujuh malam."Mas. Mau makan malam dengan apa?"
"Terima kasih.”“Justin. Sahabat pemilik perusahaan ini. Kevin Prakarsa." Justin mengenalkan diri pada Jasmine.Lalu, perempuan itu menerima jabatan tangan itu. "Jasmine." Dan ia tidak memberi tahu, jika dirinya adalah istrinya Kevin."Lagi apa di sini, Pak? Saya baru lihat soalnya.""Ingin memberi ucapan selamat ke Kevin. Karena akhirnya dia menikah. Kemarin, aku tidak bisa datang karena lagi di luar negeri."Jasmine manggut-manggut. "Begitu rupanya. Pak Kevinnya lagi di luar. Ada meeting katanya. Tunggu aja, Pak."Justin mengangguk. "Ya. Menunggu dengan perempuan cantik seperti kamu, tidak jadi masalah."Jasmine hanya mengulas senyumnya, sambil menggaruk rambutnya itu. 'Dewi dan Rani lama banget sih. Nyesel aku, nggak ikut aja sama mereka. Pak Kevin bakal marah nggak, yaa. Aahh ... mana mungkin. Apa hak dia marah-marah. Cemburu? Imposibble.'Namun, nyatanya. Di seberang sana. Andrian tengah menghubungi Kevin. Memberi tahu, jika Jasmine tengah berbincang dengan pria."Bilang pada Jus
Lagi, pria itu kembali menoreh luka di hati Jasmine. Hingga perempuan itu mengadahkan wajahnya. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Turun dengan derasnya."Sehina itu, saya di mata Mas Kevin? Harus banget, mengatai saya dengan sebutan murahan?" ucapnya sembari mengusap air mata di pipinya."Karena kamu sudah membuat saya marah, Jasmine. Jangan ulangi lagi! Kamu tidak tahu, bagaimana perasaan saya saat melihat kamu ngobrol dengan laki-laki lain."Kevin keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan banyak luka kepada Jasmine.Braakk!Kevin menutup pintu dengan kasar. Sehingga Jasmine yang ada di dalam terperanjat kaget."Astagfirullah. Kuatkan hati hamba, ya Allah," lirih Jasmine sambil memegang dadanya.Terasa sesak karena ucapan menohok yang dilontarkan oleh Kevin padanya. Usia pernikahan yang belum ada satu minggu itu sudah berhasil menoreh luka di hati Jasmine."Gimana kalau pernikahan ini udah satu bulan. Mungkin tubuhku akan kurus kering, karena harus bersabar dan terus bersab
Bertepatan dengan lampu lalu lintas berwarna merah, Jasmine bertanya tentang hati pada suaminya itu. Kevin memandang lama perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu. Lalu, mengulas senyumnya sembari menunduk.Kembali menatap Jasmine. "Ruang di hati saya? Sudah dua tahun ini ruang hati saya kosong. Jadi, ada lowongan untuk kamu bisa masuk ke dalamnya. Berusahalah. Agar bisa menjadi wanita satu-satunya yang ada di dalam hati saya."Jasmine terdiam. Ia menyimpulkan jika Kevin belum mencintainya. Belum menyimpan namanya di hati pria itu.Hingga tiba di sebuah mall. Mereka memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka belanja kebutuhan yang ingin dibeli.Seperti biasanya. Ketika sedang makan, Kevin tak akan mengeluarkan suaranya. Pun dengan Jasmine. Hanya melirik sekilas suaminya itu, lalu kembali fokus pada makanannya."Kalau mau nambah, pesan lagi aja. Jangan malu-malu. Saya suami kamu. Tidak perlu jaga image. Bahkan, suatu saat nanti saya bisa melihat keseluruh
"Jasmine. Sudah tiba di apotek." Kevin melepaskan genggamannya."Oh iya, Mas. Saya masuk dulu." Jasmine pun masuk ke dalam apotek. Beruntung, pria itu tidak mengikutinya ke dalam. Jadi, dia bisa membeli pil pengaman itu."Semoga tidak terjadi sesuatu padaku. Semoga Mas Kevin tidak mengetahui hal ini," gumamnya sambil menunggu pelayan tersebut mengambil pesanannya.Tiba di rumah. Perempuan itu segera masuk ke kamar. Sekalian meminum satu butir pil tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan panjang.Ia menyimpan pil tersebut di dalam tas kerjanya. Agar tidak ketahuan oleh Kevin. Perempuan itu benar-benar khawatir Kevin mengetahuinya, lalu marah padanya."Jasmine?" panggil Kevin kembali.Jasmine menoleh. Lalu, menutup tas tersebut dan menyimpannya di atas nakas. "Kenapa, Mas?" ucapnya sembari menghampiri Kevin.Pria itu menatap lembut wajah Jasmine. Menatapnya dengan teduh. Tidak ada raut datar, atau emosi. Lalu, tangan itu menarik tengkuk Jasmine.Meraup bibir itu dengan lembut. Hingga